"Apa, Suster? Rp 5 miliar?"
Clara Rein, 28 tahun. Dia nyaris pingsan saat berdiri di antrian kasir Rumah Sakit Internasional St. Mary’s Kota Arbour. Wajah cantiknya memucat saat mendengar nominal tunggakan biaya rumah sakit suaminya yang sedang koma.
Clara dan William telah menikah selama satu tahun. Pada malam saat resepsi pernikahan, kecelakaan menyebabkan William koma. Saat itu hujan deras mengguyur kota Arbour. Clara tiba lebih dulu di tempat resepsi. Sedangkan mobil William tergelincir dan menabrak pembatas jalan dan masuk jurang.
"Ini nota tagihannya, Nyonya," ujar suster, memberikan secarik kertas tagihan.
Tangan Clara gemetar. Selama hidupnya, dia tidak pernah memiliki uang sebanyak itu.
Suster berkata, "Semua biaya harus segera dilunasi dalam 2 hari. Atau, pihak rumah sakit akan melepas semua peralatan medis Suami Anda!"
Clara menerima nota tagihan itu dengan kedua mata yang berkaca-kaca. "Baik. Terima kasih, Suster."
Clara berjalan dengan pikiran kosong. Dia kembali ke ruang perawatan suaminya. Setibanya di sana, dia melihat keberadaan kedua mertuanya, Benjamin Barnes dan Julia Barnes.
“Clara, ada apa?” Julia segera bertanya ketika melihat wajah muram menantunya.
Tanpa bicara, Clara menunjukkan nota tagihan rumah sakit suaminya kepada Julia dan membuat wanita itu seketika menutup mulutnya karena kaget.
“Kenapa bisa sebanyak itu?” Julia tidak dapat menahan kesedihannya.
Clara tidak menjawab, melainkan terdiam tanpa kata-kata. Jujur, Clara sendiri masih tidak percaya dengan semua ini. Namun mengingat rumah sakit di mana suaminya dirawat adalah rumah sakit besar, Clara rasa ini sungguh wajar.
Rumah Sakit Internasional St. Mary's adalah salah satu rumah sakit terbesar di Kota Arbour. Fasilitas medisnya sangat lengkap, dengan pelayanan yang memuaskan. Selain itu, jenis obat-obatan yang digunakan adalah kualitas terbaik.
Ben mendekat dan melihat apa yang menyebabkan istrinya menangis. Sama halnya dengan Julia, Ben juga sangat terkejut. Namun, dia masih cukup tegar untuk tidak mengeluarkan air mata. Dia lantas menatap ke arah menantunya dan berkata.
“Clara, kami sudah tidak punya apa-apa. Aku harap kamu bisa mendapatkan uang untuk melunasi biaya rumah sakit itu,” pinta Ben.
“Pa, dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu?” tanya Clara dengan tatapan sendu.
Mendengar itu, Julia menjadi kesal, dia menarik lengan menantunya, kemudian mencengkeramnya kuat-kuat.
“Bisa-bisanya William menikah dengan wanita bodoh seperti kamu! Clara, kamu bisa mencari pinjaman!” bentak Julia.
“Benar, Clara. Kamu bisa meminjam uang pada bos kamu.” Ben menimpali.
Clara terdiam, untuk sesaat dia tidak dapat berpikir. Mencari sebuah pinjaman tidak semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih ketika mendengar saran Ben, rasa-rasanya Clara ingin tenggelam saja.
Dari hari ke hari, keluarga William terus mendesak Clara untuk mencari uang. Padahal Clara juga tidak memiliki harta lagi, selain cincin pernikahan.
Keluarga William dan keluarga Clara sendiri tidak ada yang bisa membantunya. Sementara gaji yang didapatkan tidak cukup untuk menutup biaya pengobatan William.
Akhirnya Clara memutuskan untuk mencari pinjaman di tempat lain. Sepulang kerja, dia mendatangi rumah teman atau kerabat mendiang kedua orang tuanya. Akan tetapi, dirinya justru diusir.
“Pergi kamu dari sini! Dasar tidak berguna! Datang kalau butuh saja!” bentak seorang pria yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan ibunya.
“Paman, aku mohon! Tolong bantu aku, suamiku koma, dan butuh biaya banyak!” Clara memohon sembari mengatupkan kedua tangan.
“Aku tidak peduli!”
Clara didorong hingga terjerembap di tanah berpaving. Clara tidak menyangka anggota keluarganya sekejam ini. Dia tidak tahu harus meminjam uang pada siapa lagi. Namun, melihat perlakuan mereka, sekalipun dirinya mengiba, mereka tak akan memberikannya. Pada akhirnya, Clara kembali ke rumah sakit dengan tangan kosong.
Satu hari tersisa, Clara berusaha semakin keras dengan mencari pinjaman berupa surat-surat penting untuk digadaikan. Namun, hasilnya tetap sama. Akhirnya dia kembali menemui kedua orang tua William.
“Maaf, Pa, Ma, aku tidak bisa mendapatkan uangnya,” kata Clara dengan kepala tertunduk dalam.
“Apa?” Julia menatap Clara penuh emosi. “Mencari uang begitu saja kamu tidak becus!”
Clara memejamkan matanya ketika Julia menunjuk-nunjuk wajahnya. “Ma, aku sudah berusaha sebisa mungkin mencari pinjaman.” Clara mencoba membela diri. Namun, kedua mertuanya tidak berhenti menyalahkannya.
“Aku tidak mau tahu, jika kamu tidak bisa mendapatkan uangnya, tinggalkan William, dia tidak butuh istri seperti kamu!”
Clara tidak bisa menahan air matanya. Clara sangat mencintai William, bagaimana mungkin dirinya meninggalkan pria itu dalam kondisi seperti ini?
Clara benar-benar tidak bisa berpikir saat ini, 5 miliar bukanlah uang yang sedikit. Di mana lagi dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Dia teringat ucapan ayah mertuanya, dan opsi terakhir jatuh pada Sebastian.
Sebastian Abraham, generasi keempat keluarga Abraham sekaligus Presdir Abraham Group. Perusahaan terkemuka yang bergerak di bidang perhotelan dan pariwisata.
Memiliki beberapa cabang dan anak perusahaan yang tersebar di berbagai wilayah dalam negeri maupun mancanegara. Telah banyak hotel dan resort serta pusat perbelanjaan yang berdiri di bawah naungan Abraham Group.
Abraham Group merupakan salah satu perusahaan yang masuk dalam posisi pertama perusahaan paling bonafide di Santoria. Tak terhitung jumlah aset serta kekayaan yang dimiliki oleh Sebastian. Uang 5 miliar jelas tidak ada apa-apanya bagi pria itu.
Hujan yang mengguyur kota Arbour mengiringi langkah Clara menuju ke rumah Sebastian. Tangannya yang dingin seketika gemetar ketika melihat sosok dengan wajah dingin di hadapannya. Meski begitu, Clara harus tetap mengungkapkan maksud kedatangannya.
“Tuan, tolong pinjamkan saya uang 5 miliar.”
Kehenginan memenuhi ruangan, Clara meremas satu tangannya ketika tatapan Sebastian menghujam ke arahnya. Dia tidak bisa mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh pria itu. Detik selanjutnya, dia mendengar suara Sebastian.
“5 Miliar? Itu hal yang kecil," ucap Sebastian. "Akan aku berikan, tapi dengan satu syarat,” imbuhnya.
Clara mengangkat kepala lalu bertanya, “Syarat? Apa itu, Tuan?”
“Lahirkan anak untukku! Maka akan kukabulkan semua keinginanmu!”
Ketika Clara membuka mata, dia menemukan dirinya dalam ruangan serba putih. Aroma desinfektan sangat menyengat. Dan Clara bisa menebaknya, bahwa ini adalah rumah sakit. Clara memejamkan mata sejenak, berharap ini adalah mimpi, namun, ketika dia membuka mata kembali, dia menemukan ruangan yang sama. Dan artinya ini adalah kenyataan. Ingatan tentang kejadian sebelumnya terekam jelas di benaknya, di mana dirinya mendapat telepon bahwa suaminya mengalami kecelakaan. Dan saat dia memutuskan untuk memastikan sendiri ke tempat kejadian, dia mendapati sebuah kenyataan pahit. Suaminya tidak selamat! Clara kembali terisak. Dia tidak bisa membayangkan bila hidup tanpa Sebastian. Pria itu bukan hanya sekedar sosok suami, melainkan belahan jiwa, penyelamat di kala dirinya terpuruk, dan Clara tidak akan melupakan segalanya yang pernah diberikan Sebastian kepada dirinya. “Bastian, kenapa kamu meninggalkan aku?” Suara tangis Clara semakin keras. Suara pintu terbuka, Rosalia muncul dengan raut w
Gagang telepon yang Clara pegang, terlepas dari genggamannya. Menimbulkan suara yang menarik perhatian Sania. Wanita paruh baya itu seketika menoleh ke arah sumber suara dan melihat Clara berdiri dengan tatapan kosong. “Sayang ada apa?” tanya Sania perlahan berjalan mendekat. “Tidak mungkin!” Clara menggeleng cepat. Dalam sekejap matanya dipenuhi kaca-kaca bening. “Ini tidak mungkin!” Detik selanjutnya Clara menumpahkan air matanya. Sania seketika panik. Dia mendekati menantunya. “Sayang, apa yang terjadi?” Sania mengulangi pertanyaan yang sama. Mendadak Sania jadi ketakutan. Terlebih ketika melihat Clara menjatuhkan bobot tubuhnya ke lantai sembari menangis. Mendadak Kaisar menjadi sangat rewel. Suasana di dalam mansion menjadi genting. Edward yang mendengar suara bising segera menghampiri tuannya dan menanyakan apa yang tengah berlaku. Namun, sepertinya Clara masih enggan mengungkapkannya. Wanita itu malah tenggelam dalam tangisnya. “Clara, tolong jawab kami,” ucap S
Sebastian tiba di gedung tempat diadakannya acara ulang tahun putranya. Sebelumnya dia sudah memberitahu Ramon bahwa dirinya akan datang. “Saya bisa saja menjemput Anda, Tuan.” Ramon segera menyambut kedatangan Sebastian. Dia merasa tidak enak hati karena telah membiarkan pria itu datang sendiri. “Tidak masalah, aku sudah lama tidak mengendarai mobil sendiri,” ujar Sebastian. Keduanya lantas memasuki ballroom. Beberapa orang tampak berlalu lalang. Sibuk menyiapkan dekor dan keperluan lainnya. Sebastian mulai mengamati, sesekali mendengar Ramon yang menjelaskan detail pengerjaan proyek ini. “Secara keseluruhan, persiapan baru mencapai 60 persen, Tuan,” ucap Ramon. Sebastian mengangguk paham. Seperti yang dia lihat, pengerjaan dekorasi baru separuh berjalan. Sementara acara jatuh pada esok hari. Sebastian tidak terlalu khawatir. Sebab semua dilakukan oleh orang-orang yang profesional. Sementara di sebuah sudut ruangan. Seseorang tampak memperhatikan mereka secara diam-dia
Perjamuan di rumah tua berjalan dengan lancar dan penuh khidmat. Senyum serta canda tawa mewarnai acara makan siang hari itu. Tidak ada yang tidak tersenyum, semua orang tampak bersenang-senang. Para pria tampak sibuk membicarakan masalah pekerjaan dan bisnis. Sementara para wanita tak jauh-jauh dari soal dapur. Sania terlihat antusias mendengarkan penjelasan Rosalia tentang suatu resep masakan. Dan rupanya, kemampuannya memasak selama ini jauh di bawah wanita itu. Lucia yang turut mendengarkan pun hanya bisa menghela napas panjang. Pasalnya, selama ini dirinya tidak pernah memasak. Dia selalu mengandalkan pelayan. “Sepertinya di sini hanya aku yang tidak pandai memasak,” rutuknya dengan wajah suram. Hal itu membuat semua orang menatap ke arahnya. Clara yang duduk di dekat Lucia, meraih jemari wanita itu. “Bibi pikirkan kesehatan saja, jangan pikirkan yang lain,” tegur Clara. Lucia memandang Clara, dia menemukan ketenangan setelah mendengar ucapan wanita itu. Ternyata benar, ke
Setelah pertemuan dua keluarga itu, hubungan mereka semakin erat terjalin. Jika kemarin keluarga Abraham datang mengunjungi keluarga Rein. Kini giliran keluarga Rein yang datang mengunjungi keluarga Abraham. Hari itu bertepatan dengan kepulangan Luois dan Lucia dari luar negeri serta Dareen yang juga turut kembali. Perjamuan dilakukan di rumah tua, tempat Maxime Abraham tinggal. Sejak pagi, para pelayan sibuk berlalu-lalang menyiapkan ruangan serta hidangan. Sania yang biasanya berada di mansion Sebastian, kini sejak pagi sudah sampai di rumah tua guna mengurus masalah persiapan. Dia menentukan menu makanan, serta memastikan semua rencana terealisasi dengan benar. Lucia memang belum sembuh benar, namun wanita itu turut membantu meski hanya pekerjaan kecil seperti membuat garnis atau memilih anggur di gudang. “Kamu jangan terlalu bekerja keras. Kamu harus banyak beristirahat,” tegur Sania kepada Lucia yang kini sibuk memilih anggur. “Ini tidak berat, lagi pula dokter tidak memper
Clara segera menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara tangis putranya. Dia segera mencuci tangan kemudian mengusapnya dengan kain. Rosalia yang mendengar itu pun tampak terkejut. Dia segera memandang putrinya. “Itu suara Kaisar,” katanya dengan raut wajah kaget. “Ya, Bu. Aku akan memeriksanya dulu.” Clara segera beranjak meninggalkan dapur belakang. “Ya, Baiklah.” Clara muncul ketika Sania membaringkan Kaisar di atas sofa. Aroma tak sedap membuat wanita itu secara spontan memeriksa bagian bokong Kaisar. Seketika itu dia menepuk keningnya. “Astaga, dia buang air besar,” ujar Sania yang seketika membuat semua orang tertawa. Clara segera menghampiri putranya, mengambil perlengkapan bayi yang dia letakkan di sofa. “Itu artinya dia suka berada di sini,” ujar Maxime sembari menumpuk kedua tangan di atas ujung tongkat. “Benar, kata pepatah memang seperti itu,” timpal Leonard. “Bagaimanapun ini adalah rumah kakeknya juga, sudah pasti dia akan betah.” Kaisar sudah dibersihkan d