“Sudah aku kirim ke rekenigmu.” Pak Robert menunjukkan layar ponselnya.
Hana yang masih duduk di tepi ranjang balas tersenyum lebar, meski ada sedikit penyesalan yang tak bisa ia tepis dari alasan bodoh yang ia pakai tadi. “Makasih ya, Pak.”
“Iya sama-sama.”
Yang tidak Pak Robert tahu adalah alasan sebenarnya untuk apa Hana mengambil uangnya. Kalau saja Pak Robert tahu, ia tak akan sudi memberi uang pada karyawan yang baru bekerja dengannya 4 hari.
Sekitar satu jam yang lalu, Pak Robert yang sudah muak melihat romantisme dua orang di depan hotel memutuskan pergi meninggalkan mereka. Meneruskan perjalanannya ke lantai lima yang sempat tertunda. Pilih menunggu Hana di kamar hotel mewah mereka.
Padahal, andai saja Pak Robert mau menunggu sedikit lebih lama. Ia pasti bisa tahu untuk apa sebenarnya uang yang Hana minta barusan. Ini semua terjadi karena Arya. Kalau bukan karena laki-laki itu, Hana tak akan sudi melakuk
Genderang perang tak kasat mata ditabuh. Suaranya terdengar di telinga semua orang. Pintu yang digebrak paksa masih lebih sopan dari meledakkan pintu apartemen. Tapi sekarang, aroma kengeriannya tercium sama pekat. Semua orang memasang posisi siaga. “AAAAAA….. LEPASINNN… !!!” Intan lebih dulu berlari menarik dan mengevakuasi Hana. Sementara Pak Wahyu menerajang masuk, ke arah 8 orang yang sudah bersiaga. ‘Baaakkkk… Bukkk… Sraaakkk….!!!’ Satu tendangan di dada dan satu pukulan telak di belakang leher cukup menggelaprkan satu orang preman. Pak Wahyu mendarat manis, kaki memasang kuda-kuda, tangannya bersilang-silang layaknya pendekar. Tujuh orang membuka diri. Dengan cepat membentuk lingkaran dengan Pak Wakyu dan Pak Robert ada di tengah-tengahnya. ‘Plokkk… plok… plokkk…. !!!!’ Pak Hartono tersnyum licik. “Jadi ada yang mau jadi pahlawan sekarang.” Tenang ia melangkah menghampiri koper yang
Mobil Ford hitam terus melaju meski hanya berisi dua orang, Pak Robert dan seorang sopir pribadi yang juga sekaligus paman Intan. Kemacetan yang menumpuk hampir setiap lampu merah dan sengatan matahari tak mengurutkan niat mereka. “Semua harus selesai hari ini. Harus.” Sejenak Pak Robert terpejam. Dingin udara dalam mobil tak berhasil mengusir atmosfer panas dan ambisinya yang membara. Sejenak kepalanya menoleh ke belakang. Memastikan brangkas hitam berisi surat-surat penting miliknya masih di bangku tengah. Satu-satunya senjata terakhir yang Pak Robert punya hanya itu. Kalau saja negosiasi ini gagal, maka yang terakhir harus ia pertahurkan adalah PT. Cakra.Ia yakin seratus perse
Gemetaran, tangan Hana tak lagi kuasa memegangnya. Ponsel barunya tergeletak begitu saja di atas meja. Hana ganti menggigiti ujung kuku jarinya. ‘Tinggg…. Tinggg…. !!!’ Mata Hana terbelalak, panggilan masuk ganti mendarat di ponselnya. Pak Robert menghubunginya balik. Jujur Hana bingung. Menoleh ke kanan kiri tapi tak ada satu pun orang. Hana menarik napas panjang mengurai sesak di dadanya. Tidak-tidak… Ia tidak boleh mengabaikannya. Orang ini yang dari tadi ia cari. Hatinya langsung bergetar begitu nama itu muncul di atas layar ponselnya. Dengan napas yang tertahan di tenggorokan, tangan Hana be
“Kupikir-pikir memang sudah dari dulu aku harusnya pisah sama dia.” Suaranya layu, wajahnya tercenung kosong. Sudah setengah jam lamanya ia sama sekali tak menyinggung semangkuk bibir di depannya. Dari sejak bubur itu masih mengepulkan asap tipis dan aroma beras bercampur bumbu kacang sampai dingin. Sudah setengah jam juga Juni membiarkan kakaknya diam. Sampai lama-lama ia tidak tahan sendiri. “Sudahlah, Kak Feb.” Tak tahan, tangannya bergerak memeluk lengan kakaknya. “Dua bulan sudah Kak Febri kayak gini.” Api di matanya ikut padam. “Mau sampai kapan, Kak? Udah dong. Mending Kaka sekarang makan buburnya dulu deh. Enak kok. Nggak kayak dulu pas aku masih belajar masak.”
“Cie HP baru nih yee….” Usil tangan Dinda tahu-tahu menjumput ujung dagu Hana dari belakang. Tiba-tiba muncul sampai Hana melonjak kaget hampir terjatuh dari kursi kasir. Refleks menepis tangan Dinda yang justru terpingkal-pingkal melihat mimik kaget Hana yang menggemaskan. “Ishhhh…. Dinda setan… !!!” umpatnya. Telapak tangannya sudah diangkat hampir melayangkan tabokan tapi urung. Melihat Dinda terpingkal ia jadi ikut terpingkal. “Nyebelin ih….” “Lagian HP baru tuh harusnya traktiran kek. Ini anyep-anyep bae…” imbuh Dinda dengan bahasa jawanya yang medok. me “Eh, gue beli HP juga gara-gara Bos Steven ya. Enak a
“Whatt???” Dahi Intan mengerut sampai mencetak sepasang jurang kecil di antara ujung alisnya. “Seriously?” Mulutnya terperangah tak percaya. Raut kagetnya bukan tanpa alasan, Intan adalah salah satu orang yang tahu masa lalu Pak Robeert dengan Helena. “Ja-jadi? Jadi setelah selingkuh dengan kakaknya sekarang dia?” Intan sampai tak bisa merampungkan kalimatnya. Tapi baik David maupun Pak Robert tahu apa yang ia pikirkan. Apa yang membuat ekspresi tak percaya di wajahnya masih bertahan sampai sekarang. “Oh my god…” Kepala Intan menggeleng. “Sumpah nggak habis pikir aku.” “Sudahlah, Tan.” Suara Pak Robert t