Sebelum mengakhiri percakapan, mama berpesan kepadanya untuk menjadi isteri yang baik dan berbakti. “Soal perempuan yang katanya mau jadi istri kedua Deo, kamu jangan mau kalah sama dia.” Mama menambahkan. “Ini saatnya kamu buktiin kalo kamu lebih pantas dipertahankan di sisi Deo daripada perempuan itu. Paham ya, Ver? Kuncinya kamu harus layani suami dengan baik, nurut, dan jangan kasar lagi.” “Iya, Ma.” Veren meringis. “Aku akan inget nasehat Mama.” *** Melihat kondisi fisik Veren yang makin hari kian menurun, Dela dan Vita mengusulkan untuk membeli alat tes kehamilan di apotik dekat kampus mereka. “Lo udah telat belom?” selidik Vita. “Gue udah telatan sejak SMA,” kata Veren. “Makanya gue nggak yakin kalo gue hamil. Orang tiap bulan gue telat.” “Tapi kan sekarang lo udah bersuami,” sergah Dela yang ikut kepo. “Udah, beli tespek murah dulu buat ngecek. Jangan sembarangan minum obat lho, Ver.” Veren terdiam, dia lupa kapan haid terakhirnya. Dia juga tidak pernah menghit
Deo mengulurkan tangan untuk menyingkirkan guling yang menghalanginya. “Ngambek nih?” katanya sambil membaringkan diri di samping Veren. Deo menarik Veren hingga tubuh ringkihnya hampir terbenam seluruhnya dalam dekapannya. Veren tidak menjawab, dia kesal sekaligus senang karena Deo tidak menuruti keinginannya untuk pergi dari rumahnya. Aroma minyak kayu putih yang telah dibalurkan Deo kepadanya membuat Veren sangat rileks dan perutnya yang tadi bergolak berangsur tenang, setenang dirinya yang kini memejamkan mata dengan lengan Deo sebagai bantalnya. Suara gemericik air hujan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka berdua ke alam mimpi. *** Veren membuka mata sambil menggeliat, satu tangannya meraba-raba ke samping namun tidak menemukan apa yang dia cari. “Yo?” panggil Veren dengan suara serak. “Lo di mana?” Tidak ada jawaban. Veren menyibakkan selimutnya dan berjalan ke kamar mandi untuk mencari keberadaan suaminya. Nihil, Deo tidak ada di kamar mandinya yang kosong. Veren
“Kan ada elo,” timpal Deo sambil memejamkan kedua matanya. “yang bisa menghangatkan gue malem ini.” “Emang gue kompor,” tukas Veren sambil mengganti saluran tivi. “Halu lo malem-malem.” “Elo lebih dari kompor,” sahut Deo seraya membuka matanya. “Elo itu adalah separuh jiwa gue, dan juga tulang rusuk gue yang sempet ketuker sama kakak ipar ....” “Bisa ae lo, kaleng minyak.” Veren menukas, tangannya melempar bantal ke wajah Deo. “Aduuuh, sakit Ver!” protes Deo. “Kena bibir gue nih, kalo gue kenapa-napa lo siap tanggung jawab?” Veren langsung menyingkirkan bantalnya dan menubruk Deo yang masih berbaring. “Canda doang!” katanya sambil memeriksa luka di ujung bibir Deo. “Lo nggak papa kan?” Deo tidak menjawab, wajah Veren yang sangat dekat dengan wajahnya seolah mengalihkan dunianya untuk sementara. Kedua mata Veren yang besar seperti boneka balas memandangnya dengan sangat khawatir. Hawa dingin yang menguar karena hujan membuat Deo menginginkan kehangatannya. Veren seketika tersad
“Kita mulai dari nol,” kata Veren. “Masa lalu nggak bisa diubah, tapi masa depan masih bisa kita rancang.” Deo mencium puncak kepala Veren dengan penuh sayang. Mereka memang tidak bisa mengubah masa lalu saat mereka terpaksa menikah karena tuntutan warga, tapi yang terpenting adalah kini mereka telah memantapkan hati untuk terus mengarungi bahtera mereka yang sempat karam. “Tapi Yo ...” Mendadak Veren ingat sesuatu, dengan segera dia melepas dekapannya . “Tania gimana?” Deo menghapus sisa-sisa air mata di wajah Veren. “Gue udah bilang sama Tania kalo gue nggak bisa menikahinya,” jawab Deo sungguh-sungguh. “Terus?” Veren mengernyit. “Dia nggak papa?” “Dia baik-baik aja.” Deo mengangguk. “Gimana kalo sekarang kita fokus sama hubungan kita aja?” “Iya Yo, gue akan nemenin elo apa pun keadaan lo.” Veren menyanggupi. “Ya udah, gue masak dulu di dapur.” “Kok buru-buru?” tanya Deo ketika Veren beringsut turun dari tempat tidur. “Nggak mau pelukan lebih lama lagi?” “Yang ada nanti gu
“Bukan Tania yang masakin gue,” kilah Deo. “Tapi itu jatah makan siang dari tantenya, semua karyawannya dapet. Makanya lain kali nanya dulu, jangan asal cemburu ....” “Gue nggak cemburu!” ketus Veren sambil berdiri. Hampir saja dia lolos jika Deo tidak buru-buru menarik tubuhnya kembali. “Terus kenapa makanannya lo kasih ke temen-temen gue?” tanya Deo tajam. “Mereka muji-muji masakan lo. Bangga sih bangga, tapi tetep aja kuping ini panas dengernya.” “Heleh, sendirinya cemburu.” Veren mendengus. “Nggak ada suami yang nggak cemburu denger isterinya dipuji sama cowok lain,” tukas Deo sambil memutar tubuh Veren hingga menghadap kepadanya. “Lo nggak pernah masak buat gue, tapi sekalinya masak yang ngabisin malah temen-temen gue.” Veren agak mengerut ketika melihat ekspresi wajah Deo saat menatapnya. “Iya deh, habis ini gue masak buat lo,” katanya mengalah. Belitan Deo mengendur dan Veren langsung berdiri dari pangkuannya. Baru saja dirinya akan melangkah pergi, seekor kecoa terbang
“Gue udah mau manggil elo, tapi Veren nyegah gue.” Septian membela diri. “Tapi kelihatan banget kalo dia cemburu lihat lo sama Tania tadi. Lo yakin dia serius mau cerai sama lo?” Deo menarik napas dan duduk si salah satu kursi sementara Hernandez dan yang lain keluar membeli minum. “Gue sendiri nggak tau apa maunya,” kata Deo lesu. “Akhir-akhir ini dia nggak bisa ditebak, sering banget marah karena hal kecil ....” “Kayak lo nggak sengaja meluk Tania itu?” tebak Septian. Deo mengangguk. “Gue udah ngaku salah, gue juga udah minta maaf. Tapi dia ngamuknya nggak kira-kira,” keluh Deo. “Tiap denger nama Tania, dia langsung ngegas sambil maki-maki gue nggak keruan.” Septian mengangguk paham. “Ada dua hal yang bikin emosi cewek nggak stabil,” katanya. “Kalo nggak lagi PMS ya ... lagi bunting.” “Bunting what?” tukas Deo tidak percaya. “Bunting sama siapa?” “Ya sama elo lah, lo kan suaminya!” Septian balik menukas. “Masa bunting sama cowok lain, sembarangan lo.” Deo berpikir sebenta