Kami pun menunggu kedatangan Wati, yang saat ini sedang pergi ke kamar mandi. Kami benar-benar penasaran dengan jawaban yang akan diungkapkan oleh Wati, tentang usia kehamilannya tersebut. Lumayan lama Wati pergi ke kamar mandi, membuat aku bertambah curiga kepadanya.Kalau memang hanya untuk sekedar buang air kecil, serta minum nggak mungkin selama ini. Tapi aku merasa kalau Wati sengaja melakukannya untuk menghindariku, supaya aku tidak terus bertanya tentang kehamilannya itu.Tapi aku tidak boleh suudzon, aku tetap harus positif thinking dan bersabar untuk mendengar jawaban dari Wati. Sekitar lima belas menit kemudian barulah Wati kembali datang dan duduk di samping Roni. Mata kami pun tertuju kepada Wati, yang baru datang tersebut."Sayang, kenapa kamu lama sekali sih pergi ke kamar mandinya?," tanya Roni sambil menatap tajam ke arah istrinya."Iya, Wati, kami dari tadi nungguin kamu lho. Kami ingin mendengar kabar tentang kehamilanmu tersebut," timpalku."Iya, Bu, Mas, maafin Wa
"Seharusnya memang seperti itu, Bu. Tapi ternyata Wati malah menolak mentah-mentah niat baikku. Masa iya sih, Bu, aku harus memaksanya. Sedangkan orangnya saja tidak mau aku antar, nanti yang ada kami malah ribut lagi gara-gara hal sepele seperti ini."Oh ... jadi itu kemauan Wati sendiri, ya Romi. Ibu tadi mengira, kalau Wati jalan sendiri karena kamu yang tidak mau mengantar dia. Ya sudah, kalau begitu biarin saja dia dengan keinginannya, yang penting ia benar mau ketemuan dengan teman-temannya, serta tidak berbuat maksiat di luar sana.""Iya, Bu, sudah lah biarin saja. Orang dia sendiri kok yang maunya seperti itu, bukannya Roni tidak mau peduli sama istri yang sedang hamil. Hanya saja Wati sendiri yang sepertinya risih, jika aku antar untuk ketemu dengan teman-temannya. Atau mungkin juga ia malu kali, Bu karena mempunyai suami aku," ungkap Roni dengan wajah muram.Kemudian ia pun pergi menuju dapur dan aku pun kembali melanjutkan pekerjaanku, yaitu menyapu ruang tamu. Selesai meny
"Aku juga kurang tau, Bu, sebab aku belum membicarakan hal ini langsung dengan Wati. Tapi sepertinya aku tidak mau lagi melanjutkan rumah tangga ini, Bu. Apalagi setelah mengetahui Wati tega dan dengan sengaja membohongi aku. Aku jadi tidak respek lagi sama dia," ungkap Roni, sambil tangan kanannya memijit keningnya."Ya sudah, lebih baik kamu bicarakan dulu saja dengan Wati. Kamu bicara dengan jujur dan langsung saja tanyakan sama dia, mau bagaimana hubungan kalian untuk kedepannnya. Sudah, sekarang kamu jangan murung lagi. Kamu itu harus tegar, Roni. Tuh lihat istri kamu, dia yang menjadi penyebab permasalahannya juga malah sedang bersenang-senang bersama temannya. Masa iya kamu yang hanya menjadi korban malah murung begini,""Iya, Bu, terima kasih sarannya," ujar Roni.Setelah itu Roni pun langsung menyeruput kopi yang ada di hadapannya. Kini wajahnya pun terlihat agak cerah, dia tidak bermuram durja lagi seperti tadi. Tapi entah mengapa kini aku malah merasa senang dan lega, saat
"Oh ... begitu ya, Bu. Tapi kan ada Roni yang sudah bekerja, masa Roni nggak mau membantu adiknya sih, Bu. Dulu dia sekolah hingga kuliah juga kan hasil jerih payah Ibu, masa iya sekarang Roni nggak bisa membantu Reno untuk biayanya," ujar Neng Risma."Roni sekarang sudah mempunyai istri, Neng. Ia juga butuh untuk menafkahi istrinya, dulu sih sebelum menikah sempet membiayai sekolah adiknya sampai lulus SMA. Tapi sekarang semenjak menikah, yang pegang gaji Roni ya istrinya. Apalagi mereka juga banyak kebutuhannya, Neng. Ibu juga jadi segan, kalau mau meminta sama istrinya," terangku.Risma manggut-manggut, saat mendengar jawabanku. Ia sepertinya paham dengan apa yang aku rasa. Kalau saja Risma tahu, tentang bagaimana tabiat istri Roni. Mngkin ia akan lebih paham lagi dengan apa yang aku rasa saat ini.Jangankan meminta untuk biaya kuliah Reno, uang yang diberikan Roni untuk makan sehari-hari pun tidak Wati berikan kepadaku. Padahal gaji Reno lumayan besar, satu bulannya Reno menetim
"Ibu, diam! Ibu jangan ikut campur, sebab ini tentang rumah tangga aku dan Mas Reno dan tidak ada sangkut pautnya dengan Ibu." Wati membentakku, ia nenatap nyalang ke arahku, ia seperti harimau yang akan menangkap mangsanya."Wati, jadi seperti itu kamu memperlakukan Ibuku. Kurang ajar kamu ya! Ternyata memang benar, kalau aku telah salah memilih istri. Tidak selayaknya kamu aku nikahi, serta menjadi Ibu dari anak-anakku. Aku menyesal tidak mendengarkan kata Ibuku, yang dulu tidak menyetujui saat aku akan menikahimu. Ternyata benar, kalau kamu bukan perempuan yang baik untukku. Apalagi aku sudah tahu, tentang semua kebusukanmu, Wati. Kamu itu seorang perempuan berhati iblis," murka Roni."Apa maksud kamu, Mas? Kebusukan apa yang kamu maksud," tanya Wati."Wati, kamu jangan berpura-pura bego deh! Kamu juga jangan pernah lagi menutupi apa-apa dariku karena aku sudah tahu, kalau sebenarnya anak dalam kandungan kamu itu bukanlah anakku. Aku sudah menemukan bukti pemeriksaan kamu kemar
"Mas, kok koperku kamu lempar sih? Nanti rusak tau, memangnya kamu mau ganti kalau koperku rusak? Kayak kamu mampu beli aja, ini itu koper mahal tau," ujar Wati sambil berjalan untuk memungut koper yang dilempar Roni."Lagian kamu kenapa masih diam saja? Bukannya aku sudah mengusir kamu ya, kenapa masih nggak pergi juga? Kamu itu maunya apa sih, Wati?" tanya Roni dengan membentak Wati.Baru kali ini aku baru melihat, Roni memarahi Wati. Padahal tadinya ia begitu tunduk kepada perempuan tersebut. Aku juga baru tahu, jika Roni marah bisa sekasar itu."Ayo, Wati, kamu segera pergi dari rumah Ibuku! Karena aku sudah muak melihat batang hidungmu," usir Roni lagi."Sebentar dong, Mas, aku lagi menghubungi pacarku dulu! Kamu yang sabar dong, kalau nggak mau mengantarku. Memangnya kamu mau mengantar aku sampai ke rumah orang tuaku," tanya Wati.Ia tidak tahu malu berkata seperti itu, padahal Roni sudah bilang muak melihatnya. Memang pada dasarnya Wati itu perempuan berwajah tebal. Ia tidak
"Alah ... itu sih Ibu hanya mau menakut-nakuti aku saja kan? Aku nggak percaya dengan semua itu, Bu, semua itu hanya tahayul," tepisnya."Sudah-sudah, jangan malah adu ucapan! Jangan malah saling menyangkal pembicaraan lagi, ayo sekarang kita berangkat, nggak ada gunanya juga terus berdebat!"Setelah Roni berkata seperti itu, kami semua pun keluar dari rumah. Roni yang mengunci rumah kemudian kami berangkat menggunakan mobil Roni. Sepanjang perjalanan tidak ada yang mengucapkan kata walau sepatah pun. Kami bertiga larut dalam imajinasi, serta pikiran kami masing-masing.Sekitar satu jam perjalanan, barulah Kami sampai ke sebuah rumah yang cukup megah. Kemudian Roni pun memencet klakson, lalu gerbang pun dibuka oleh seorang security. Kemudian Roni pun melajukan mobilnya untuk masuk ke halaman rumah megah tersebut, lalu ia pun memarkirkan mobilnya di depan rumah megah tersebut."Tuh lihat, Bu, rumah orang tuaku. Jauh sekali kan perbedaannya antara rumah Ibu dengan rumah orang tuaku? Di r
"Maaf, Mamanya Wati untuk urusan itu biar Roni saja yang bicara langsung dan menjelaskan apa maksud kedatangan kami saat ini. Karena ini menyangkut rumah tangga anak kita," sahutku."Iya, Mah, biar Roni yang menjelaskannya. Tapi Papa kemana ya? Sebab apa yang akan Roni bicarakan harus disaksikan oleh Papa langsung." ujar Roni.Wajah mamanya Wati pun langsung berubah, dahinya pun mengernyit tanda tidak paham dengan apa yang dikatakan Roni."Maksud kamu apa, Roni? Kenapa harus disaksikan oleh papanya Wati segala? Papanya Wati memang ada, tapi dia sedang istirahat di kamar. Memang apa sih yang akan kamu bicarakan, sepertinya penting sekali," tanya mertua Roni, yang kini bahkan telah menjadi mantan."Iya, Mah, ini memang sangat penting, makanya Papa harus tahu. Roni minta tolong sama Mama, supaya bisa membangunkan Papa. Sebab Roni ingin bicara sama beliau," pinta Roni."Ya sudah tunggu sebentar, kamu ini menyusahkan banget sih, Reno. Padahal tinggal ngomong saja, Roni, ngapain sampai haru