“Aduh, itu minyaknya buat dua wajan, bukan satu!” sahut Nino dari ruang makan sambil ketawa ngakak.“Aku cuma disuruh jagain! Bukan disuruh jadi chef!” seru Rara, panik sambil kipas-kipas asap.Aku yang baru buka pintu kamar langsung mengernyit. “Ya ampun, kalian bikin villa ini kayak ajang MasterChef edisi gagal.”“Pagi juga, Bos,” sahut Nia, muncul dari arah luar sambil bawa kopi. “Mau teh, kopi, atau dengerin Pras ngamuk-ngamuk sambil masak?”“Aku pilih kopi dan sedikit drama,” jawabku nyengir.Pras melongok dari dapur, nenteng spatula seperti senjata. “Lo tau nggak, Mbak Ren, gue cuma mau bikin telur orak-arik. Tapi, nih bocah-bocah kayaknya lagi bikin bencana nasional!”Aku tertawa keras, lalu berbalik masuk dapur. Aroma mentega dan roti panggang langsung menyambut, bercampur dengan pemandangan yang jujur saja membuat hatiku menghangat dalam sekejap.Gasan berdiri di dekat kompor, mengenakan celemek pinjaman yang jelas terlalu besar untuk tubuhnya. Salah satu talinya bahkan nyari
Permainan selesai dengan tawa yang masih bersisa, terutama karena Nino dipaksa nyanyi dangdut di atas meja makan. Satu per satu akhirnya bubar. Namun, ada yang lanjut karaoke, ada juga yang udah ngorok di bean bag.Aku sendiri memilih keluar sebentar ke teras belakang, jujur aku butuh udara. Udara dingin Lembang langsung menyapa, membuat pipiku memerah. Aku menarik hoodie lebih rapat sambil menatap kolam renang yang berkilat kena lampu taman.Nggak lama, suara pintu geser terdengar. Aku menoleh, dan tentu saja dia.“Boleh ikut?” suara Gasan pelan, senyum tipis di wajahnya.Aku cuma mengangguk, pura-pura sibuk meniup uap dari gelas cokelat panas. Padahal, jantungku udah ribut sendiri.Dia duduk di kursi sebelahku, sengaja agak dekat. “Dingin nggak?” tanyanya.“Lumayan,” jawabku singkat.Tanpa banyak kata, dia buka hoodie yang dipakainya dan menaruh di bahuku. Refleks aku protes, “Eh, lo sendiri nanti kedinginan!”Gasan hanya nyengir. “Nggak papa. Gue bukan Dilan yang akan membiarkan pa
"Gue kasih sempaknya Patrick!""Dih, najis!" teriak kami semua.***Hari H.Jam tujuh pagi kami udah kumpul di halaman kantor. Beberapa bawa bantal leher, beberapa lain bawa roti sobek isi sosis buat sarapan dadakan. Cuaca cerah, dan suasana penuh tawa.“Guys, udah siap jadi rombongan paling heboh di Lembang?” teriak Nino dari jendela mobil.“YEAAAH!” semua sahut kompak, disusul klakson panjang dari Nia yang nyetir di mobil depan.Perjalanan dimulai. Sepanjang jalan tol, mobil penuh dengan obrolan, nyanyi bareng lagu 90-an, dan jokes receh yang bikin perut keram. Di satu titik, playlist masuk ke lagu nostalgia boyband dan Nino langsung nyanyi falsetto, disambut gelak tawa satu mobil.Sementara itu, aku duduk di bangku tengah, kepala bersandar ke jendela, sesekali melihat ke luar dan tersenyum kecil. Rasanya udah lama nggak selega ini.Menjelang siang, kami sampai di villa. Udara Lembang yang sejuk langsung menyambut, dan suara jangkrik samar-samar jadi backsound alami.“Gue klaim kama
“Oke. Gini aja. Rendi, kamu tetap siapin plan B buat dekor baru. Pakai furnitur besi dan kayu, lighting-nya kita upgrade biar tetap hangat. Anya, kontak vendor tanaman buat opsi kaktus mini dan sukulen, kalau dia mau yang hidup tapi tetap cocok dengan industrial vibe. Nia, bantu sounding ke klien, dan bilang kita akan kasih mockup visual dalam 48 jam.” Nia langsung mengacungkan jempol. “Siap, Jenderal.” Rendi dan Anya saling pandang, lalu mengangguk. “Oke, kita gerak sekarang.” Saat mereka keluar dari ruangan, aku sempat mendengar Nia berbisik, “Gila ya, tuh orang, baru habis ‘perang dunia’, tapi otaknya tetap nyala.” Aku cuma tersenyum kecil dan mengetuk meja pelan, mencoba mengembalikan fokus. Dunia kerja nggak pernah nunggu mood kita stabil. Tapi, justru di tengah riuh inilah, aku merasa masih berfungsi. Dan untuk hari ini, itu cukup. Pantry sore itu sepi. Hanya ada suara mesin kopi yang bergemuruh dan denting sendok dari cangkir yang baru saja kuseduh. Aku berdiri menyandar d
Bukan Rio.“Ya, saya sendiri. Ini siapa ya?”“Aku Rino. Adiknya Rio.”Aku terdiam. Nama itu samar-samar pernah disebut, tapi aku belum pernah benar-benar berinteraksi dengannya. Bahkan, waktu aku dan Rio masih bersama, dia lebih sering cerita soal keluarganya yang lain.“Maaf ganggu malam-malam. Tapi, aku pikir kamu harus tahu.”“Harus tahu apa?”“Bang Rio, dia udah beberapa kali nemenin ayah Mbak Irene kontrol, iya. Tapi, dia juga udah mulai sering tidur di rumah sakit. Bahkan, kemarin dia batal operasi karena nungguin ayah Mbak.”Deg.Aku menggigit bibir bawah. “Maksud kamu?”“Aku gak tahu pasti apa yang dia rencanakan. Tapi, aku rasa dia gak sepenuhnya lepasin kamu, Mbak. Dan, kalau kamu sekarang dekat sama orang lain, kamu harus hati-hati. Bukan, karena Bang Rio jahat, melainkan karena dia masih nganggep Mbak adalah satu-satunya penyesalan yang gak bisa dia perbaiki.”Aku menutup mata. Napasku sedikit tertahan.“Terima kasih sudah ngasih tahu,” kataku pelan. “Tapi, Rio tahu kamu h
“WOY, CEO kesayangan bangsa! Dicari ke mana-mana, ternyata malah gumpet di sini!”Aku menoleh, terkejut dengan kedatangan tiga laki-laki masuk ke dalam carlfe sambil bercanda. Aku mengenali mereka sebagai Devan, Lingga, dan Fadil.Gasan mendesah kecil sambil nyengir, lalu berdiri, salaman ala sahabat yang sudah lama tak bertemu. “Gue pikir kalian masih di coworking space!”“Kita udah selesai dari tadi, terus Dion bilang lo ngilang. Ya kita ikutin jejak digital lo, dong,” jawab si Gavin sambil menunjuk ponselnya.Aku tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa kikuk. Gasan melirik ke arahku, lalu kembali ke teman-temannya. “Ren, lo masih inget sama mereka, kan?"Tiba-tiba dunia jadi sunyi sejenak. Tiga pasang mata langsung pindah fokus ke aku. Fadil langsung menyikut Gasan pelan.“Loh, cewek lo ganti sekarang, Gas?”“Yang mana?” sahut Gasan cepat, terlihat takut. "Lo jangan bikin huru-hara, deh!"“Oh, apa gue yang salah?” gumam si Fadil.Aku menahan tawa. “Tenang aja. Gue gak tahu kal