Share

Bab 6. Masih Tak Mengaku

 

Aku tak sangka suamiku se culas ini. Sekali berkhianat rupanya dia akan selalu berkhianat. Gawai itu juga sudah hancur lebur karena kerasnya dia pukul. Beberapa kali dia pukul untuk memastikan gawai itu benar-benar hancur. 

 

Sepertinya aku harus cari cara lain buat membuktikan kebohongannya. Aku sudah tak tahan, baru secuil pesan yang aku baca dan baru screen shoot pertama namun naas dia sudah datang. 

 

"Spada...." Suara itu, suara siapa yang datang kerumah kami. Aku membuka pintu sedangkan Mas Prabu secara cepat masuk kamar dan memakai pakaiannya. Ketika knop pintu kubuka. Mataku terbelalak melihat wanita itu. 

 

Wanita dengan lesung pipi dan suara mendayu ketika di toko datang kesini. Kerumah kami. Dia sama sepertiku terkejut.

 

"Marsya! selingkuhan suamiku, buat apa kamu kemari. Wanita gatel kamu mau tidur sama suamiku!" kataku dengan wajah garang, kutarik pakaiannya karena aku kesal. Kesal padanya, marah pada Mas Prabu yang sudah merusak bukti dan berani terang-terangan mengundang dia kerumah kami. 

 

Mas Prabu agaknya menyadari kedatangan wanita itu. Dia tergopoh datang ke depan. Kulirik dirinya dengan tatapan tajam. Mas Prabu menelan saliva nya getir melihat selingkuhannya datang kesini. 

 

"Marsya ..." cicitnya pelan. 

 

"Cih, ini lebih dari bukti perselingkuhan mu, Mas. Kamu undang dirinya untuk datang kesini." 

 

"Tidak seperti itu, Marsya datang karena mau mengantar tugas. Iya kan Marsya," kata Mas Prabu melotot kan matanya ke Marsya. Aku tahu dari ekspresi Mas Prabu menyuruh Marsya berbohong. 

 

Dengan seksama kuperhatikan gerak gerik keduanya. Marsya menjadi salah tingkah. 

 

"Sudah ketahuan, kamu sudah berapa kali tidur dengan suamiku, perempuan murahan!" kataku dengan tatapan sengit. Ku tolak tubuhnya. Dia tak terima. Mas Prabu berusaha merelai kami. 

 

"Vania, kamu ini semakin menjadi, kamu tidak bisa menghormati tamu. Dia ke sini karena mau mengantar tugasnya." Mas Prabu membela Marsya. Saat itu hatiku rasanya sakit. Suamiku sendiri lebih memilih wanita jal*ng itu. Dia sengaja melakukan kebohongan publik. Dia lebih mementingkan wanita murahan itu dari aku istrinya sendiri. Setidak berharga itu aku didepannya. Aku akan buktikan siapa diriku. 

 

"Mana tugasnya. Kau datang dengan tangan kosong!" kataku mencebik kesal padanya. Netraku tertuju pada tangannya. Ditangannya ada gawai. Pikiranku semakin melayang dan dahiku berkerut. 

 

Aku mencoba mengalihkan situasi. Aku tahu Mas Prabu cerdik, aku harus lebih cerdik darinya. Aku tidak boleh ketahuan melihat gawai ditangannya. 

 

"Mana tugasnya?" kataku, Marsya semakin bingung begitupun Mas Prabu. 

 

"Marsya tugas yang Bapak suruh kerjakan sudah selesai, coba perlihatkan," kata Mas Prabu dengan lembut. Kuperhatikan bahasa tubuh keduanya. Sama-sama kebingungan. 

 

"Tidak ada. Berarti tujuan mu datang kesini hendak memberi tubuhmu!" Aku mencebik kesal menatapnya sengit. 

 

"Anda dari kemarin nuduh sembarangan, saya dengan Pak Prabu tidak ada hubungan apapun." Marsya membela diri. Aku semakin kalap melihat mereka tidak mau mengaku.

 

"Kau, sudah jelas di toko pegangan  tangan dan mesra. Aku sudah lihat cctv. Tatapi kalian tatap tidak mengaku!" ujarku sengit menunjuk mukanya. Marsya semakin bingung saja. 

 

"Vania, kami hanya kebetulan saja, saat itu Marsya kaki nya sakit dan dia mau membeli pakaian buat Ibunya jadi aku melihatnya di luar. Aku menolongnya!" dusta Mas Prabu, aku mencibir kearahnya. Kutarik sudut bibirku. 

 

"Mas. Aku sudah lihat dengan mataku sendiri. Kamu tidak seperti orang menolong. Kalian mesra, mengapa kau anggap aku bodoh, Mas. Apa karena kau dosen sehingga bisa membodohi ku!" sentakku kesal padanya. Mas Prabu semakin gusar.

 

"Vania, semua salah paham. Udahlah, Marsya sekarang kamu pulang saja!" Mas Prabu berniat menguapkan masalah, dia pintar sekali dengan sikap sok lembut dia berhasil memperdaya diriku dan wanita murahan itu. 

 

"Tidak! Ambil tugas itu, jika niatmu kesini hendak memberi tugas pada Dosen mu." Sentakku pada keduanya. Marsya semakin ragu. Dia berkali kali mendesah dan ekspresi kebingungan.

 

"Baiklah. Tugasnya ada di motorku. Aku akan ambil biar kau puas!" Ujarnya menunjuk wajahku seperti yang kulakukan padanya. Kutarik sudut bibirku, Mas Prabu mengacak rambutnya frustasi dan aku, dengan tas yang sudah ku sandangkan. Aku berlari menabrak Marsya. Wanita itu terjatuh dan mengaduh. Gawainya ikut jatuh juga. Dengan sigap kuambil. Akupun membuka gerbang dan pergi. 

 

"Wanita sial, pencuri. Kembalikan ponselku!" katanya sengit. Dia mengaduh kesakitan. Dasar manja, aku hanya mendorongnya sedikit. Bagaimana perlakuannya yang sudah merebut suamiku. Suami yang tidak setia. 

 

Mas Prabu yang dari tadi frustasi semakin bingung. Dia tidak menyelamatkan Marsya tetapi dia mengejarku. Aku sudah masuk ke mobilku dan kukunci. Dia memukul-mukul kaca depan mobilku agar aku keluar dan mengembalikan gawai selingkuhannya. 

 

"Vania, dasar wanita rendah. Sudah berani kamu melawanku, kamu tak tahu berhadapan dengan siapa, Vania. Balikin ponsel Marsya!" Perintahnya padaku, aku hanya mencibir padanya. Dia berkata aku rendah. Tidakkah salah, dirinya yang rendah. Apakah aku salah mempertanyakan mengapa suamiku selama enam bulan tak memberiku hak batin. Apakah aku wanita rendah, bukankah tugas suami memberi nafkah lahir dan batin. 

 

Aku menyesal saat itu, rasanya hatiku tercabik. Selama dua tahun, kuanggap dia pria sempurna yang juga punya cinta sempurna namun apa yang kudapat hanya penghianatan dan kesakitan hingga di sudut jiwa. Dengan hati yang patah ku lajukan mobilku membelah jalanan. 

 

"Vania!" Mas Prabu berusaha mengejarku, masih bisa kulihat mereka berdua saling memperhatikan satu dan lainnya. Mas Prabu memeluk Marsya disana. Apakah pemandangan yang kulihat bukan bukti perselingkuhan keduanya. Mengapa suamiku sangat pintar memainkan peran.

 

🍁🍁

 

 

"Nia," Ku arahkan diriku ke sumber suara. 

 

"Auriga." Pria itu menghampiri, laki-laki unik teman se kampusku dulu. Auriga tahu aku istri Mas Prabu namun Mas Prabu tak tahu aku berteman dengan Auriga. Auriga setahuku baru saja menjadi dosen di sana sedangkan Mas Prabu sudah lama dan senior. 

 

Selama enam bulan aku juga tak dekat dengan Mas Prabu, aku lebih banyak di toko dan sibuk bersama putraku Fauzan. Aku selalu menjaga perasaannya dengan tidak pernah bercerita tentang lelaki lain dihadapannya. Namun dia memberiku racun dengan berselingkuh pada wanita lain.

 

"Nia, sepertinya kamu dalam masalah besar?" tanya nya, aku tersenyum kecut. Sebisanya ku tutupi masalahku dari Auriga. 

 

"Tidak ada. Riga, tolong aku. Aku ingin kuliah S2. Dari dulu aku berniat mengejar karier." Aku menyerahkan berkas padanya agar dia mendaftarkan ku.

 

"Kenapa tiba-tiba, Nia. Apakah isu mulai merebak?" 

 

"Maksudmu apa?" tanyaku. Dia hanya tersenyum getir. 

 

"Ah, tidak. Hanya aku pernah melihat Pak Prabu dengan mobil bersama salah seorang mahasiswa. Entah benar apa tidak." katanya. Aku tersenyum sinis, bahkan Auriga sendiri pernah melihatnya. 

 

"Riga. Mengapa kita bicarakan itu, bagaimana kabarmu, Pak dosen?" tanyaku mengalihkan perhatiannya. 

 

"Aku baik. Nia, aku akan membantumu." kata Auriga dengan lembut. 

 

"Ya, aku memang butuh bantuanmu." Aku merasa nelangsa, apakah ini saat yang kurang tepat aku berjumpa Auriga. 

 

Gawaiku bergetar panggilan Mas Prabu namun ku abaikan. Berkali-kali memanggil.

 

"Nia, sepertinya penting." sela Riga, 

 

"Biarkan saja!" 

 

Beberapa saat kemudian sebuah pesan masuk di aplikasi hijau.

 

[Vania, kembalikan gawai Marsya kalau tidak kamu akan dilaporkan ke Polisi.]

 

 

Bersambung

TBC.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status