"Aku mau ngobrol sama kamu malam ini..." Ia melindungi dirinya.
"Bukan, bukan masalah kamu baru bilangnya sekarang, tapi kok bisa mama duluan yang tau daripada aku?" Aku menegaskan kembali arah obrolanku yang sama sekali merasa tidak dihargai sebagai istri olehnya."Lah kan gak ada masalahnya juga. Udah deh jangan buat buat keributan yaaa...." Ia membantahku lagi dan beranjak pergi...****"Claire sama Cathrine tolong ke ruangan saya sekarang..."Rasanya semalaman suntuk Randi enggan berbicara kepadaku, entah karena dia badmood aku terus-terusan bermasalah dengan Airin atau memang ada yang sedang ia pikirkan, entahlah. Tiba-tiba pagi hari ini, jam delapan tepatnya ia memintaku dan Catherine untuk ke ruangannya jelas saja aku merasa sedikit awkward untuk menatap matanya."Baik Pak..." Ucap Catherine.Perempuan dengan rok diatas lutusnya itu dengan sigap memasuki ruangan Randi tanpa mengajakku. Ya memang santer kabar yang beredar di lantai ini mengatakan Catherine suka dengan Randi. Jadi wajar saja jika sikapnya begitu manis. Mungkin kalo dulu posisinya aku baru sebagai pacar Randi, aku akan biasa saja melihatnya, tapi sekarang perasaanku berubah, rasa cemburu itu jelas hadir."Oke, makasih sudah kumpul Claire dan Catherine. Jadi, saya panggil kalian berdua sebagai persiapan untuk merger perusahaan kita dengan investor yaitu Arsy. Nah, kemungkinan bakal diadakan di Bali besok siang. Tapi, kita sudah harus berangkat kesana sore ini. Kalian berdua silahkan pesan tiket untuk penerbangan sore ini dan juga hotelnya." Ucap Randi."Sore ini banget, Pak?" Tanya Catherine"Iya. Kenapa? Kamu keberatan?" Balasnya lagi."E... enggak Pak. Baik, saya langsung pesankan tiketnya."Aku hanya mengangguk pelan, sembari sedikit bertanya di dalam hati, kenapa Catherine juga harus ikut kali ini. Tapi ya positifnya mungkin disana bakal sibuk dan memang memerlukan tenaga bantuan dari aku maupun Catherine. Huft mencoba berpikir positif......"Oh ya jangan lupa juga Claire, saya minta tolong siapin dokumen-dokumen yang mau kita bawa kesana dan bantu ingatkan Arsy untuk persiapan dokumennya juga ya. Sudah ada kontak Arsy kan?" Ia menyindirku secara terang-terangan."Iya, baik Pak..." Jawabku singkat.Setelah adanya instruksi singkat itu, aku dan Catherine langsung dipersilahkan keluar. Kembali ke rutinitas sembari juga menyiapkan dokumen-dokumen yang memang mau ku bawa nanti sore."Eh Claire, tau gak Pak Randi duduknya di kursi nomor berapa?" Baru saja hendak duduk di kursi kerjaku, secara spontan Catherine bertanya yang menurutku cukup aneh."Ya gak tau, bahkan gue aja gak tau siapa yang mesenin dia tiket pesawatnya. Kenapa emangnya?" Aku sadar nada bicaraku sudah lumayan judes kali ini."Ya mana tau kan lo tau secara lo sekretarisnya dia. Gue mau duduk disebelah dia sih hahahaha...." Ia tertawa lalu beranjak pergi dariku."Gila tuh ya perempuan. Gak lihat apa di jari manis Randi sudah ada cincin!!" Celotehku sembari membereskan kertas-kertas yang berantakan diatas meja.Deg...Tiba-tiba aku tersadar,"Memangnya Randi pakai cincin nikah?"Sialnya aku sudah tidak ada kesempatan lagi bertemu langsung dengannya atau sekedar iseng masuk ke dalam ruangannya, karna dia sedang meeting di luar kantor.Sepanjang hari pula aku kepikiran, apakah suamiku ini mengenakan cincinnya atau tidak. Kenapa juga aku baru sadar sekarang setelah melihat tingkah Catherine yang amat menyebalkan itu.Aku tertunduk, menyentuh jemariku khususnya jari manis yang telah terlingkar dengan indah cincin berlian dari Randi."Apa seperti ini nasibku menikah dengan penerus tahta?" Batinku****"Claire, lo udah cek email belom?" Ujar Catherine."Belom, gue buru-buru nih mau pulang terus ke airport. Emang kenapa?" Aku pun juga melihat Catherine dengan tas jinjingnya yang sudah siap pulang untuk packing dan berangkat."Pak Guntur mau pemeriksaan besok......""Haaa? Kok mendadak? Lo salah lihat tanggal kali ah Cath...."Kring...... kring...."Eh sebentar sebentar...." Aku sedikit menjauh dari Catherine sebab seseorang yang menghubungiku adalah Randi suamiku, dan posisinya bukan menggunakan telpon kantor alias ranah pribadi."Dih angkat telpon harus banget jauj jauh gitu?" Celoteh Catherine."Iya, kenapa Ran?" Jawabku langsung to do point."Gawat nih..." Terdengar suaranya cukup panik dengan beberapa kali vibrasi yang terdengar sampai ditelingaku."Gawat kenapa? Ada apa? Semuanya baik-baik aja kan?""Pak Guntur besok mau pemeriksaan ke kantor. Haduh gimana ya..."Benar saja yang barusan Catherine sampaikan kepadaku. Aku juga gak kalah bingungnya sebab kurang dari 24 jam tanpa ada persiapan apapun dari kami yang berada si kantor."Oke coba tenang dulu Ran. Coba tenang dulu pelan-pelan." Aku coba menenangkan karna aku tau kelemahan dia adalah rasa kekhawatirannya yang berlebihan."Dua duanya penting tapi ini gak bisa series, karna gimanapun Pak Guntur gak boleh tau kita ada investor lain juga...." Ucapnya."Ya udah kalo gitu harus ada salah satu yang stanby antara aku dan Catherine untuk mendampingi Pak Guntur, kan? Kalo pun kamu berhalangan ya setidaknya disini ada orang manajemen gitu sih yang bisa presentasi ke dia..." Aku coba memberikan opini kepada CEO yang panikan ini."Hmmmm....." Ia bergumam cukup lama."Kalo kamu aja yang tinggal gimana sayang?" Ia memberiku penawaran."Aku?""Iya karna kalo Catherine yang tinggal ya dia juga belum tentu bisa presentasi sebaik kamu.""Jadi yang dampingi kamu Catherine maksudnya?" Nada bicara dan arah obrolanku jelas saja sudah menunjukkan kecemburuan."Ya iya, siapa lagi. Gimana sayang? Gak apa-apa?" Ia masih bisa bertanya dengan polosnya. Emang benar cowok itu susah baca signal dari wanita meskipun sudah jelas aku sedang cemburu saat ini."Ya sudah deh kalo gitu....." Aku langsung mematikan ponsel dan bergegas kembali ke mejaku. Masih juga ada perempuan yang pakai rok mini itu disamping mejaku."Gue gak jadi ikut...""Kenapa lo? Kan udah beli tiket katanya....""Besok ada Pak Guntur kan? Gue diminta buat dampingi dia....""Oh lo tadi ditelfon sama Pak Randi ya? Kenapa harus jauh-jauh gitu. Ada apa lo sama Pak Randi?""Gila ya ini perempuan. Dia masih bisa bilang seperti ini setelah kedekatanku dari dulu dengan Randi terkuak. Mungkin kalo dia tau aku sudah menjadi istrinya, bisa pingsan kali nih orang...." BatinkuAku menghela nafas."Bukan. Tadi saudaraku telfon, setelahnya Pak Randi baru nelfon. Ya udah deh, have fun ya!" Ketusku.*****"Sayang, sudah daritadi pulangnya?" Aku yang baru saja memasuki ruang tamu sudah bertemu dengan Randi dengan kaos rumahannya."Iya tadi waktu nelfon kamu itu baru sampai rumah juga...""Udah packing?""Dih istri seperti apa kamu bisa bisanya suami packing sendiri. Bukannya pulang lebih awal kalo tau suami mau berangkat tuh!" Suara Airin semakin mendekat namun kali ini dia sendirian tidak bersama Roger."Maaf Ma, tadi masih ada yang harus disiapin."Untuk menghindari lebih banyak perdebatan dan energiku terkuras, aku langsung pamit naik ke kamar, Randi mengikutiku."Kamu kenapa kok cemberut gitu sih? Karna mama lagi?""Enggak, kan sudah biasa...." Aku menyentuh koper Randi yang ku lihat sudah ter-packing dengan rapi."Terus? Apa kamu cemburu sama Catherine?"Mataku melalak tajam kepadanya."Dengar ya kamu, jangan mentang-memtang suamimu pergi kamu mudah aja keluar masuk kamar seperti ini..."Belum ada 6 jam pasca keberangkatan Randi, ibu mertuaku sudah langsung menyeramahiku perkara aku langsung bergegas masuk kamar."Ada yang bisa aku bantu, Ma?" "Masak sana, bersih-bersih rumah. Pokoknya kamu jangan cuma makan tidur disini!" Ucapnya.Ia membentakku sehingga asisten rumah tangga yang tadi ada di belakang juga turut keluar."Nah ini Bi, coba diajarin cara bersih-bersih rumah." Tunjuk Airin kepadaku pada saat berbicara dengan asisten rumah tangga di sini."Malam ini, biar dia aja yang masak. Mau lihat apa sih yang buat Randi secinta ini sampai melawan orang tuanya..." Sindir Airin."Ma.. Maaaf tapi aku gak bisaa...." Aku menjawab pelan."Gak bisa? Apa? Kata kamu gak bisa?" "E... enggak Ma. Oke Ma, aku izin ke dapur dulu..." Alihku. Jelas saja harga diriku sudah tidak ada di rumah ini. Me
"Gak becus banget. Masak aja gak bisa. Apa sih kelebihan kamu di mata anak saya?" Airin membentak keras dan marah dengan kejamnya dihadapan suami dan Bi Asih selaku asisten rumah tangganya."Maaf ma....." Aku menunduk takut."Nyonya maaf, tadi saya yang lupa untuk ingatin non Claire angkat steaknya. Maaf Nyonya..." Bi Asih memelas iba kepada Airin."Ah sudah, sekarang kamu pesankan saya makan malam. Atau belikan saja langsung keluar sana...." Perintah Airin, entah itu untukku atau untuk Bi Asih dengan dentuman geprakan meja.Namun, dengan sigapnya aja aku langsung mengeluarkan ponselku dari saku rokku, membuka layanan makanan online, dan mencari steak yang mertuaku ini inginkan."Ma, sebentar ya sedang dipesan....." Ucapku pelan.***Setelah kejadian sadis makan malam tadi, aku tidak melanjutkan makan malamku. Ku biarkan Airin dan Roger untuk makan, sementara aku kembali ke kamar. Aku menangis sejadinya, meng
"Claire, kamu dimana?" "Ya di kantor, kenapa?" "Kamu jawabnya ketus banget. Ada apa sih dari tadi malam...." "Ya biasa, aku lagi gak dalam mood yang bagus sekarang. Ada apa?" Jelas saja rasanya aku ingin menuntaskan obrolan dengan Randi kali ini. "Arsy ke kamu?" "Oh iya itu. Dia tadi sempat nelfon aku sih mau ketemu sore ini. Ada apa ya? Katanya besok mau peresmian...." "Kamu sebetulnya ada apa sih dengan dia?" Terang saja ini membuatku bingung ada masalah apa lagi disana sampai aku diikut-ikutan olehnya . "Kenapa kamu bisa bertanya gitu? Aku lagi di kantor. Bisa gak kita ngobrolnya 30 menit lagi pas aku makan siang?" Aku memberikan penawaran terbaik untuk berbincang pribadi di luar jam kantor. Ya meskipun ia adalah atasanku langsung dan menjadi CEO di perusahaanku, tetap saja aku punya pekerjaan lain yang memberiku gaji disini. "Telfon aku 30 menit lagi...." Ia menutup telfonnya. "Ada apa sih ini? Arsy ngajak gue ketemu, dan dia berlagak aneh seperti ini..." **** "Mau i
"Claire, kamu dimana?""Ya di kantor, kenapa?" "Kamu jawabnya ketus banget. Ada apa sih dari tadi malam....""Ya biasa, aku lagi gak dalam mood yang bagus sekarang. Ada apa?" Jelas saja rasanya aku ingin menuntaskan obrolan dengan Randi kali ini."Arsy ke kamu?" "Oh iya itu. Dia tadi sempat nelfon aku sih mau ketemu sore ini. Ada apa ya? Katanya besok mau peresmian...." "Kamu sebetulnya ada apa sih dengan dia?" Terang saja ini membuatku bingung ada masalah apa lagi disana sampai aku diikut-ikutan olehnya ."Kenapa kamu bisa bertanya gitu? Aku lagi di kantor. Bisa gak kita ngobrolnya 30 menit lagi pas aku makan siang?" Aku memberikan penawaran terbaik untuk berbincang pribadi di luar jam kantor. Ya meskipun ia adalah atasanku langsung dan menjadi CEO di perusahaanku, tetap saja aku punya pekerjaan lain yang memberiku gaji disini."Telfon aku 30 menit lagi...." Ia menutup telfonnya."Ada apa sih ini? Arsy ngajak gue ketemu, dan dia berlagak aneh seperti ini..." ****"Mau istirahat d
"Berantem hebat ya?" Asha seolah bisa membaca raut wajahku."Iya Mbak, biasalah..." Aku senyum tipis. Perasaanku amat tidak enak untuk menceritakan permasalahan ini dengannya, terlebih ia juga bagian dari keluarga Randi."Jujur, dulu selama ada di rumah suamiku ya sama kayak kamu juga. Apapun yang aku lakukan tuh gak disukain sama Airin, dia sebagai adik tapi ngatur, adu dombanya bukan main...." Asha menceritakan secara detail apa yang terjadi. Justru buatku diam tidak bergidik untuk menyimak apa yang terjadi."Ya menurutku, kamu akan terus seperti ini ya jika masih tinggal bersama Airin. Apalagi Randi putra tunggalnya, wah sudah pasti gak kebayang kamu makan hatinya gimana....." Ungkap Asha yang menaruh simpati kepadaku."Mbak......" Aku meneteskan air mataku, seolah ingin mengungkapkan semua yang aku rasakan setelah pernikahanku terjalin."Kamu bisa cerita kok sama aku. Karna kondisinya aku juga pernah ada diposisimu...." Asha coba menenang
"Non tapi ini kita mau kemana?" Sopir taxi ini juga bingung untuk mengarah kemana karna saat ini yang aku butuhin hanya menghindari Arsy terlebih dahulu."Tolong ke Jalan Cendrawasih aja Pak..." Balasku sembari seseklai menoleh ke arah belakang memastikan kalo Arsy sudah tidak mengikuti jejakku lagi."Baik Non.."Mobil melaju kencang, entah ini keputusan yang benar atau salah aku untuk mengasingkan diri terlebih dahulu di rumah tante Alexa. Meskipun aku tau akan terjadi kemarahan pada keluarga Randi dan mungkin juga Randi sendiri, tapi aku butuh sendiri saat ini.***"Assalamualaikum tante...." Beberapa kali ku mengetuk pintu namun masih belum ada jawaban.Aku melihat sekeliling rumah, tampak rumah ini begitu sepi.Ku coba mengambil ponsel di dalam tas tanganku, ku cari kontak yang bertuliskan Tante Alexa di dalamnya dan langsung saja aku menyentuh tanda hijau bergambar telfon.Dari sambungannya, terdengar berdering yang artiny
Degup jantungku berdetak cukup kencang. Tanganku gemetar, mulutku terkunci rapat, kakiku bahkan seolah mati rasa untuk bergerak sampai menapak di lantai bawah. Aku hanya bisa diam dan menatap bola mata Airin yang tepat berada dihadapanku."Iya, saya jamin hidup kamu sampai kamu tua asalkan kamu tinggalkan anak saya!" Kedua kalinya kalimat itu dilontarkan oleh bibir tipisnya yang berwarna merah tua."Cle, atur nafasmu, atur nafasmu...." Batinku sebab kini nafasku sudah tersengal-sengal."Gimana? Diam artinya kamu setuju kan?" Ia berdiri dan hendak memberiku sebuah amplop coklat."Di dalamnya sudah saya buat nominal cek yang akan bisa biayai hidup kamu. Kamu cuma perlu untuk tinggalin Randi dan hilang seperti ditelan bumi. Paham?" Ia menjulurkan tangannya lagi ke arahku."Ma, maaf aku gak bisa terima ini...." Seolah ada tenaga tambahan untukku menolaknya entah darimana.Aku menghalau tangannya yang berada di depan dadaku. Aku gak bisa nerima i
"A... aku dimana....." Mataku terbuka pelan, terlihat samar-samar beberapa orang tengah mengelilingiku. "Claire......" "Sayang, kamu gak apa-apa kan? Apa yang sakit?" Wanita paruh baya yang menjadi sosok ibu penggantiku ini terlihat sangat khawatir dengan kondisiku. "Tante, apa yang terjadi?" Suaraku masih begitu pelan, tenagaku seolah masih kosong. Aku mengamati sekitarku. Tidak hanya wajah tante Alexa saja yang hadir, tetapi juga Arsy dan Mba Asha turut menemaniku disini. Aku melihat juga tangan kiriku yang tengah terinfus dan sedikit darah keluar di dalam selangnya. Tali oksigen yang masih terpasang di hidungku jelas saja ini membuatku susah bicara. "Kamu jangan mikirin apa-apa dulu ya. Sekarang kamu harus sembuh dulu...." Alexa mengusap kepalaku beberapa kali. Aku masih terus bertanya di dalam hati, apa yang terjadi sama tubuh ini. Rasanya gak mungkin kalo hanya masalah nangis bisa sampai membuatku pingsan. Mungkin karn