Saat pendeta mulai memandu mereka ke bagian janji suci, Lyra mendadak membeku.Tangannya gemetar. Jantungnya berdetak tak menentu, seolah berontak atas keputusan yang telah diambil terburu-buru.Di hadapannya, Dastan berdiri tegak dengan senyum tenang. Senyum yang anehnya justru membuat dadanya semakin sesak. Matanya terpaku pada tangan Dastan yang terulur pelan untuk menggenggam tangannya.Lyra tidak langsung menyambut. Perasaannya bergetar. Apa yang sedang ia lakukan? Mengikat janji seumur hidup di hadapan Tuhan... padahal hatinya tidak?Ini salah. Semua ini terasa... salah.“Aku tidak bisa,” bisik Lyra lirih, matanya menunduk.Dastan sedikit condong, alisnya bertaut. “Kenapa? Kau kesakitan?”Lyra menggigit bibir bawahnya, suaranya nyaris pecah. “Kurasa... ini bukan cara yang benar. Janji suci seharusnya dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai. Bukan karena—”Dia menunduk lebih dalam, seolah menghindari mata pria itu.“Maaf, alasanku menikahimu... sebenarnya hanya untuk—”“A
Kedua tangan Dastan melingkari pinggang dan punggung Lyra dengan kuat."Turunkan aku!" pinta Lyra kelabakan. “Tidak akan! Kalau kau terlalu keras kepala untuk mengistirahatkan kakimu, maka biar aku yang menjadi kakimu hari ini,” gumam Dastan, dingin dan mantap.Ia melangkah maju tanpa ragu, membawa Lyra yang masih melongo di gendongannya, menuju pintu yang akan mengubah status mereka. Dan di antara rasa malu dan nyeri, Lyra merasa hatinya… sedikit lebih tenang. Tak seperti dulu, kini ada seseorang yang benar-benar memaksanya berhenti menanggung semuanya sendiri.Pintu menuju altar terbuka perlahan. Cahaya lampu memantul indah di lantai marmer, menyinari aula megah yang telah dipenuhi tamu undangan dengan pakaian terbaik mereka. Semua kepala serempak menoleh… lalu terdiam.Yang tampak di ambang pintu bukanlah pemandangan seperti yang mereka pikirkan. Dastan Adiwangsa, mempelai pria yang dikenal dengan reputasi dingin dan berjarak, muncul sambil menggendong mempelai wanitanya. Jalan
Nancy mengangkat gaun Lyra sedikit dan matanya langsung membelalak. “Satu tali sepatumu putus, Ly, pergelangan kakimu… sepertinya keseleo.”Lyra mengangguk lemah, wajahnya pucat. Pergelangan kakinya terasa berdenyut setiap digerakkan. “Aku masih bisa jalan,” bisiknya, walau nada suaranya tak meyakinkan.“Astaga. Ini semua makin kacau,” gumam Nancy, hampir putus asa. Tapi ia tetap merangkul Lyra dengan erat, mencoba menenangkan.Pintu altar tinggal beberapa langkah saja di depan mereka. Tapi kini, jalan menuju sana terasa lebih panjang dan penuh luka daripada sebelumnya.Di balik pintu itu, ada gedung megah yang dipenuhi kilauan kristal dan bunga segar. Musik lembut mengalun mengisi udara. Para tamu duduk rapi, mengenakan pakaian terbaik mereka, menanti momen sakral yang seharusnya sudah dimulai. Namun, menit demi menit berlalu, dan mempelai perempuan tak kunjung muncul di ambang pintu.Talia Sasmita mulai kehilangan kesabarannya. Ia menoleh ke segala arah, ekspresinya tegang dan kesal
"Apa yang terjadi, Ly?" tanya Nancy tak kalah terkejut melihat Darren terkapar di lantai. "Apa yang aku—... Ya Tuhan..." desis Lyra ketakutan, tubuhnya gemetar hebat. "Apa aku... membunuhnya?"Nancy mendekap sang sahabat ke pelukannya, berusaha meredam getar tubuh Lyra yang menggigil ketakutan. "Tenang, tenang… Ini kecelakaan. Kau hanya membela diri."Sementara itu, penjaga memeriksa kondisi Darren. Ia menekan leher Darren, mencari denyut nadi, lalu menunduk mendekat ke wajahnya.“Bagaimana?” tanya Nancy dengan suara nyaris putus.Penjaga itu mengangguk. “Masih hidup. Napasnya lemah, tapi stabil.”Nancy dan Lyra nyaris roboh bersamaan karena lega. Tapi tubuh Lyra masih menegang. Matanya menatap Darren dengan ngeri. “Kita… kita harus bagaimana sekarang?”Nancy menghela napas panjang. "Kita harus memberitahu Dastan.""Tidak!" Lyra langsung mencengkeram tangan sahabatnya. “Jangan sekarang. Prosesi pernikahan sebentar lagi. Aku tidak mau dia datang dalam keadaan marah dan menghancurkan s
Gedoran Nancy akhirnya berhenti.Mungkin dia sudah menyerah atau pergi mencari bantuan. Tapi keheningan itu justru membuat napas Lyra kian sesak. Di dalam ruang rias yang kini terkunci, hanya tinggal dia dan Darren. Dan mata lelaki itu tak berpaling darinya sedikit pun."Baiklah," desis Lyra akhirnya, suaranya berat karena ketegangan. "Aku akan membantumu. Aku akan bicara pada pamanmu... Aku akan minta dia membereskan skandalmu."Darren menyeringai. "Kau berpikir terlalu lama, Lyra..." Ia berjalan mendekat dengan langkah pelan tapi pasti. "Sekarang aku berubah pikiran."Lyra menegang. "Apa maksudmu?"Sebelah alis Darren naik. "Bagaimana kalau kau ikut denganku saja?"Lyra tercekat. Ia mundur satu langkah, dua langkah, punggungnya hampir menyentuh dinding. "Mau apa kau? Jangan mendekat, Darren. Kau gila.""Gila?" Darren tertawa pendek. "Tidak, Lyra. Aku hanya... tercerahkan. Aku lebih pantas jadi suamimu. Aku hanya tidak tahu kalau kau begitu penting di mata keluargaku. Astaga, kakekku
Langit masih gelap ketika Alba menuju ke kamar Lyra.Pelayan tua itu berjalan hati-hati membawa nampan berisi semangkuk bubur hangat, telur rebus setengah matang, dan secangkir teh jahe mengepul pelan.“Nona, bangunlah,” bisiknya sambil membangunkan sang majikan, “Anda harus sarapan banyak agar tidak gemetar di pelaminan.”Lyra menggeliat dan terduduk dengan mata yang masih terpejam. Seolah tidurnya baru beberapa menit yang lalu. "Apa sekarang sudah pagi?" tanyanya setengah sadar. "Sudah pagi, Nona. Anda harus segera bersiap menuju ke gedung pernikahan. Nona Nancy sudah menghubungi sejak tadi, dia akan menjemput anda." Penjelasan Alba membuat Lyra sontak tersadar. Matanya terbuka lebar. Astaga, pagi ini benar-benar datang?Hari ini, hari pernikahannya?"Sebaiknya tidak melamun di hari pernikahan, Nona," tegur Alba sebelum pergi.Sementara itu, di ruang makan utama, Dastan duduk sendiri dengan setelan kasual, menyendok sarapan tanpa gairah. Matanya sesekali melirik ke arah tangga. S
Dastan yang terkejut menerima serangan mendadak itu hanya bergeming.Ekor mata Lyra menangkap sosok Darren yang berlari tertatih menyeberangi halaman, lalu menghilang dalam kegelapan malam.Selamat.Akhirnya pengganggu itu berhasil lolos.Tapi kini Dastan menatapnya. Dalam. Bingung. Seolah mencoba membaca alasan di balik kecupan tiba-tiba barusan.Tatapan itu membuat tengkuk Lyra meremang.Seketika ia tersadar. Tangannya buru-buru diturunkan. Ia menutup mulutnya sendiri, lalu mundur dua langkah, seperti baru bangun dari mimpi buruk... atau mimpi yang terlalu berani."Maaf…" bisiknya lirih. "Aku…"Alih-alih terganggu, Dastan malah tersenyum. Senyum samar yang justru membuat suasana semakin rumit."Kenapa minta maaf?" tanyanya pelan, langkahnya mendekat. "Kau menyesal?"Lyra melirik sekilas, menunduk cepat. Jantungnya masih berdetak kacau, seolah melarikan diri lebih keras daripada Darren tadi."Aku cuma… mau berterima kasih. Untuk kuenya." Suara Lyra mengecil, hampir seperti gumaman.D
Bagaimana dia bisa masuk? Penjagaan di rumah ini seperti benteng. Tidak mungkin dia lewat depan atau belakang. Dia pasti menerobos dari sisi pagar."Bedebah, kau sedang apa di bawah sana?" bisik Lyra penuh amarah, nyaris berteriak."Lyra, kita harus bicara sebentar. Turunlah ke sini, tolong..." Darren berseru memelas.Lyra mengepalkan tangan. "Untuk apa aku melakukan itu, pengkhianat?!"Darren bergeleng pelan, terlihat sangat putus asa. "Lyra, lima menit saja. Aku benar-benar butuh bantuanmu."Lyra mendesis, lalu meraih tisu dari atas nakas, melemparkannya dengan kesal ke arah Darren. "Pergi! Aku tidak sudi bertemu denganmu!"Darren menghindar dengan gesit, tapi tetap memohon. "Ayolah, ini penting. Hanya sebentar!""TIDAK!" hardik Lyra. "KUBILANG PERGI!"Darren mendongak dengan napas kasar. "Kalau kau tidak mau turun, aku yang akan naik ke atas!"Lyra membelalak. "Kau sudah gila?!"Tapi mantan tunangannya itu memang sudah gila. Dia benar-benar mulai memanjat dinding, menjangkau terali
Leona duduk terpaku di ruang santai.Layar tablet di tangannya menampilkan rentetan artikel yang baru beberapa jam lalu menjamur di media. Judul-judulnya seperti pisau berkarat yang menggores wajah satu per satu.Video Perselingkuhan Darren dan Livia berseliweran. Menjadi trending topik yang memicu stres.Leona membuang napas panjang, giginya bergemeletuk. Jemari yang selama ini hanya menyentuh gelas kristal dan gaun sutra kini mengepal keras, menahan gemetar yang berasal dari kemarahan. Ia tak peduli dengan lipstik merahnya yang luntur atau rambutnya yang berantakan. Wajah cantiknya terlihat mengerikan dengan mata melotot dan rahang mengatup kaku.Enam dari tujuh potongan video yang beredar, semuanya terjadi di kantor Darren. Di kantor yang seharusnya steril. Di gedung yang punya keamanan ketat dan sistem kontrol tinggi. Dan satu-satunya orang yang berwenang menyebar hasil rekaman CCTV hanyalah..."Dastan," desisnya seperti mantra pembakar.Leona meremas tangan kirinya sendiri, kukun