LOGIN"Kau harus gunakan payung lain kali atau pesan taksi langsung dari tempat tinggalmu." Seorang wanita dengan rambut ponytail berjalan menghampiri Tiana yang sudah duduk di belakang meja kasir usai mengantar dua cangkir espresso milik pelanggan yang datang.
"Aku agak kesiangan." Tiana nyengir tepat setelah membuat isyarat dengan kedua tangannya. Ya, bukan kebiasaannya berbohong terutama di pagi hari. Aslinya ia juga tak mau basah-basahan. Sebuah payung tentu saja ia miliki, tapi benda itu ada di apartemen lamanya, dan ia juga tak mungkin mengatakan semuanya kepada Sofia—wanita tadi, soal kepindahannya yang terbilang mendadak ke rumah pria yang bernama Noah. Tiana sendiri telah bekerja di sana selama kurang lebih empat tahun. Hasty Pastry, nama dari sebuah kafe yang selama ini membantu finansialnya, berlokasi di Bayreuther, Berlin. Tempat yang juga menjadi rumah kedua baginya, bertemu dengan orang-orang baru seperti Sofia yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri. Selama itu ia bisa mengenal Sofia yang semakin hari juga semakin memahami setiap bahasa isyarat yang Tiana tunjukkan hingga tak perlu repot-repot menulis di catatan atau sticky note. "Ada waktu malam ini? Kurasa aku ingin berjalan-jalan sebentar setelah tutup. Mungkin... membeli burger? Atau chicken wings? Kau suka chicken wings, kan?" Sofia memainkan ujung rambutnya dengan menggunakan telunjuk. Ia tampak seperti seorang pria yang sedang mengajak wanita pujaannya pergi kencan nanti malam. Tiana sampai dibuat geleng-geleng, lalu terkikih. Wanita itu mengangguk. "Tentu. Mari pergi," katanya dengan isyarat. Biasanya, mereka akan menghabiskan waktu untuk bepergian sebentar setelah kafe tutup pada pukul 6 sore hari. Sementara saat akhir pekan, kafe tutup pukul 8 malam. Mereka akan berjalan-jalan membeli makanan ringan, ke mall, atau bahkan meski itu hanya untuk membeli es krim. Toh mereka sama-sama hidup sendirian—terkecuali Tiana sekarang, meski ia dan Noah hidup dengan masing-masing kehidupan. Sebuah bel yang menggantung di pintu berbunyi begitu pelanggan datang. Sofia segera mengakhiri pembicaraan mereka dan dengan segera beralih kepada pelanggan, tak lupa dengan membawa serta sebuah nampan yang sedari tadi berada di tangannya. Tiana kini sibuk memandangi teman-temannya yang lain yang juga tengah berfokus pada tugas masing-masing. Andrew dan Emma di posisi barista, Sofia dan dua orang lain bertugas melayani pelanggan yang datang, lalu beberapa orang lainnya bertugas di bagian belakang menyiapkan makanan. Mendadak, ia jadi memikirkan seperti apa kira-kira reaksi mereka jika seandainya tahu kalau dirinya saat ini sedang hamil? Nahasnya lagi, pria yang bertanggung jawab itu adalah yang bahkan tidak pernah ia kenal sebelumnya. Ya, setidaknya Tiana sendiri pernah melihat Noah datang ke Hasty Pastry selama beberapa kali untuk memesan americano meski ia ragu kalau pria itu akan mengingat wajahnya di sana. "Tapi, setidaknya Noah masih memiliki keinginan untuk bertanggung jawab dan itu sudah lebih dari cukup. Apalagi ia sampai memintaku tinggal bersamanya. Mungkin untuk memastikan kondisi kehamilanku?" batin Tiana. Cepat atau lambat, ia akan berdiri di sana dengan perut membesar. Itu pun jika bosnya masih memberikannya izin untuk bekerja. Lalu, bagaimana dengan Noah, ya? Apa dia akan mengizinkannya juga? Sejenak, Tiana menghela napasnya pelan dan kembali bergumam dalam batinnya, "Dia bahkan masih bisa memasang tampang begitu santai kemarin. Jadi, untuk apa dia harus peduli soal pekerjaanku?" Ia meletakkan salah satu tangannya di atas permukaan perutnya yang masih rata. "Semuanya adalah sebuah kecelakaan. Jadi, jangan berharap lebih. Dengan dia yang masih sudi bertanggung jawab dan tidak kabur saja sudah lebih dari cukup. Maka dari itu, jangan berekspektasi untuk bergantung padanya. Ingat, Tiana. Dia masihlah orang lain dan bukan siapa-siapamu." ** Noah seketika meremas kasar rambutnya, diiringi embusan napas kasar tanpa mau menatap ke arah layar komputer di depannya. "Sepertinya jagoan kita kali ini sedang tidak baik-baik saja." Salah satu temannya terdengar berbicara lewat mikrofon, kemudian diikuti oleh suara tawa yang lain. "Ada apa, bung? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya yang lain, tepat ketika karakter game milik Noah berhasil 'disembuhkan' sehingga garis berwarna hijau kembali tampak di bagian atas kepala. Noah terdiam sejenak, kemudian ia melirik sebuah jam yang berada di dinding. Sudah memasuki waktu makan siang, mungkin itu penyebab dirinya tak bisa fokus. Ya, pasti itu alasannya. "Aku tak sempat sarapan tadi pagi, jadi perutku terasa lebih lapar sekarang. aku akan kembali lagi nanti," katanya. Usai mendapat persetujuan dari teman-temannya, ia pun segera meninggalkan tim dan meng-klik logout, serta melepas headphone di kepala. Sarapan, ya. Padahal ia tadi pagi memakan habis pancake yang dibuat oleh Tiana beserta segelas susu hingga tak bersisa. Malas juga ia menghadapi rentetan pertanyaan dari teman-temannya jika ia berkata kalau seseorang telah membuatkannya pancake pagi ini, karena pengalamannya memasak hanyalah sebatas merebus mi instan atau menggoreng telur. Sisanya, ia makan di luar atau delivery order. Ngomong-ngomong soal Tiana, kira-kira di mana wanita itu bekerja, ya? Mereka jarang sekali bicara sampai-sampai Noah tak tahu tempat Tiana bekerja. Terdengar agak memalukan memang, tapi ia sendiri masih agak canggung setiap kali mereka berdekatan. Bukan canggung, mungkin lebih ke dirinya yang... nonchalant—tidak peduli juga dan tidak mau tahu. "Bukan urusanku juga," batinnya seraya mengambil kunci mobil dari dalam laci. Ia melangkah menuruni satu per satu anak tangga dan meninggalkan rumah. Mungkin makan di luar akan sedikit mengalihkan isi kepalanya, pikirnya. Ia menuju salah satu tempat yang biasa ia kunjungi saat waktu makan siang. Hasty Pastry. Seperti biasa, bel berbunyi ketika dirinya membuka pintu. Seorang pelayan wanita berjalan menghampirinya begitu ia mendudukkan tubuhnya di salah satu meja dekat jendela. "Satu piadina dan... lemontea," katanya sambil menunjuk gambar pesanannya di buku menu. Si pelayan mengangguk, mencatat pesanannya lalu segera berlalu. Noah mengeluarkan ponselnya dan membalas beberapa pesan yang ia terima. Beberapa di antaranya adalah pesan dari teman-temannya yang masih bermain game. Diletakkannya ponsel di atas meja setelah ia selesai dan sambil menunggu pesanannya datang, Noah menatap ke sekeliling kafe. Ini bukan pertama kali dirinya ke sana, suasana yang tenang dan nyaman membuatnya memilih Hasty Pastry untuk ke sekian kali. Sampai pada akhirnya, pandangannya berhenti di satu titik. Matanya tepat mengarah lurus ke arah seseorang yang saat ini sedang melayani pelanggan dari belakang meja kasir. Kenapa bisa? Ia sama sekali tak mengingat wajah itu. Kenapa tiba-tiba wanita itu ada di sana? Tiana sedang berinteraksi dengan pelanggan dengan menggunakan sebuah buku catatan dan bahasa isyarat sesekali. Senyumannya merekah saat topik pembicaraan mereka dirasa semakin menyenangkan. Selesai memberi isyarat 'terima kasih', Tiana mendudukkan tubuhnya di kursi. Namun, sebelum wanita itu benar-benar mendaratkan bokongnya, kedua matanya justru tak sengaja mengarah pada Noah yang saat ini sedang menatapnya dengan kedua mata membulat. Kali ini, mereka bertemu. Untuk pertama kali.Keadaan rumah agak gelap saat Tiana tiba. Ini baru jam delapan malam, apa Noah sudah tidur? Atau pria itu sedang pergi ke luar? Tiana perlahan melangkah menuju ke ruang tamu, meraba-raba permukaan dinding untuk menemukan posisi saklar yang ia ingat dan begitu lampu berhasil dinyalakan, wanita itu terdiam di posisinya. Di sana, ia menemukan Noah yang tertidur di sofa. Hal yang tak biasa ia jumpai saat pulang dari kafe. Biasanya, jam segini pria itu sedang sibuk-sibuknya main game bersama dengan teman-temannya yang lain. Mungkin pria itu agak kelelahan atau kalah dalam game, hanya itu yang Tiana pikirkan. Ia lalu melangkah ke dapur dan meletakkan satu kantung plastik berisi hash brown dan kentang goreng, lalu memindahkannya ke piring. Ia menelan ludah sejenak menatap hash brown yang seperti tengah menatapnya. Namun, ia menahan diri. "Aku akan mandi terlebih dulu sebelum memakannya," batin wanita itu, kemudian berlalu. Ia sempat melirik Noah yang masih bergeming di sofa da
‘Aku memesan waffle dan juga cokelat panas sebagai permintaan maaf. Kau jadi melewatkan sarapan karena kejadian tadi. Aku akan makan makanan buatanmu sebagai gantinya.’ Mulut Tiana agak terbuka begitu membaca pesan yang dikirimkan sekitar tiga puluh menit lalu dan baru ia buka sekarang. Permintaan maaf? Memakan makanan buatannya? Maksudnya memakan dua piring roti isi ham yang ada di meja makan tadi? Sepertinya, suasana hati Noah sedang cukup baik saat ini sampai pria itu mau repot-repot memesan makanan untuknya. Kunjungan dadakan orang tuanya tadi kini sudah berakhir, tapi kebohongan yang ia dan Noah ciptakan tak akan bisa selamanya bertahan dan harus diakhiri secepatnya juga. Hanya saja, apakah reaksi orang tua Noah akan sama seperti tadi? Atau sesuai yang Tiana bayangkan? Ia mungkin akan benar-benar dimaki nanti. “Kau banyak melamun hari ini, tidak biasanya.” Suara Hans menyapa indra pendengaran Tiana dengan lembut hingga wanita itu tersadar dari lamunannya dan buru-buru memasuk
Suara debaran jantung Noah dan Tiana saat ini seakan tengah berusaha memecah keheningan di ruang tamu rumah itu pagi ini. Tiana sama sekali tak sanggup untuk mengangkat wajahnya dan membiarkan tatapan dari kedua orang tua Noah menelanjangi dirinya di sana. Sementara Noah sendiri hanya bisa membuang napas kasar dan mengusap wajahnya sesekali.“Tidak aku sangka kau akan membawa wanita lain secepat ini,” kata sang ayah.Kedua mata Noah dan Tiana memelotot di saat yang sama.“Tidak—bukan begitu! Jangan sebut dia dengan wanita lain, Ayah!” Noah memprotes, meski dirinya tahu kalau ayahnya mungkin akan menendang kepalanya hingga terpental puluhan meter jika ia mengatakan tentang alasan Tiana tinggal di sana. Tentu saja, lebih parah dari sebutan ‘wanita lain’, karena Noah sampai membuat wanita malang itu hamil.Kedua mata Noah beralih pada Tiana yang kini mulai terlihat memberanikan diri untuk bergabung dalam pembicaraan mereka. Meski tangannya agak gemetaran, wanita itu tampak berusaha menul
Noah berlari menuruni anak tangga dengan tergesa begitu bel terus dibunyikan. Ia membawa kedua kakinya bergerak secepat yang ia bisa ke teras samping rumah di mana baju miliknya dan Tiana dijemur. "Gawat!" Ia mengambil satu per satu pakaian milik Tiana dan menaruhnya dengan asal ke belakang sofa karena di sanalah tempat terdekat yang bisa ia temukan dan terpikirkan olehnya saat itu. "Sebentar!" katanya sambil mengecek seluruh penjuru rumah dengan kedua matanya. Setelah memastikan kalau semuanya aman, Noah segera pergi menuju pintu utama. Ia berdiri sejenak dan merapikan pakaiannya, kemudian membuang napas. Perlahan dibukanya pintu dan kedua orang tuanya masih berada di sana. "Kenapa kau malah menutup pintunya lagi? Kami jadi lama menunggu," kata ayahnya. "Apa mungkin kau tidak suka dengan kedatangan kami?" "Tidak, bukan begitu. Itu, tadi—" Noah menelan ludah, menatap kedua orang tuanya bergantian. "Masih agak berantakan di dalam," imbuhnya seraya tertawa pelan. Padahal dalam
"Kirimkan aku uang." Tiana membuang napasnya kasar dan memilih memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ia tak mau bersusah payah mentransfer sejumlah uang pada sosok pria tua brengsek yang selama ini merawatnya, apalagi dengan kondisinya sekarang di mana ia lebih membutuhkan uang dan mulai menabung lebih lagi. Toh sia-sia saja ia mengirimkan uang itu jika hanya berjudi dan mabuk-mabukan. Kelakuan ayah angkatnya sudah membuatnya muak hingga ia memilih untuk meninggalkan rumah kedua orang tua angkatnya dan pergi ke Berlin untuk hidup sendiri apalagi setelah kematian ibu angkatnya karena sakit. "Hey, kau mendengarku tidak?" Suara Noah kembali terdengar, kali ini pria itu mungkin agak kesal karena ia seperti seolah sedang diabaikan. Tiana hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Noah tak terdengar berbicara lagi, sampai beberapa detik setelahnya ia kembali berujar, "Jadi selama ini kau bekerja di kafe itu? Artinya kau sudah beberapa kali melihatku, kan? Berarti kita sudah
Satu gigitan mendarat di piadina yang beberapa saat lalu disajikan oleh seorang pelayan. Roti pipih yang dibuat dari tepung, air, serta lemak seperti minyak zaitun atau minyak babi. Dibuat tanpa ragi, bisa dipanggang tanpa menggunakan oven. Digulung, diisi dengan sayuran, daging, atau bahkan keju dan isian manis seperti selai cokelat, menyapa lidah milik Noah hingga pria itu terbuai selama beberapa detik. Salah satu menu baru di Hasty Pastry yang saat ini digemari oleh para pelanggan untuk teman mengobrol atau makanan ringan, hingga dipilih untuk menu makan siang bagi beberapa orang. Namun, cita rasa khas dari piadina kali ini hanya bertahan beberapa saat saja bagi Noah apalagi saat fokus pria itu terbagi. Sesekali ia melirik seorang wanita yang sedari tadi berada di belakang meja kasir dan melayani para pelanggan yang melakukan pembayaran. "Kenapa aku bisa tidak menyadarinya dan kenapa dia tak pernah mengatakannya padaku kalau dia bekerja di sini—sejak kapan?" batin Noah. Si







