Share

Aku kah Sebab Percaraiannya?

"Apa Bapak tidak merasa lapar?" tanya dokter selagi memeriksa detak jantungnya. Gus Ubed menggeleng.

"Hem. Nanti coba makan bubur sedikit demi sedikit agar terbiasa lambungnya. Sudah lebih seminggu Bapak koma." Dokter melepas benda yang menyangkut di telinga, stetoskop.

"Seminggu?" Gus Ubed terkejut. Pasalnya ia hanya merasa tidur untuk beberapa waktu.

"Lalu bagaimana dengan Liana?!" sambungnya lagi. Ia terlihat sangat khawatir. Pasti sekarang dia berpikir, jika dirinya saja bisa koma selama itu, apa Liana juga masih koma?

Cukup Gus! Bisakah kamu tidak menunjukkan rasa khawatirmu di hadapanku?

"Nanti Bapak bisa melihat keadaannya langsung." Dokter itu mencatat kondisi terbaru Gus Ubed di riwayat pasien.

Kini ia tak peduli apa kata dokter dan menoleh padaku. Aku terkesiap.

"Ukhty, apa Liana belum sadar?" tanyanya dengan mata menyipit.

Ukhty lagi, ukhty lagi. Panggilan yang membuatku muak. Panggilan itu seolah menegaskan bahwa ia tak bisa mencintaiku.

Sementara mendengar pertanyaan itu mau tak mau aku pun mengangguk ragu. Apa Gus merasa benar-benar hancur sekarang? Apa aa bukan hanya dzolim dengan menceraikan Liana, tapi juga membuat istri pertamanya itu tak sadar. 

"Lalu apa anti sekarang sedang hamil?" Gus Ubed tiba-tiba bertanya mengenai kehamilanku. Ada apa ini? Apa kehamilanku jadi sebab kecelakaan mereka? Ya Rabb semoga saja bukan.

"Em, itu ...." Aku benar-benar bingung mau menjawab apa? Gus pasti sangat marah kalau tahu aku berbuat curang.

"Maaf, kami permisi. Tolong untuk bersabar Pak Ubaidillah. Berikan waktu pada tubuh Anda agar pulih. Jangan memaksanya berpikir dan melakukan hal-hal berat," ucap sang dokter yang memahami kondisi tak menyenangkan di hadapannya, sebelum melangkah pergi meninggalkan kami.

Gus Ubed tak menjawab apa pun. Wajahnya yang tadi terlihat sayup, kini ada kilatan amarah dari matanya. Aku takut, sungguh takut!

Ia hanya melirik sekilas ketika dokter dan perawat itu meninggalkan ruangannya. Lantaran fokus padaku.

"I-iya, Gus." Aku menunduk seketika.

"Iya?!" Suaranya menekan. Yah, kalau saja sehat pasti suara itu terdengar lantang karena tak terima. "Tapi kapan kita melakukannya?"

Aku menggigit bibir bawah, diam. Mengusap perut yang tengah mengandung. Maafkan umi, Nak. Jika keberadaanmu membuat abimu murka. Semoga kelak dia bisa menyayangimu seperti dia menyayangi Alhesa. Benih yang ia semai di atas benih pria lain. Bukan kah untuk hal ini Liana juga bisa dikatakan curang? Dia tak jujur dan membiarkan Gus Bed menidurinya sementara dalam rahimnya ada sperma pria lain.

Maaf Gus, tak mungkin aku bercerita telah menjebak suamiku sendiri dengan obat perangsang. 

"Kapan?" Gus Ubed mengulang pertanyaan dengan mengangkat kedua alis. 

"Maaf. Gus tak sadar waktu itu." Pelan sekali suara yang keluar dari bibirku. Kuangkat kelala untuk melihat reaksinya.

Gus Ubed mengerutkan kening. Sepertinya sambil mengingat-ingat kapan terjadi hal aneh ada tubuhnya saat bangun tidur. Bukankah selama ini ia bangun dalam keadaan berpakaian lengkap seperti sebelum tidur. Yah, aku lah yang merapikan pakaiannya malam itu.

"Argh!" Gus Ubed merebahkan tubuhnya yang mulai lelah duduk berlama-lama. 

Aku tahu kini ia harus menyimpan kedongkolan padaku. Namun, cinta telah menguatkanku. Meski kamu bakar aku dengan amarahmu, Gus.

Suara orang-orang datang mengalihkan perhatian kami, keluarga kami datang. Umi Aisyah, Aishwa dan suaminya. 

"MaasyaAllah, alhamdulillah ...." Puji-pujian mereka ucap lantaran bahagia. Lebih Gus Ubed terlihat jauh lebih segar. 

"Iya, Mi alhamdulillah. Di mana Abah?" tanya Gus begitu Ummi Aisyah sudah berdiri di samping ranjang.

"Abah, sedang mengisi majlis, Le. Katanya nanti pulangnya langsung ke sini," jawab Ummi. Gus Bed terlihat paham tentang itu. 

Abahnya adalah aset milik ummat. Ia harus terus berdakwah, meski ada anggota keluarga yang sakit atau dirinya sendiri terancam sakit. Entah, sakit lantaran terlalu lelah atau pun sakit yang timbul karena penyerangan orang-orang yang membenci dakwah Islam. Sebab dakwah harus terus digaungkan, agar banyak ummat tercerahkan di zaman yang penuh fitnah sekarang.

Gus Ubed pasti tak masalah dinomorduakan oleh Kiai Abdullah. Lantaran ia telah memegang prinsip sama seperti sang abah "Dakwah adalah poros kehidupan." Itu yang aku tahu dulu, hal yang membuatku jatuh cinta sejak duduk di bangku Tsanawiyah.

"Em, Gus. Mau saya antar menemui Liana?" tanyaku yang merasa bersalah karena obrolan dengan Gus tadi. Walau bagaimana aku harus menjaga hatinya. Karena ridha seorang suami adalah ridha Tuhan bagi istrinya.

"Ndak usah." Gus Ubed menjawab cepat. "Lain kali kita bahas soal tadi sampai jelas," ucapnya dingin.

Sakit rasanya. Ada yang teremas nyeri dalam hati.

"Mas, bisa tolong antar saya menemui Liana?" Kini ia mengalihkan perhatian pada suami Mbak Aishwa.

"Em, ya. Tentu." Mas Rofi' menjawab cepat meski ia bingung. 

Aku malu.

Ketiga orang di ruangan itu pasti langsung sadar, bahwa telah terjadi sesuatu antara Ubed dan istri keduanya. Aku tak bisa berbuat apa-apa dalam keadaan yang membuatnya tak nyaman seperti sekarang. Aku memang pantas untuk disalahkan. Melihat ekspresi Gus mengenai kehamilanku, aku yakin kabar kehamilan yang dibawa Liana, menjadi salah satu pemicu ucapan perceraian dan kecelakaan yang terjadi.

Lalu bagaimana nanti saat Gus Bed tahu aku menaruh obat perangsang di minumannya?

Bersambung 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status