Badan yang tak terlalu tinggi, berperawakan ceking. Siapa lagi kalau bukan si Ceking anak buah Taufik.
Walau hari masih gelap, Amar yakin tak salah mengenali orang yang sedang bersembunyi di balik pohon besar itu. Apalagi pria itu langsung kelabakan mencoba untuk berlari ketika matanya bertabrakan dengan mata Amar.Amar berlari menuju ke tempat lelaki itu bersembunyi. Dengan terbirit-birit si ceking berlari menghindar dari kejaran Amar. Ya. Dia sudah ketahuan.Ceking lah dalang dari kebakaran yang terjadi di restoran milik Amar karena dia menjadi salah satu anak buah Taufik yang berhasil kabur dari kejaran polisi waktu lalu."Berhenti!!" Teriak Amar.Suara sirine polisi dan pemadam kebakaran bersahutan tiba ke lokasi kejadian.Amar tetap melanjutkan pengejarannya.Lelaki bertubuh kurus itu begitu gesit melarikan diri, tapi Amar tak jauh kalah.Kaki si ceking tersandung pada akar besar yangTidak mudah menghilangkan perasaan ini. Perasaan yang sudah menetap bertahun-tahun lama di hatinya. Amar masih mencintai Raina. Tapi kenapa wanita itu memilih untuk pergi?Amar berbuat kesalahan. Ia akui itu. Ia berusaha menebus semua kesalahannya di masa lalu dengan memberikan cinta dan kasih sayang yang tulus untuk pujaannya. Tapi kenapa semua itu akan tak cukup? Semua yang ia lakukan untuk kebahagiaan wanita itu. Bagaimana ia melindungi wanitanya, menjaganya bak gelas kaca yang takut akan retak. Tapi wanita itu, lagi-lagi membentengi dirinya dengan tembok yang sangat tinggi. Seolah-olah Amar adalah penjahat yang akan menghancurkan hidupnya lagi.Amar menyadari kesalahannya. Dia merasa berdosa dan malu. Ia juga mengikhlaskan seluruh keputusan Raina selama wanita itu bahagia. Demi menjaga wanitanya, dia berhati-hati dalam berbicara dan bertindak. Takut menyakiti hatinya lagi. Itu sebabnya Amar tak berani menatap mata Raina, tak pernah mau
"Mama! Mama! Lihat ini!"Si kecil Amara berlari menuju ibunya ketika ibunya itu baru memasuki daun pintu. Amara menunjukkan dua puzzle animal di tangannya dan bersorak gembira.Raina memeluk putri kecilnya itu dengan penuh kasih sayang dan matanya sengaja melihat ayah Amara yang sedang duduk di karpet ruang tamu sekaligus ruang keluarga itu."Ini papa yang belikan untuk Amara," ucap Amara girang. Raina membalas ucapan anaknya itu dengan senyuman sambil melepas pelukannya."Sudah lama mas datangnya?" Tanya Raina.Dari tadi dia memperhatikan lelaki ini, tetapi Amar menyibukkan dirinya menyusun puzzle animal yang ada di hadapannya."Lumayan.""Mau minum apa mas?" Tanya Raina lagi."Gak usah repot. Udah dibuatin mbok Darti kok."Raina mengangguk lalu minta izin untuk berganti pakaian. Sampai lupa kalau dia dari rumah sakit. Tapi malah dia main peluk Amara saja.
Dua tahun kemudianKeputusan Raina untuk keluar dari rumah keluarga Wijaya tepat. Sesuai dengan dugaan Amar, Raina benar-benar berkarya.Raina memanfaatkan keahlian memasaknya untuk membuka kios sendiri di rumahnya. Menjadikan halaman mungil di depan rumah menjadi kios donat. Makanan kesukaannya."Amara Donat." Jika dulu Raina memakai namanya sebagai brand, kini dia memakai nama anaknya.Memang Amara membawa berkah. Donat yang dijual Raina selalu habis baik yang terjual di kios maupun secara online karena Raina juga menjajakannya di media sosial.Raina tak repot lagi bekerja di luar, dia cukup bekerja di rumah membuat donat. Urusan rumah ada mbok Darti yang menghandle.Hubungan Raina dan Amar juga masih terbilang baik. Walau Raina merasa Amar menjaga jarak dengannya.Tak hanya nafkah bulanan rutin yang dikirimkan Amar, lelaki itu juga rutin mengunjungi Amara. Setidaknya satu atau dua minggu sekali karena i
"Karena aku mencintaimu..."Deg!Tiga kata yang mampu membungkam mulut Raina. Menjawab seluruh pertanyaan yang diberikannya kepada lelaki yang masih terduduk di ranjang pesakitan itu.Bibirnya kelu tapi matanya tak berhenti mengerjab agar air terjun ini tak lolos dari sana.Di hadapannya terdapat lelaki yang memandangnya dengan lekat. Begitu tulus. Masih terlihat sebongkah cinta untuknya."Maafkan aku, mas. Jika kamu melakukan ini agar aku bisa kembali kepadamu.. maaf.. aku belum bisa." Kilah Raina dengan wajah tertunduk.Begitu sedih Amar mendengarnya. Sekali lagi ia merasa tertolak, walapun tujuan Amar membuatkan asuransi untuk Raina bukan karena ia ingin memanfaatkan situasinya."Jujur saja, Raina. Aku tidak bermaksud melakukan ini agar kamu kembali kepadaku. Aku hanya ingin hidupmu terjamin walaupun nantinya tidak bersamaku.. anggaplah ini sebagai penebus dosa dariku." Ucap Amar getir.
Setelah menjalani beberapa pemeriksaan di IGD rumah sakit tempat mereka berada, dokter memutuskan Amar dirawat untuk menjalani pemeriksaan lanjutan.Apalagi setelah mendengar bahwa Amar masih merasa sering mengalami pusing bahkan mimisan. Kembali ke setelan awal, Amar masih keras kepala untuk tidak dirawat sehingga harus berdebat kembali dengan kedua orangtuanya sedang Raina memilih menjadi penyimak saja.Setelah diyakinkan oleh dokter dan kedua orangtuanya, akhirnya Amar mengalah.Namun timbul masalah baru.Amar tidak mungkin ditinggal begitu saja di rumah sakit ini, bukan? Setidaknya harus ada yang menjaganya.Wijaya saat ini sedang sibuk mengurus restoran mereka dan bolak balik ke kantor polisi karena kasus kebakaran ini belum menemui titik terang.Erina sedang dalam kondisi yang tidak sehat. Saat Amar dirawat pertama kali, dialah yang selalu menjaga Amar dirumah sakit. Kondisinya masih belum fit.
Erina merebahkan bayi berusia 3 bulan itu disamping ayahnya. Dengan penuh kasih sayang, Amar mengecupi kedua pipi putri kesayangannya itu."Papa rindu sekali nak! Sekarang kamu semakin gembul," lirih Amar sambil membelai pipi anaknya.Amara tumbuh dengan baik. Siapapun tak menyangka, anak yang dulu berjuang bertahan hidup melawan tumor otak bersama ibunya untuk lahir ke dunia dan berjuang kembali di inkubator kini berkembang dengan sehat. Pipinya yang bulat, paha dan tangannya yang padat berisi membuat siapa saja gemas melihatnya.Apalagi anak ini sudah bisa merespon saat diajak bicara.Erina hanya tersenyum melihat kemesraan ayah dan anak ini."Raina, apa kabar ma?" Tanya Amar tanpa mengalihkan perhatiannya dari putri kecilnya."Baik.""Dia tidak marah Amara dibawa kemari?""Tidak. Dia mengerti jika kamu merindukan anakmu."Amar menarik nafas panjang. Selain meri