Seraya menutup pintu, sambil setengah menggerutu Azalea berkata, "Hari ini nggak perlu ke gym dulu, ya, Dimas. Tolong antar aku jalan-jalan aja,"“Baik, Nyonya. Apakah Anda punya suatu tempat yang ingin dikunjungi?"Di kursi depan, Dimas si supir mengangguk. Mesin mobil menderu pelan ketika meluncur meninggalkan halaman mansion Laksmana dengan mulus. Selalu ada kepuasan menjalar dalam diri Azalea ketika melewati gerbang."Entah. Jalan saja dulu," jawab Azalea, menyenderkan punggungnya nyaman."Siap, Nyonya."Anna menyenggol lengan sang majikan, menggoda, "Yakin nggak ke gym? Kalau hari ini Tuan Bima ada di sana gimana?""Biarin aja, memangnya kenapa?" balas Azalea ketus."Kok malah tanya Saya.”Anna dapat melihat kalau Azalea sedang gelisah. Tatapan kosong sang majikan itu melayang keluar, tapi Anna yakin pikirannya kemana-mana. Sebagai asisten yang baik, Anna tidak akan melewati batasan dengan menganggu lebih lama.
"Apa menurut Anda Tuan Bima bakal datang hari ini, Nyonya?" Anna tak bosan-bosannya meledek Azalea ketika dalam perjalanan menuju gym pada weekend. Karena Johan dan pasangan Laksmana senior juga punya kegiatan mereka, maka Azalea memilih keluar mansion. Setidaknya, suasana pusat kota yang bisa Azalea pandangi sepuas hati cukup menghiburnya. "Udah kubilang kalau aku ke gym bukan buat ketemu Bima,” sahut Azalea. "Duh, mau sampai kapan denial begitu?" gerutu Anna, "Tuan Bima memang menarik dan juga baik, walau tampangnya kadang menyeramkan." Azalea melirik asistennya. "Kedengarannya malah kamu yang tertarik sama dia," "Cemburu?" "Sembarangan." Setibanya di gym dan menunggu setengah jam lamanya, skala penasaran Azalea membludak. Apalagi saat lagi-lagi ia menangkap dengar gadis-gadis gym lain juga menunggu kedatangan Bima. Kemudian Azalea pun mendatangi meja resepsionis. "Permisi." Staff resepsionis bernama Lulu itu menoleh. "Ada yang bisa aku bantu?" "Kamu kenal Bima nggak? Apa
"Secara tidak langsung aku baru saja mengungkapkan kalau diriku ini menyedihkan. Tapi, makasih karena tidak mengasihaniku."Di tengah cerita tadi, Azalea juga ingin berhenti, tapi melihat Bima yang memperhatikan tanpa beralih fokus pada hal lain dan mendengarkan tanpa menyela sedikitpun... Azalea merasakan seluruh beban hatinya terangkat perlahan-lahan.Seraya tersenyum canggung, Azalea menunduk sambil menyesap sisa ice latte-nya demi menghindari tatapan Bima. "Kau tidak menyedihkan," kata Bima pelan.Azalea mendongak. Matanya melebar. "Kecewa setelah dikhianati itu wajar. Semua orang juga merasakan hal yang sama," imbuh Bima, berdehem. Gantian dirinya yang mengalihkan pandangan."Gitu, ya."Azalea memegang erat cup ice latte. Malu-malu tersenyum lebih lebar. Hatinya tergelitik. Tangannya dingin, tapi hatinya menghangat. Siapa yang sangka ucapan sederhana dari Bima itu mampu mencairkan kekhawatiran Azalea?"Sisi baiknya, aku ketemu orang-orang baru seperti Anna dan Dimas. Mereka be
Kejadian memalukan itu berlalu begitu saja tanpa pernah diungkit-ungkit meski tentu saja Azalea tidak akan lupa. Setidaknya, hari itu ada sesuatu yang berubah.Entah disengaja atau tidak, Bima selalu chat duluan. Satu pesan pendek tiap tiga hari sekali yang memberitahu kalau dirinya akan datang ke gym. Dengan begitu, Azalea tidak perlu menebak-nebak.Hari itu adalah kesekian kalinya Azalea pergi ke gym bertemu dengan Bima. Tujuannya tetap olahraga, walau kebanyakan Azalea bakal kelelahan setelah melakukan beberapa gerakan work out.Azalea sedang lari pelan di treadmill ketika dinding kaca di depannya memperlihatkan refleksi gadis-gadis yang berkumpul tak jauh dari tempatnya berada. "Kok bisa, ya," kata Azalea, menoleh ke Bima."Apa?" Lelaki itu perlahan menapak ke lantai setelah angkat badan dari pull up bar machine. "Kamu nggak sadar kalau empat cewek-cewek di sebelah sana lagi lihatin kamu dari tadi?" Azalea menengok ke belakang, memberi petunjuk."Oh... Biarkan saja."Sayangnya
Azalea menuruni tangga utama menuju lantai satu setelah seorang pembantu mengabarkan kalau Johan telah kembali dan memintanya menemui di depan pintu. Sejujurnya, Azalea tidak peduli, tapi itu demi mematuhi suaminya karena ia tidak punya pilihan lain.Di foyer, Johan berdiri dengan dagu terangkat dan senyuman puas. Di lantai, selusin paper bag yang memiliki logo merk ternama berjejer rapi. Begitu pula dengan kardus karton warna-warni bertumpuk menunggu dibuka.Azalea memindai semua itu penuh pertanyaan."Semua ini apa?""Apalagi? Hadiah untukmu. Baju, gaun, make up, parfum, sendal, high heels... Semuanya aku bawakan buatmu." Johan menyeringai angkuh. "Tidak ada satu pun di antara semua benda ini yang berharga di bawah sepuluh juta."Seumur hidupnya, Azalea dan Bibi Luna memang berada di bawah garis ekonomi. Namun melihat banyak barang mahal atau perhiasan mewah sama sekali tidak membuatnya terpukau. Apalagi jika itu berasal dari Johan.Kening Azalea berkedut. Gelombang kemuakan mengguy
Kemarin.Bima menatap telepon dengan tatapan datar setelah mendengar cerita Azalea. Ia tak habis pikir dengan nasib Azalea yang sering disakiti oleh Johan. Di sisi lain, Bima juga bingung mengapa ia begitu peduli pada seorang perempuan itu. Ia tidak mampu membaca situasi atau memahami apa yang terjadi dengan pikirannya sendiri.Bima menatap ponselnya gelisah. Ia meremas rambut pekatnya dan membungkuk. Begitu menyesal atas apa yang ia katakan."Setelah dipikir, ucapan saya tadi sangat tidak pas terhadap kondisi Azalea," pikir lelaki itu, "Bisa jadi Azalea tersinggung jadi mematikan teleponnya begitu saja."Meski sudah begitu pun, pikiran Bima terus berputar-putar. Ia menekan dirinya untuk yakin bahwa Azalea aman di sana."Kapan terakhir kali saya berpikir dia baik-baik saja dan berakhir dengan mengantarnya ke rumah sakit?" sesal Bima, membuang jauh-jauh asumsinya.Belakangan ini, Bima diliputi semacam badai pikiran yang tidak ia pahami. Lama kelamaan, bayangan wajah Azalea memenuhi kep
"Nyonya?"Suara Anna memantul tak mengenai Azalea yang sedang menatap kosong ke depan."Nyonya!"Anna harus mengguncangkan tubuh sang nyonya muda supaya berhenti melamun."Apa?" Azalea terkesiap.Anna membuka pintu mobil lebar, mengomel, "Kok malah bengong. Kita udah sampai. Anda nggak mau turun?""Oh, iya. Makasih Anna, Dimas. Kerja bagus hari ini," ujar Azalea seraya turun dari mobil, lalu melangkah meninggalkan Anna dan Dimas yang mengeluarkan tas olahraga dari bagasi. Mereka berdua berpandangan bingung seraya memperhatikan Azalea berjalan masuk ke mansion tanpa menoleh ke belakang."Kayaknya Nyonya sakit, ya?" tanya Dimas."Dia habis menangis, bodoh. Nyonya kita yang malang." Anna mengambil kesimpulan, menggeleng iba.Dalam kamar mandi pribadi di kamar, lamunan Azalea mengambang. Perempuan cantik itu berdiri di bawah guyuran shower. Rintik air membasahi tubuh polos dan rambut indahnya."Padahal tinggal sedikit lagi," gumam Azalea seraya meraba lehernya. Di balkon gedung gym tadi
"Mmhhmm...."Deru halus napas Azalea berbaur dengan milik Bima dalam kosongnya jarak. Pada detik itu, waktu seakan melambat.Dalam gejolak perasaan masing-masing, bibir mereka bertemu dalam ciuman. Ciuman itu lembut tapi penuh dengan kerinduan dan gairah, seolah menjadi simbol penyerahan diri Azalea terhadap perasaan yang telah terbangun di dalam dirinya seperti badai mengamuk. Semuanya ia serahkan hanya untuk Bima."Mmmhhh...."Dengan lembut Bima mengangkat Azalea dan menggendongnya dengan posisi berhadapan. Secara otomatis kedua kaki Azalea melingkari pinggang Bima, mengeratkan diri dalam dekapan lelaki itu.Setelah larut dalam ciuman memabukkan, mereka terengah berebutan oksigen. Mata mereka bertemu, dipenuhi dengan antusiasme dan adrenalin. "Mau pindah ke kamar?" bisik Bima. Azalea menjawab dengan anggukan pelan.Bima kembali meraup bibir Azalea seraya melangkah menuju kamarnya. Tiba di sana, Bima merebahkan Azalea di atas kasur empuk miliknya.Senyum terbit di bibir Bima ketika