ログインDiana berkedip.
Apakah pria itu sedang meremehkannya? Atau justru menguji? Apakah dia berpikir Diana akan ketakutan, menangis, gemetar seperti pengantin lain sebelum dia? Jika benar begitu, pria ini salah besar. Diana menegakkan punggungnya, menatapnya tanpa gentar. Lalu dia membalas senyuman itu. Sama dingin. Sama tajam. Sama menusuk. Biru pucat khas keluarga Sinclair di matanya berkilat tajam. Tidak tunduk. Tidak gentar, membuat Arthur terdiam. Diana berdiri perlahan dari duduknya, kain pengantin merahnya menjuntai mengikuti gerakan tubuhnya. Bunga phoenix emas yang terpasang di mahkotanya berkilau lembut diterpa cahaya lilin kamar. Ia menunduk dengan anggun, membungkuk tepat di hadapan pria bertopeng emas itu. Gerakannya begitu tenang. “Diana menyapa Yang Mulia Putra Mahkota,” ucapnya formal, suaranya jernih dan stabil. Alis Arthur tampak mengerut halus di balik topeng emasnya. Diana tahu itu. Reaksinya tidak terlewat sedikit pun. Ia kemudian berdiri kembali, menegakkan tubuhnya, lalu menatap Arthur dengan mata biru pucatnya yang jernih dan tidak berkedip. Hening. Arthur tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatap dingin–seolah sedang menguliti jiwa Diana dengan pandangannya. Sinar lampu di dalam ruangan memantul di mata biru gelapnya yang indah namun penuh ancaman. Diana tersenyum tipis. Lalu ia melangkah melewati Arthur. Tanpa izin. Tanpa menunjukkan rasa takut. Arthur menoleh perlahan, namun tidak menghentikannya. Ia hanya mengawasi langkah Diana dari sudut matanya. Diana duduk di meja kecil di sebelah ruangan, meja yang tampaknya disiapkan untuk ritual malam pernikahan. Dengan tenang ia menuangkan teh ke dua cangkir porselen halus. Diana mengangkat salah satu cangkir, menatap Arthur sambil tersenyum ringan. “Yang Mulia, Anda tidak mau menemani saya meminum teh angsa bersama?” Ritual teh angsa–tradisi kuno malam pernikahan di mana kedua pengantin harus menautkan dan menyilangkan tangan sebelum meminum teh pertama mereka sebagai suami-istri. Arthur mendekat tanpa menjawab, langkahnya berat dan penuh dominasi. Ia duduk di hadapan Diana, tetapi masih menatapnya tanpa ekspresi. Sebelum ia menyentuh cangkir yang disediakan Diana, Arthur bertanya, “Apa yang kau rencanakan?” Diana menaikkan alis kirinya, raut wajahnya datar seperti permukaan danau. “Rencana? Tentu saja menjadi istri Anda–” “Kau tidak lari?” Arthur memotong cepat, dingin. Diana menahan tawa di dalam hati. Benar… jadi pria ini memang mengira Diana Sinclair akan kabur. Kalau itu 'Diana' yang asli, tentu saja dia akan lari lalu dibunuh. Tapi ia bukan Diana yang asli. Dengan gerakan ringan, Diana meneguk teh di cangkir miliknya. Lalu, Diana memasang wajah sepolos mungkin saat kembali fokus pada Artur dan menjawab, “Untuk apa saya berniat lari dari Yang Mulia?” Diana mencondongkan kepala sedikit, seolah bingung sungguhan. “Bukankah sekarang kita adalah suami-istri?” Alis di balik topeng emas itu tampak bertaut. Ekspresi Arthur merapuh sekilas–tidak percaya dengan jawabannya. Arthur tersenyum tipis, senyum dingin yang entah ditujukan untuk menghina atau menguji. “Ada beberapa dari kalian,” ucapnya pelan, “yang sebelumnya bersikap sok berani sepertimu.” Beberapa dari kalian? Ah. Jadi Arthur sedang bicara tentang para perempuan yang pernah dijadikan calon pengantinnya… sebelum mereka menghilang, lari, atau–pergi entah ke mana. Arthur lalu mengangkat tangan. Perlahan, ia membuka topeng emasnya. Suara gesekan halus terdengar ketika topeng itu turun. Diana menegakkan tubuhnya, memperhatikan tanpa berkedip. Ketika topeng itu terlepas sepenuhnya, Diana bisa melihat wajah asli dari sang putra mahkota. Mata biru gelap Arthur yang tampak menawan–serta garis bibir pria ituu yang tampak rapi dan indah. Sayangnya, keindahan itu tertutup separuh kulit wajah Arthur menghitam seperti terbakar racun, dilapisi luka-luka bernanah yang menyebar dari pelipis ke rahang. Orang pada umumnya akan mengeryit jijik, atau bahkan muntah karena mual. Namun, Diana tidak demikian. Sebagai dokter kulit, Diana sudah sering menyaksikan kondisi serupa–bahkan lebih parah. Analisisnya sebagai dokter muncul begitu saja saat melihat itu. Ini bukan wajah buruk rupa, melainkan sebuah kondisi kulit yang terkena racun dalam kurun waktu yang lama. Siapa … yang meracuni pria ini? Tangannya terangkat pelan. Ia mendekat. Jari-jari lembutnya hendak menyentuh area kulit yang rusak untuk memeriksa. Akan tetapi, Arthur menangkap pergelangan tangannya lebih cepat. Cekalan itu dingin dan kasar. “Apa yang kau lakukan?” Suara Arthur turun oktaf, tajam. Diana menatap pria itu lurus. “Apakah Anda keberatan, Yang Mulia?” tanyanya. “Saya hanya ingin memeriksa–” Arthur menghempaskan tangannya kasar hingga Diana hampir kehilangan keseimbangan, lalu mengenakan topengnya kembali dengan gerakan dingin dan jengkel. Diana menghela napas pelan lalu memilih untuk meraih cangkirnya lagi, dan meminum teh itu seteguk penuh. “Yang Mulia, jika Anda berkenan, saya bisa–” Tiba-tiba Diana tersedak. Sepasang matanya membola begitu saja sementara wajahnya memerah hebat. Tanpa tanda-tanda sebelumnya, kini tubuh Diana terasa panas. Suhu dalam dirinya naik drastis seperti ada api yang menyala di bawah kulitnya, membuat napasnya naik turun dengan cepat. Arthur mengerutkan kening melihatnya. “Ada apa?” tanyanya. Diana menggeleng, merasakan jantungnya berdegup kencang. Tetapi… bukan hanya itu. Ada sensasi di bawah pusarnya yang berkedut keras dan tidak normal, membuat seluruh tubuhnya bergetar. “Apa… ini…” bisiknya sambil memegangi meja. Ia menatap cangkir itu. Lalu meraih teko porselen dan membuka tutupnya. Aroma samar tanaman herbal menyeruak keluar—aroma yang ia kenal baik. “Tidak mungkin…” gumamnya. Daun herbal itu pernah ia pelajari dalam buku kuno pengobatan Asia. Daun Eroli. Tanaman langka yang tumbuh hanya di kaki gunung dan terkenal mampu membangkitkan gairah ekstrem dalam waktu singkat. Arthur melihat ekspresi Diana yang berubah dan meraih teko itu dari tangannya dengan kasar. Ia mencium aromanya singkat. Tatapan mereka bertemu. Keduanya langsung paham apa yang sedang terjadi. Diana mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, sebelum susah payah meraih lengan Arthur, tubuhnya gemetar hebat. “Yang Mulia… Anda punya penawarnya?” Arthur mengerutkan kening kelam. “Ini pasti ulah Kaisar,” ucapnya. “Yang Mulia!!” Diana mengeraskan suaranya lagi. Wajahnya memerah–bukan karena malu, tetapi akibat efek daun itu. “Saya… butuh penawarnya. Sekarang.” Ia menatap Arthur dengan mata sayu, penuh hasrat yang menekan kuat dari bawah sadarnya. “Penawarnya… di mana?” Arthur terdiam sesaat. Kemudian menjawab datar. “Tidak ada.” “… Apa?” Diana membeku. “Bagaimana–” “Tidak ada penawarnya.” Artur berkata dengan nada yang sama. “Kita harus pakai cara lain.” Diana gemetar. “Cara … apa?”“Berlutut, Diana! Kamu tidak sopan telah mendorong kakakmu!”Diana menegang. Keningnya terlipat dalam.Ia? Mendorong Isabella?Isabella berdiri di samping Alon dengan tatapan terluka pura-pura, tangannya memegang lengan pria itu seolah butuh penyangga. Diana tidak memedulikan itu—ia hanya menatap ayahnya dengan ekspresi datar.“Berlutut?” gumamnya di dalam hati, geli sekaligus marah.Dia Putri Mahkota sekarang.Namun keluarga Sinclair masih memperlakukannya seperti budak murahan.“Aku tidak menyentuh Kak Isabella sama sekali,” ucap Diana tegas. “Justru Kak Isabella yang menggenggam tanganku. Bagaimana bisa aku mendorongnya, Ayah?”Tuan Sinclair memukul sandaran kursinya dengan keras. Mata tuanya menyipit penuh amarah.“Dasar putri tidak tahu terima kasih! Tanpa keluarga Sinclair, memangnya kau bisa menjadi Putri Mahkota?!”Diana terasa ingin tertawa.Keluarga ini… benar-benar delusional.Renata maju setengah langkah sambil mengangkat dagu tinggi-tinggi.“Benar yang Ayahmu katakan! Ji
Keesokan paginya, surat kembali datang. Diana tidak bisa menunda kunjungan ke keluarga Sinclair lebih lama.Namun, saat ia bertanya mengenai pangeran–“Saat ini Yang Mulia tidak ada di ruang kerjanya. Saya kurang tahu, Putri.”Diana mengangguk perlahan.Ah. Jadi begitu.Tidak ingin menemani perjalanan tradisi penting ini, rupanya.Diana menghela napas tipis. Sungguh, ia sudah menduga. Arthur bukan tipe pria yang suka memperlihatkan kepedulian secara terbuka.Bahkan sangat mungkin… ia hanya menganggap Diana sebagai kewajiban negara yang kebetulan masih hidup.Mata Diana berkilat dingin saat kembali menatap bayangan wajahnya di cermin.Baik.Kalau begitu… dia akan menghadapi keluarganya sendiri.Dengan atau tanpa suaminya.“Ayo segera pergi,” ucap Diana sambil bangkit dari kursi.Embun dan Bibi Erna segera mengikuti dari belakang.Kereta kuda keluarga kerajaan yang dilapisi hiasan emas berhenti tepat di depan gerbang utama kediaman Sinclair. Para prajurit kerajaan membuka jalur, dan Di
Diana melipat surat itu kasar dan menyimpannya di balik pakaian. Sejujurnya, Diana pribadi tidak ingin peduli pada tradisi seperti kunjungan keluarga dan lain sebagainya.Namun, tubuh ini adalah milik putri bungsu keluarga Sinclair yang kini telah menjadi putri mahkota.Apa pun yang ia lakukan sekarang, akan ditanggung juga oleh suaminya. Yang meski namanya sudah buruk dan orangnya menyebalkan–pria itulah yang akan mendampingi hidup Diana kelak.Ia menarik napas panjang untuk menguasai emosinya sebelum akhirnya kembali berjalan mengejar Arthur.Pria itu rupanya menuju ruang kerjanya. Di sana, Arthur tengah duduk tenang di balik meja kerjanya. Punggungnya tegak, kedua tangannya menyatu di atas meja, dan tatapannya langsung terarah padanya ketika Diana muncul di ambang pintu.Diana membungkuk singkat. “Maaf, Yang Mulia. Saya tadi terkesan memaksa. Jika Anda–”“Duduk.”Satu kata. Singkat. Tegas. Pemotongan yang entah keberapa kalinya.Diana ingin sekali mendesah keras, tapi ia menahanny
Mendengar itu, Arthur tersenyum miring. Tampak mencemooh.“Memangnya dirimu pikir kau siapa?” ucap Arthur, dingin dan menusuk. “Jangan terlalu tinggi menilai dirimu.”Senyum Diana membeku sejenak. Ia memaksakan kembali senyum normalnya.Seharusnya ia tidak terkejut. Sepengetahuannya dan semua orang di buku, “Diana” yang asli tidak paham soal medis sama sekali. Selain itu, dengan jaminan apa Arthur bisa memercayainya begitu saja?Namun, sekarang, ia punya langkah yang jelas dalam misinya untuk mengambil hati sang pangeran.Ia akan menyembuhkan Arthur.Dengan begitu, Arthur akan memberinya pengakuan dan perlindungan. Baik itu dari keluarga Sinclair ataupun dari kematian.“Yang Mulia,” Diana mencoba lagi. “Jika Yang Mulia mengizinkan, saya bisa membuktikannya.”Arthur akhirnya bertanya datar, “Apa yang bisa kau berikan jika gagal membuktikan kalimatmu?”Diana tak ragu. Ia menatap Arthur lurus, mata birunya mantap, suaranya stabil.“Nyawa saya.”Arthur tidak bereaksi banyak. Namun, sepas
Pagi ini, Diana berdiri di depan pintu kediaman Arthur, menunggu. Istana mereka tidak jauh, hanya dipisahkan dua halaman kecil dan sebuah lorong panjang.Kemarin, ia bertanya pada Bibi Erna, pelayan senior istana yang mengenal rutinitas Putra Mahkota lebih baik dari siapa pun, tentang jadwal Arthur. Pria itu selalu bangun sebelum matahari terbit, lalu bersiap menuju majelis pagi bersama Kaisar dan para bangsawan tinggi.Ia terlambat kemarin. Namun, hari ini Diana bertekad mengambil hati sang pangeran.Toh, pria itu suaminya sekarang. Mau tidak mau, pria itu harus menerimanya seperti Diana menerima takdirnya saat ini.Belum saja Diana mengetuk, pintu kediaman Arthur tiba-tiba terbuka keras dari dalam. Kasim yang berjaga sampai terlonjak dan langsung bersujud.“Y-Yang Mulia….”“Selamat pagi.” Diana tersenyum ramah. “Apa Yang Mulia sudah bangun?”Kasim itu mengangguk buru-buru. “S-sudah, Putri. Putra Mahkota baru saja terbangun.”Ia berhenti, menatap Diana dari ujung rambut yang disanggu
Arthur berdiri tiba-tiba. “Ikut aku.”Diana berusaha bangun tapi lututnya goyah.Tubuhnya terlalu panas. Sensasinya terlalu intens. Kakinya gemetar hebat setiap kali ia mencoba berdiri.“Aku… tidak bisa…” Ia menggigit bibir sekuat tenaga. “Gendong aku.”Arthur menatapnya seperti hendak melemparnya keluar jendela. Tatapan dingin, meski pria itu melangkah mendekat.Dengan kuat, ia menarik tubuh Diana ke dada bidangnya dan menggendongnya. Diana mendesah perlahan—bukan sengaja, melainkan refleks dari sensasi yang menusuk tubuhnya.Arthur mengencangkan rahangnya keras sembari melangkah keluar kamar, tampak tidak suka mendengar suara itu.“Yang Mulia…” suaranya lirih, hampir tidak terdengar. “Anda membawaku … ke mana?”Arthur tidak menjawab.Ketika ia membuka mata perlahan, mata mereka kembali beradu. Biru pucat dan biru gelap. Diana hampir tenggelam dalam tatapannya.Hingga tiba-tiba Arthur berhenti.Lalu–melepaskan gendongannya.BYUUURR!!!“AAKH!!”Diana jatuh ke dalam air dingin.Tubuhny







