LOGINLangit malam mulai digantikan cahaya lembut dini hari. Jam menunjukkan pukul dua lewat lima belas, namun ruang kerja di lantai dua kediaman keluarga Bachtiar masih menyala terang.Rafael duduk di kursinya, menatap layar laptop yang menampilkan barisan data dari sistem keamanan rumah. Beberapa log aktivitas mencurigakan tercatat sekitar pukul sebelas malam —waktu yang sama dengan saat Hanna melihat sosok di taman.Ia mengetik cepat, membuka rekaman CCTV. Namun, layar hanya terlihat bayangan hitam putih. Tidak ada gambar, tidak ada suara.Rafael mengetuk meja dengan jari telunjuk, napasnya berat.“Tidak mungkin,” gumamnya pelan. “Sistem ini terkunci ganda. Seharusnya tidak bisa diakses tanpa izin.”Di sisi lain ruangan, Hanna berbaring di sofa kecil, memeluk bantal, mencoba menahan kantuk dan rasa cemas. Tatapannya sesekali beralih ke Rafael, yang wajahnya kini terlihat tegang.“Kenapa? Ada yang aneh?” tanya Hanna pelan. "Kenapa kau tak juga tidur?" Rafael malah balik bertanya. "Entah
Hanna menatap layar ponsel itu lama, menunggu balasan lain yang tak kunjung muncul. Suara jam dinding berdetak pelan, tapi entah mengapa, malam terasa menyesakkan.Ia memutuskan untuk keluar kamar. Langkahnya ringan, tapi hati kecilnya berdebar tidak wajar. Ia berjalan menyusuri koridor menuju dapur, sekadar ingin meneguk air putih dan menenangkan diri. Namun, baru beberapa langkah, bayangan seseorang terlihat di luar jendela kaca.Tubuh Hanna menegang seketika.Refleks, ia mematikan lampu meja kecil dan bersembunyi di balik tirai. Dari celah sempit, ia melihat sosok tinggi berjaket hitam berdiri di tepi taman, menatap ke arah rumah.Hanna menutup mulutnya, menahan napas.Ia tidak tahu harus memanggil siapa —Rudi sudah pulang karena tidak ada jadwal berjaga malam ini, dan Rafael tengah sibuk di ruang kerjanya.Setelah beberapa menit yang terasa sangat lama, sosok itu akhirnya pergi. Tapi, jejak ketakutan yang ditinggalkan tidak ikut menghilang.Hanna melangkah mundur, tubuhnya gemetar
Sore menjelang malam. Rumah keluarga Bachtiar tampak hening, hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Rafael baru pulang dari kantor, langkahnya teratur tapi dingin. Wajahnya tampak tegas, tanpa ekspresi, seolah sejak pagi ia menutup rapat semua rasa terlebih emosi.Di meja makan, Hanna sedang menata piring di atas meja. Tanpa banyak bicara, tanpa menoleh ketika Rafael lewat.“Di mana Kakek?” tanya Rafael sembari celingak celinguk, mengedarkan pandangan ke seluruh ruang makan. Hanna hanya menjawab, masih tidak menoleh. “Menjenguk salah satu temannya di rumah sakit.”Rafael mengangguk. Tak ada lagi percakapan. Hanya suara gesekan sendok dan piring yang terasa lebih nyaring dari seharusnya.Beberapa menit kemudian, Rafael menatap punggung Hanna yang membantu pelayan membereskan piring. “Aku dengar Nadya datang ke toko.”Hanna berhenti, tapi tidak berbalik. “Rudi yang memberi tahu, ya?”Rafael tidak menjawab langsung. “Seharusnya kau tidak perlu menanggapinya.”“Aku tidak me
Cahaya pagi menembus tirai, memantul lembut di ruangan yang terasa terlalu hening untuk ukuran kamar utama keluarga Bachtiar. Burung-burung di taman berkicau seperti biasa, tapi bagi Rafael, suara itu tidak terdengar menenangkan. Ia membuka mata dengan kepala berat dan pikiran yang penuh sesal.Matanya menatap sisi ranjang yang kosong —selimut masih rapi, tanpa tanda bahwa Hanna sempat kembali.Ia mendesah pelan, lalu duduk. “Bodoh,” gumamnya sendiri.Beberapa detik ia hanya memandangi cermin di seberang tempat tidur, menatap wajahnya sendiri dengan tatapan yang sulit diartikan.Ia tampak rapi seperti biasa, tapi di balik kemeja putih dan jas hitam yang ia kenakan, ada hati yang kacau dan pikiran yang tak tenang.Rafael turun ke lantai bawah. Langkah kakinya pun terhenti di depan pintu kamar tamu, di mana sosok sang istri berada di baliknya. Dari celah bawah pintu, ia bisa melihat cahaya lampu menyala.Rafael mengetuk pelan, tapi tak ada jawaban.“Hanna...” suaranya nyaris tak terdeng
Suasana rumah malam itu terasa dingin, jauh berbeda dari biasanya. Hanna duduk di sofa di dalam kamar sambil memegang cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh. Pikiran dan perasaannya masih bercampur aduk —antara marah, sedih, dan bingung.Sementara Rafael berada di ruang kerja, terdengar bunyi ketikan keyboard yang terputus-putus.Sepertinya pekerjaan di kantor banyak yang harus diselesaikan, yang membuatnya tidak terlalu memperhatikan Hanna sepanjang Rafael pulang dari bekerja. Saat Hanna baru selesai dengan buku di tangannya —yang bahkan tidak ia pahami sedikit pun isinya, karena pikirannya yang masih tertinggal di lobi kantor, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel milik Rafael saat pintu di ruang sebelah tertutup. Nama di layar menunjukkan Rudi, pengawal pribadi yang selama ini Rafael percayai untuk menjaga Hanna. Nada bicara Rafael santai di awal, tapi perlahan ekspresinya berubah. Wajahnya mengeras, suaranya menurun, lalu tanpa sadar pandangannya mengarah ke arah Hanna saat
Keesokan harinya, Hanna bangun lebih awal. Ia membantu menyiapkan sarapan seperti biasa, berusaha tampak normal di depan Hartono dan Rafael.Tapi, tatapan matanya sedikit berbeda —lebih tenang di luar, padahal di dalam dirinya ada badai kecil yang ia sembunyikan dengan sangat hati-hati.“Tidak ke toko hari ini?” tanya Hartono sambil menyeruput kopi.Hanna tersenyum lembut. “Masih, Kek. Tapi agak siang. Ada urusan sedikit yang harus aku selesaikan.”Hartono mengangguk tanpa curiga. Rafael, yang duduk di seberangnya, menatap istrinya sekilas. “Kalau butuh aku antar, bilang saja.”“Tidak usah. Aku bisa minta antar Rudi,” balas Hanna, tetap tenang.Rafael mengangguk pelan. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Hanna menjawabnya, tapi ia tidak mau memaksakan tanya.Ia pikir Hanna masih lelah dengan urusan toko. Padahal, wanita itu sudah membuat rencana —rencana yang bisa mengubah segalanya.**Jam menunjukkan hampir pukul dua ketika Hanna tiba di depan gedung megah milik keluarga Bachtiar ber







