Perlakuan tidak menyenangkan yang diterima Evita selama bekerja di Neo Creative memang sudah menjadi makanan sehari-hari. Hinaan, cibiran, dan tatapan merendahkan, sudah sering Evita dapatkan. Entah apa yang membuat mereka begitu tidak menyukai Evita, karena wanita itu merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang neko-neko. Namun, baru kali ini ada pegawai yang berani melakukan tindakan di luar batas.
Lalu, tiba-tiba saja seseorang muncul menyelamatkan dirinya. Evita merasa begitu lega, namun saat melihat sosok itu, mendadak wajah Evita menjadi pucat.
'Grady?' Evita hanya dapat menyebut nama lelaki itu di dalam hati.
Sekujur tubuh Evita terasa membeku. Jantung di dalam dadanya mengentak dengan kuat, hingga rasanya seperti akan melompat. Evita mendengar semuanya, ketika lelaki itu menegaskan siapa dia dan apa saja yang dapat dilakukannya terhadap Willy. Buru-buru wanita itu menundukkan kepala, setengah memutar badan agar Grady tidak melihat wajahnya.
Sudah satu tahun, dan Evita pun telah memaafkan apa yang pernah lelaki itu lakukan padanya. Memang luka yang tercipta akan tetap membekas. Namun, rasa cinta yang Evita rasa untuk lelaki itu terlalu besar, hingga mudah saja bagi Evita untuk melupakan kejadian tersebut.
Semua baik-baik saja, dan Evita mulai dapat menjalani hidupnya dengan tenang, meski tidak semulus yang dia harapkan. Hingga lelaki ini muncul kembali dengan tiba-tiba.
Degup jantung Evita semakin menggila ketika di pantry hanya tersisa mereka berdua. Grady berbicara padanya, namun dia tidak sanggup menjawab. Lalu dia lihat Grady mendekat, membuatnya beringsut untuk menghindar.
"Aaa!" pekik Evita saat wanita itu merasakan tarikan di tangannya.
Sontak saja wanita itu mengangkat wajah. Mau tidak mau, akhirnya pandangan mereka pun bertemu. Sekarang, bukan hanya Evita yang terkejut. Grady pun melebarkan kelopak mata dengan belah bibir yang membuka.
"Kamu?" Lelaki itu menatap kedua mata Evita secara bergantian.
Ketakutan yang dirasa wanita itu membuat tubuhnya gemetar. Evita tidak terlalu yakin, namun pada malam nahas itu, dia mendengar lelaki tersebut menyebut nama aslinya. Dan kini, Evita takut jika Grady mengenali dirinya sebagai Lady Amora.
"Evita? Kamu Evita, kan?" Lelaki itu mengendurkan tangannya di lengan Evita. Dia hela napas panjang lantas memeluk tubuh wanita itu dengan erat. "Ya Tuhan! Aku sangat merindukanmu," ujar lelaki itu dari balik punggung si wanita.
Evita tertegun. Dia tidak yakin dengan indera pendengarannya. Apakah baru saja Grady mengatakan bahwa lelaki itu merindukannya?
Wanita itu memejamkan mata, hingga bulir bening terjatuh dari celah netra. Dia tarik napas lalu dia dorong dada lelaki itu menjauh.
"Maaf, Pak. Saya bukan orang yang Bapak maksud," elak Evita tanpa berani melihat pada lelaki itu.
"Lihat aku! Ini aku, Grady," titah lelaki itu. "Dan aku yakin kamu adalah Evita," ujarnya lagi seraya menjulurkan tangan untuk menyentuh lengan wanita itu.
Evita menghindar lalu meneguk ludah. Otaknya berputar cepat memikirkan cara untuk segera pergi dari ruangan "tak beroksigen" ini.
"Bukan, Pak. Maaf, saya harus kembali bekerja," kata Evita yang lantas pergi meninggalkan Grady.
Wanita itu berlari ke toilet dan menangis sejadinya di sana. Dia tidak mengerti. Mengapa sikap Grady berubah drastis dari saat terakhir kali mereka bertemu. Apa Grady tidak mengenali dirinya? Apa lelaki itu tidak tahu siapa sebenarnya Lady Amora?
Ah, Evita ingat. Waktu itu Grady mabuk. Ya, wanita itu ingat betul dengan aroma alkohol dan rasa manis bercampur pahit ketika lelaki itu menciumnya. Jadi, benarkah Grady tidak mengenalinya sebagai Lady Amora?
Lalu apa yang harus Evita lakukan? Apakah Evita harus senang karena lelaki itu tidak tahu bahwa dia adalah orang yang ingin dibunuhnya setahun lalu? Lantas, bagaimana jika lelaki itu berhasil mengingatnya?
"Tuhan ..., apa yang harus kulakukan?" rintih Evita. Wanita itu menangis tersedu sambil menyandarkan kepala pada dinding, dan membiarkan dingin memeluknya.
Setelah cukup lama membiarkan dirinya menangis, Evita menyeka air mata kemudian membasuh wajahnya dengan air dingin. Bertumpu pada pinggiran wastafel, Evita memandangi bayangan wajahnya di dalam cermin. Dia buang napas keras melalui mulut. Usai meluapkan sesak dalam dada dengan tangisan, Evita merasa jauh lebih baik.
"Kamu pasti bisa melewati semua ini, Ev." Wanita itu berbicara dengan bayangannya sendiri di dalam cermin, memberikan semangat untuk menjadi kuat.
Dia lantas keluar dari kamar mandi untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda. Semoga saja Grady sudah tidak ada di sana.
Saat sedang berjalan di selasar, ponsel dalam sakunya bergetar. Evita memeriksanya, dan ternyata ada pesan masuk dari Dewi—teman seprofesinya yang bertugas di lantai atas.
Dewi: Kamu lagi di mana, Evita? Semua kumpul di ruang konferensi. Ada pengumunan penting.
Kening Evita berkerut, membaca pesan tersebut. Wanita itu berpikir, mungkin dia terlalu larut dalam tangisan hingga tidak mengetahui informasi ini.
Evita: Segera ke sana.
Balasan singkat itu terkirim sesaat setelah selesai diketik. Evita mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pekerjaan dan langsung menuju ruang konferensi.
Ketika Evita masuk ke sana, office support yang lain sudah berkumpul. Dia lantas bergabung dengan Ranti dan Dewi, rekan seprofesinya.
"Ke mana aja—lho, nangis?" tanya Ranti—si Office girl lantai bawah, dengan raut khawatir.
"Tadi kemasukan debu pas bersih-bersih. Pedih banget sampai nangis." Evita menjawab dengan alasan yang pertama melintas di kepalanya. "Ada pengumuman apa sih?" tanyanya kemudian.
Ranti memirngkan kepala, kemudian berbisik, "Katanya bakal ada pimpinan baru."
Kepala Evita menoleh cepat pada rekannya itu. "Pimpinan baru?" tanyanya dengan alis berkerut.
Belum sempat Ranti menjawab, beberapa orang tampak memasuki ruangan. Evita kenal salah satunya. Grady. Lalu, apakah lelaki itu yang akan menjadi pimpinan baru?
Pertanyaan Evita terjawab tak lama setelah orang-orang itu berdiri menghadap pada para karyawan. Hasan mengumumkan secara resmi bahwa terhitung mulai hari ini, Grady akan menjadi pimpinan Neo Creative.
Sendi-sendi di tubuh Evita terasa lemas. Ini artinya dia dan Grady akan bekerja dalam satu perusahaan yang sama, sebagai bos dan office girl.
Bagus!
Pada saat melakukan perkenalan di hadapan karyawan, Grady beberapa kali memperhatikan Evita. Meski mulutnya terus berbicara, tetapi pandangan lelaki itu seperti berat sekali untuk berpaling dari si wanita.
Kembali melanjutkan pekerjaan hingga jam kerja karyawan selesai, Evita tak lagi bertemu dengan Grady. Ruang kerja lelaki itu berada di lantai tiga, sehingga kemungkinan untuk bertemu memang kecil sekali. Dan ini membuat Evita merasa sedikit lega. Karena, meski berada dalam satu instansi yang sama, mereka pasti akan jarang berjumpa.
Datang paling awal dan pulang paling akhir, sudah biasa Evita lakukan. Akan tetapi, ada yang berbeda dengan hari ini. Saat dia sedang membersihkan ruangan, terdengar derap langkah kaki mendekat.
"Aku tahu itu kamu. Kamu nggak bisa mengelak lagi, Evita.” Terdengar suara laki-laki yang familiar di telinga wanita itu.
Evita menoleh ke arah sumber suara seraya menegakkan badan. Dilihatnya Grady sedang berjalan mendekat dengan senyum tipis yang terulas, membuat wanita itu merasa kehabisan napas.
Ibarat kanebo yang direndam air, Evita merasa seluruh tubuhnya lunglai bagai tak bertulang. Sendi-sendi di sekujur tubuhnya terasa begitu lemas, hingga untuk memegang gagang kemoceng saja dia tidak memiliki kekuatan.Suara benda jatuh yang tak begitu keras, membuat Evita tersadar bahwa dia masih berada di bumi. Kakinya masih berpijak di lantai granit yang setiap hari dia bersihkan.Wanita itu buru-buru menundukkan kepala, untuk menyembunyikan wajah dari lelaki itu."Maaf, Pak. Tapi itu bukan saya," ucap Evita seraya memungut kemoceng yang dia jatuhkan. Wanita itu lantas memutar badan, melanjutkan pekerjaannya dengan gugup dan masih berpura-pura tidak mengenali Grady."Berhenti meminta maaf, Ev. Apa begini cara kamu membalas sapaan teman lama?" tanya Grady untuk kembali menarik perhatian Evita.Gerakan tangan Evita yang sedang membersihkan meja pun terhenti. Meski tak melihat ke arah Grady, namun dia tahu bahwa lelaki itu sedang berjalan mendekat padanya.'Apa yang harus kulakukan? Tuh
Apakah semua lantas menjadi mudah, setelah Grady berjanji untuk melindungi Evita? Jawabannya adalah tidak!Memang, Willy tidak pernah lagi melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. SP yang diterima, cukup untuk membuat lelaki itu jera. Akan tetapi, hal tersebut tidak serta merta membuat hari-hari Evita di perusahaan itu menjadi mudah. Beberapa dari para pegawai di sana justru terlihat semakin memandang rendah dirinya.“Aku nggak tahu salahku sama mereka itu apa.” Evita menghela napas panjang.Saat jam istirahat, dia dan dua temannya berkumpul di tangga darurat. Tempat yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul dan memakan bekal makan siang bersama-sama.“Salahnya … kamu itu terlalu cantik,” balas Dewi.“Dan terlalu seksi untuk ukuran seorang office girl! Jelas saja mereka iri sama kamu,” timpal Ranti.Evita menoleh dengan tatapan malas.“Seksi apanya? Lihat, aku nggak pernah pakai riasan yang macam-macam. Seragam aja aku pakai yang gedean gini.” Wanita itu menarik ujung seragam yang
Evita dapat melihat sorot tajam di mata lelaki yang berdiri dalam diam di depan pintu ruangan. Aura yang terpancar dari lelaki itu terasa sangat mengintimidasi, membuat jantung di dalam dadanya berdentum tak keruan.Tubuh wanita itu membeku, seolah dia lupa bagaimana caranya bergerak dan bernapas. Sampai akhirnya, dia melihat perubahan ekspresi Grady setelah lelaki itu melepas napas. Dengan wajah datar, Grady berjalan melewati dirinya tanpa mengucap sepatah kata.Tak tahu mengapa, ada rasa kecewa yang menelusup di dalam dada ketika lelaki itu tak tersenyum apalagi menyapa. Namun, Evita mencoba untuk berpikir positif, bahwa lelaki itu hanya ingin bersikap profesional. Karena masih jam kerja, Grady hanya sedang memosisikan diri sebagai Bos di perusahaan itu, bukan sebagai teman lama.Menyadari kebodohan dengan tetap berada di sana sementara seisi ruangan mendadak hening, Evita pun melanjutkan langkah untuk kembali bekerja. Namun, baru saja dia keluar dari ruangan, tubuhnya berjingkat ka
Gelagat panik Evita terbaca oleh Grady. Sembari memperhatikan jalan di depan, lelaki itu menoleh sekilas pada si wanita.“Evita,” panggil Grady, meminta perhatian wanita itu.“Pak, kok saya … ini ….” Wanita itu menggulir bola mata dengan liar, bingung harus berkata apa dan mengapa bisa ada di mobil tersebut.“Hei,” panggil Grady dengan suara lebih lembut sambil meraih tangan Evita. “Tenang, oke? Aku cuma ajak kamu jalan. Janji, nanti aku bakal antar kamu pulang,” kata lelaki itu.“Ta-tapi, Pak ….” Sungguh, Evita seperti kehilangan kemampuan untuk menyusun kalimat yang tepat. Apa yang ada dalam pikirannya, tidak mampu dia ungkapkan dengan kata-kata.“Aku sudah pernah bilang, kan? Jangan panggil aku ‘Pak’.” Grady melirik malas pada wanita di sampingnya. “Kamu boleh panggil ‘Pak’ kalau lagi kerja. Kalau lagi di luar begini, panggil nama saja,” pinta lelaki itu.Kendati Grady sendiri yang meminta, tetap saja rasanya tidak enak jika harus memanggil nama. Tidak hanya soal panggilan, sekaran
Tidak tahu mengapa, sorot yang Evita lihat dalam kedua netra Grady itu membuatnya bergidik. Oke, wajah lelaki di hadapannya ini memang terlihat tidak jauh berbeda dengan saat mereka masih sekolah dulu. Selain tampilan yang lebih matang dan … semakin memesona, Grady tidak banyak berubah. Namun, Evita seperti melihat sosok lain dalam sorot mata lelaki tersebut.“Permisi, Mas. Ini martabaknya.”Grady mengerjap cepat lalu mengalihkan perhatian. Lelaki itu berpaling ke belakang, pada seorang laki-laki yang berdiri di dekat pintu mobil sambil menyodorkan kresek putih berisi satu kotak martabak.“Oh, makasih, Mang.” Grady menerima kresek tersebut lalu mengeluarkan dompet dan membayarnya. Setelah itu, Grady memutar badan ke arah Evita dengan senyum lebar di bibirnya. Kobaran api dalam netra yang semula Evita lihat, telah berubah menjadi binar indah yang mendamaikan hati.“Martabak di sini isinya penuh banget. Lihat, sampai meluber gini,” ujar Grady seraya membuka kotak martabak tersebut dan m
“Lah, itu motor kamu, kan?” Dewi yang baru keluar dari kamar untuk menjemur handuk, juga terkejut melihat sepeda motor Evita yang sudah ada di depan kamar.Evita memutar kepala. Bingung harus menjawab bagaimana, diam adalah solusi yang paling aman.“Eh, iya. Udah parkir aja di situ. Katanya mogok, terus yang bawa ke sini siapa?” Ranti yang sudah rapi pun ikut berkomentar.“Oh … ini … tadi malam aku coba cari bengkel online. Daripada nebeng sama kamu, kan,” jawab Evita sambil tersenyum bodoh.“Bengkel online?” Dewi dan Ranti sama-sama mengerutkan wajah.“I-iya. Ada kok yang pasang iklan di internet,” kata Evita lagi.“Terus kamu suruh bawa ke sini gitu?” telisik Ranti.Mau tidak mau, Evita megangguk untuk menguatkan kebohongannya.‘Ampuni aku, Tuhan. Aku banyak sekali berbohong akhir-akhir ini,’ batin wanita itu.“Ya udah, yuk, berangkat. Telat absen potong gaji lho,” ajak Evita.“Eh, bentar-bentar. Aku ambil tas dulu,” kata Dewi yang langsung berlari masuk ke kamar.Ketiga office girl
Brak!Pintu ruangan itu terbuka dengan kasar. Pelakunya bahkan sampai berjingkat dengan mulut menganga, saking terkejut dengan hasil perbuatannya. Kalau sampai pintu itu rusak, bisa habis gajinya dipotong untuk biaya perbaikan. Ruangan itu dilengkapi dengan CCTV, jadi tidak akan sulit untuk mencari tahu siapa pelaku perusakannya. Meskipun dia tidak sengaja, perusahaan tidak akan mau tahu.“Ah, sial!” rutuk Evita.Setelah keluar dari keterkejutan, wanita itu menggulir pandangannya menyapu seiri ruangan. Ekspresi di wajahnya pun langsung berubah, dengan alis yang berkerut dalam.“Kok kosong?” gumamnya.Tidak ada satu manusia pun yang dia lihat di ruangan itu. Hening, bersih, dan rapi. Aroma parfum Grady yang tertinggal di sana, membuat Evita yakin jika lelaki itu belum lama meninggalkan ruangan.“Yah … telat,” ujarnya kecewa.Dengan berat hati, Evita menutup kembali ruangan tersebut lalu memutar badan. Berjalan malas menyusuri koridor yang sepi dengan rasa kecewa yang membuatnya semakin
“Grady! Turunin aku!” Evita menahan suaranya karena khawatir akan menarik perhatian orang-orang.“Diam dan jangan berontak. Kamu mau, nanti warga pada bangun terus mengira aku sedang menculik kamu?” Grady mengangkat kedua alis. “Ini sudah hampir tengah malam, Ev. Orang-orang sudah pada tidur.”Wanita itu mengedar pandangan ke sekitar, dan benar saja gang ini sudah sepi. Ada beberapa orang yang masih tampak duduk di depan kamar kos, tapi sebagian besar sudah mematikan lampu dan mengunci pintu. Evita memutar kepala, menyembunyikan wajah di dada Grady, yang sialnya aroma parfum lelaki itu membuat dia semakin betah berlama-lama dalam posisi begitu.“Tapi aku bisa jalan sendiri,” kata Evita, seraya memandang wajah Grady.“Dan aku mau menggendongmu sampai ke kosan,” balas lelaki itu. “Lagian … coba lihat pakaian kamu. Celana kamu penjang sebelah, baret-baret lagi, jalannya pincang. Aku mana tega biarin kamu jalan sendiri?” imbuhnya.Evita mendengkus pelan dengan raut gusar. Orang-orang bisa