"Waalaikumsalam, anak Ibu mengalami kecelakaan. Sekarang ada di RSUD." Suara wanita di seberang telepon jelas buka suara Marsha. Seketika tubuhku terasa lemas seakan tak bertulang. Pantas saja aku tidak enak hati. Perasaan seorang Ibu memang tidak bisa dibohongi. Setelah bertanya lanjut untuk melengkapi informasi lainnya, aku bersiap untuk pergi ke rumah sakit. Untung saja mobil sudah diantar oleh Fatir, jadi bisa menghemat waktu untuk segera sampai di rumah sakit. Dulu Mas Topan sendiri yang menyuruhku untuk belajar menyetir, katanya supaya aku bisa lebih mandiri. Awalnya aku menolak, tetapi setelah dipikir, karena kami punya kesibukan masing-masing, akhirnya aku pun bisa menyetir sendiri. Ternyata sekarang aku benar-benar mandiri. Saat aku datang, Marsha masih di IGD. Hatiku sedikit lega melihat keadaannya tidak begitu parah. "Ada beberapa luka yang perlu penanganan khusus. Jadi putri Ibu harus dirawat selama beberapa hari. Kebetulan ini baru saja mau dipindah ke kamar peraw
Aku berpikir sejenak. Awalnya memang tidak mau cerita pada Fatir, tetapi apa boleh buat, sekarang Fatir bertanya dan aku memang butuh bantuannya. Tanpa ada yang dilebihkan atau dikurangi akhirnya aku pun bercerita. Fatir menyimak tanpa banyak bicara hanya sesekali mengusap wajahnya. "Sulit dipercaya, sih. Aku tahu bagaimana dulu kalian kompak, berjuang bersama dan saling support." "Hati manusia tidak bisa diprediksi, Mas. Apalagi aku, sulit menerima kenyataan ini. Tapi aku harus kuat untuk anak-anakku." "Aku setuju. Jangan pernah terpuruk, anak-anak butuh kamu, Ra. Aku siap bantu kalau kamu butuh bantuan. Jangan sungkan, ya." "Eum ... iya, Mas." "Oh iya, soal mobil itu, nanti aku carikan yang bagus. Simpan saja nomor ponsel kamu, nanti aku hubungi." "Jadi mobilnya tidak ready?" Padahal tadi kulihat ada beberapa mobil di showroom-nya. "Eum ... anu ... itu kurang bagus." Fatir menggaruk tengkuknya. Aku mengernyit dengan perubahan sikap Fatir sekarang. Seperti gugup dan canggu
"Apa kita bisa bertahan di sini dulu, Mas." "Di rumah ini kita sudah hampir tidak bisa menggunakan semua fasilitas. Aldi juga sudah tidak butuh tenagamu. Itu artinya kita sudah tidak dianggap. Kalau kamu tidak mau ikut, ya terserah!" Dadaku berguncang hebat. Pernikahan ini baru dua hari, masa iya harus bubar. Akhirnya aku mengalah, bagaimana pun Mas Topan itu suamiku. Jadi aku harus manut. Sebelum pergi, aku menemui Aldi yang baru saja pulang dari kios. "Ini atas keinginan Mama sendiri, ya. Aku gak pernah usir Mama. Lebih baik memang kalau kalian belajar mandiri sebagai pengantin baru. Hidup Mama sekarang sudah menjadi tanggung jawabnya," ucap Aldi tenang. Aku sempat heran lantaran anak se-manja Aldi bisa tiba-tiba terlihat dewasa seperti itu. Lain lagi dengan Anita, anak bungsuku itu terisak saat tahu aku akan pergi dari rumah ini. "Nita ikut Mama aja, ya .... " "Tidak usah! Nita bersamaku di rumah ini. Lagian Mama juga di sana numpang sama mertua. Bagaimana kalau mert
Pov Farida Pucuk dicinta ulam tiba. Kedatangan Mas Topan kembali ke kampung membuat benih-benih cintaku bersemi lagi. Cinta yang lama terpendam kini tumbuh lagi. Bagaimana pun caranya aku harus bersatu dengannya. Satu-satunya orang yang bisa membantuku adalah Bu Lastri, ibunya Mas Topan. Aku jadi teringat, selama ini Bu Lastri selalu minta bantuanku saat kekurangan uang. Bahkan ada sejumlah uang yang masih belum dibayar. "Pokoknya aku tidak mau tahu, Bu. Mas Topan harus menikah denganku. Aku tidak mau kehilangan kesempatan ini." "Tapi Topan sudah punya keluarga, Da." "Laki-laki bisa punya lebih dari satu istri. Lagi pula, apa istri Mas Topan yang sekarang bisa membantu Ibu? Tidak 'kan? Yang ada malah merepotkan. Istri seperti itu hanya jadi beban saja." Aku tersenyum puas saat melihat raut wajah Bu Lastri gelisah. "Ada sejumlah uang yang belum Ibu bayar. Kalau Ibu tidak bisa membuat Mas Topan menikahiku, maka aku minta secepatnya uang itu harus kembali." "Tapi, Da .... " "
Sebelum hari ini, aku membayangkan kerjaku hanya duduk di belakang meja kasir kios pupuk milik Ida. Menghitung laba lalu menikmati uangnya. Tapi ternyata, boro-boro toko itu, motor saja tidak bisa kupakai. Selain sawah dan ladang yang luas, kios yang menjual pupuk dan alat pertanian milik Ida adalah incaranku. Tetapi sekarang semuanya diambil alih oleh anaknya. Meski geram, aku harus menahan emosi supaya tidak melakukan hal yang dapat merugikan diri. Padahal jika tidak ingat itu, aku bisa saja melakukan cara yang kasar untuk bisa menguasai harta milik Ida. Kalau dipikir, percuma juga aku tinggal di rumah besar tapi tidak bisa menikmati fasilitas. Menikahi janda kaya yang ternyata hartanya sudah diambil oleh anak kandungnya. Yang dulu kupikir aku pergi ke sawah hanya untuk mengawasi para pekerja, tetapi nyatanya aku sendiri yang harus bekerja. Berkali-kali Farida minta maaf, sepertinya istri baruku ini merasa bersalah dan takut kehilangan. Di hari kedua menjadi suami Farida,
Setelah selesai, Ida keluar kamar dan kembali membawa air mineral dingin lalu menuangkannya ke dalam gelas. Kami duduk di atas kasur dengan masing-masing memegang satu gelas. Aku masih menunggu Ida bersuara sambil sesekali menyeruput air itu. "Maaf, Mas, jika sebelumnya aku belum cerita." Ida membuka suara. "Soal apa?" "Sebenarnya ... anak-anakku tidak merestui kalau aku menikah lagi. Sekali lagi, maaf, aku tidak bicara sebelumnya karena aku takut kamu mundur, Mas." Pantas saja selama kami hubungan, Ida tidak pernah mengizinkan aku bertamu ke rumahnya. Wanita ini selalu menemuiku di rumah ibu. Cerobohnya aku, tidak pernah bertanya pada Ida tentang pendapat anak-anaknya terhadap hubungan kami. Aku terlalu fokus pada harta benda Ida sehingga tidak ingat hal-hal seperti ini. "Kenapa kamu memaksakan diri menikah denganku jika anak-anak tidak setuju?" Aku memijit pelipis yang tiba-tiba terasa nyeri. "Tentu saja karena aku sangat mencintaimu, Mas." "Tapi akhirnya kita bisa men