Dengan langkah gontai, Pandu kembali ke rumah. Suara mobilnya yang menderu membuat sang istri menyambutnya di luar. Sejenak Pandu terdiam, menatap wanita yang telah berusaha menjadi istri yang baik untuknya, tetapi kesalahan yang ia lakukan tak cukup bagi Pandu untuk memaafkan.“Shanum, itu Papa, Sayang.”Seorang bocah kecil berlari menghampiri. “Papa!” Pandu meraih gadis berusia lima tahun itu ke dalam gendongannya.Rosa tersenyum senang, ketika pria itu berjalan masuk dan ia mengikuti dari belakang. Shanum sangat bahagia, karena telah lama Pandu tak bermain dengan putrinya. Kejadian ini jarang terjadi di antara mereka. Rengekan Shanum untuk menemaninya bermain tak bisa ditolak Pandu. Keduanya tampak akrab dan makin dekat. Momen ini dimanfaatkan Rosa dengan mengambil beberapa foto mereka dan selfie dengan latar keduanya yang sedang bermain. Tak lama, Rosa meng-upload ke media sosial dan menuliskan sebuah kalimat ....‘Ayah adalah cinta pertama anak perempuannya. Pria yang paling tul
Bryan menunggu Zea di parkiran. Hari ini mereka akan pulang bersama. Sejenak Zea bingung menghadapinya, apalagi melihat senyum Bryan yang tak putus menatapnya.“Duduk di depan, dong. Gue bukan sopir lo,” protes Bryan, ketika gadis itu membuka pintu belakang.“Gue duduk di depan atau di belakang, sama aja. Sama-sama bisa sampai ke rumah, kan?”“Lo nurut aja, apa susahnya, sih?” gerutu Bryan. Zea menurut, ia duduk di sebelah Bryan. Pria muda itu mengemudi dengan santai. Sekali-kali ia menoleh pada Zea yang diam tak bersuara. “Kita ke mana?” tanya Zea, ketika menyadari mobil melaju pada arah yang berbeda.“Beliin lo pakaian.”“Enggak usah, gue masih punya pakaian layak pakai.”“Ini bukan kemauan gue, tetapi perintah Mama.”Gadis itu terdiam. Kalau sudah menyebut nama Regina, ia tak bisa menolak permintaan wanita yang sangat baik dan perhatian itu. Mobil berhenti tepat di sebuah butik ternama. Bryan mengajak Zea turun dan membawa gadis itu menuju deretan gaun mewah yang terpajang. “Ini
Pandu duduk terpaku di sudut masjid. Suara ceramah seorang ustaz terdengar mempermalukan dirinya. Pria tak pandai bersyukur, ketika Allah memberinya nikmat yang banyak, ia malah menggunakannya untuk berbuat maksiat. Nasi telah menjadi bubur, kata talak telah terucap, dan penyesalan datang mentertawakan kebodohannya. Sorot mata Pandu tertuju pada sebuah tulisan kaligrafi yang terdapat di atas mimbar. Setiap kali sujud menghadap Sang Khalik, ia merasa malu. Dosanya begitu banyak, hingga Pandu tak yakin bisa mendapatkan maaf dari-Nya. Egoiskah dia jika memohon pada Sang Pencipta untuk mengembalikan Alina-nya? Kepergian Alina menyadarkannya, begitu berarti wanita itu. Ia tak bisa digantikan oleh Rosa, meski wanita itu lebih muda dan cantik. “Bapak Pandu,” sapa Ustaz Ahmad mengagetkan, pria itu duduk di sebelah.Pandu menegakkan punggung, kemudian menyalami Ustaz Ahmad. “Saya gagal untuk kedua kalinya, Ustaz,” lirih Pandu menekuri lantai marmer yang terasa dingin menyentuh kulit. Setetes
Alina menggeleng dan meneruskan pembicaraan. “Suatu ketika, saya bertanya pada selingkuhan suami. Kenapa ia mau dengan pria beristri dan sudah punya anak. Ia menjawab, karena suami saya kaya, hebat, dan jago di ranjang. Seketika kemarahan saya memuncak. Tanpa terkendali, saya menjambak rambutnya dan menendangnya hingga jatuh. Teriakkannya mengagetkan seisi rumah, termasuk suami saya yang sedang berganti pakaian. Wanita itu menangis histeris, apalagi ketika darah mengalir di kedua sela kakinya. Suami saya marah, untuk pertama kalinya ia menampar saya.”“Astagfirullah.”“Zyan dan Zea yang melihat saya diperlakukan kasar oleh papanya, enggak terima. Mereka ikut memarahi papanya, tetapi bukannya sadar, papanya malah menghardik dan memaki mereka.” Alina mengambil selembar tisu di meja, kemudian mengusap pipinya yang bersimbah air mata. “Saya masih ingat, bagaimana wanita itu tersenyum licik ketika suami saya memarahi kami. Hari itu juga, ia menjatuhkan talak pada saya sebelum membawa wanit
Semua siswa bahagia merayakan ujian telah usai. Walaupun hasilnya belum keluar, tetapi mereka sangat senang karena sebagian beban telah berkurang. Hanya Zea yang terlihat berbeda. Ia tak seheboh teman-temannya. Semenjak perundungan yang ia alami, Zea lebih banyak menyendiri. Bahkan, ia tak lagi menitipkan dagangan ke kantin. Selain jam sekolah yang singkat, juga rasa malu menderanya setiap kali bertemu mereka.Gadis itu memilih pulang, meninggalkan sekolah beserta kebahagiaan para siswa. Siapa menyangka, Zea telah diincar oleh siswi-siswi yang tak puas dengan kejadian beberapa minggu lalu. Di persimpangan perumahan yang sepi, mereka kembali mengatur strategi. Semuanya menunggu kedatangan Zea yang berjalan ke arah mobil SUV yang terparkir di pinggir jalan. Chika, sang pemilik, telah menanti beserta dua temannya.“Hei, Dekil!” sapa Chika diiringi gelak tawa teman-temannya ketika Zea lewat. Gadis itu keluar dari mobil, kemudian berjalan mendekati Zea yang berhenti dan menatapnya tanpa ta
Bryan bernapas lega, ketika Malik—pengacara keluarga—tiba bersamaan dengan kedatangan Zyan. Zyan segera menghampiri Zea yang duduk di kursi. Gadis itu menghambur ke pelukan Zyan. Tangis yang dari tadi tersimpan akhirnya keluar juga. Bryan memberikan kesempatan pada keduanya, dan beralih menemui Malik.“Saya mohon, tolong bantu Zea, Om. Dia enggak bersalah. Lakukan apa pun, agar Zea bisa keluar dari sini,” pinta Bryan. Ia sangat menyayangi gadis itu. Entah kenapa, setiap kali melihat Zea terkena masalah, ia selalu ingin menjadi yang terdepan untuk melindunginya.“Baik, kamu tenanglah, saya akan mempelajari kasusnya dulu.” Malik menemui petugas penyidik. Ia mulai melakukan tugasnya sebagai seorang pengacara dan mengumpulkan berbagai informasi yang menimpa Zea. Sementara itu, Bryan kembali ke ruangan tempat kedua kakak beradik itu berada. Pemandangan di depan matanya cukup menjelaskan bagaimana kondisi Zea. Meskipun selama bersamanya Zea berusaha terlihat baik-baik saja, tetapi ia tahu
“Astagfirullah!” Zyan yang dari tadi larut dalam kesedihan mulai menyadari sesuatu. Mamanya pasti saat ini khawatir, karena Zea belum kembali. Ia merogoh saku celana, mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Alina. “Mas, Zea belum siap ketemu Mama,” lirih Zea, ketika Zyan mendekatkan ponselnya ke telinga. Zea tak mau menambah beban Alina, apalagi luka di wajahnya masih terlihat jelas. Sudah pasti wanita itu akan bersedih, jika mengetahui masalah yang menimpa dirinya.“Bagaimana kalau Zea tinggal di apartemen saya dulu, Mas?” tanya Bryan memberi solusi. “Hari ini adalah hari terakhir ujian, beberapa siswa ada yang sedang merayakannya. Mungkin, Bu Alina bisa mengerti.”Mendengar perkataan Bryan, Zea tersenyum dalam kesedihannya. “Teman-teman merayakannya dengan hangout, jalan-jalan, dan makan bersama, tetapi aku di kantor polisi,” ungkap Zea tiba-tiba.Zyan memeluk pundak adiknya dengan seulas senyum di bibir. Ia merasa lebih tenang, ketika Zea mulai membaik dan bisa tersenyum. “Nanti Ma
Bryan menghentikan mobilnya tak jauh dari tempat Zea dan Chika bertengkar. Keduanya mulai mencari petunjuk. Tak hanya itu, mereka juga bertanya pada masyarakat setempat tentang kejadian tadi siang.“Awalnya saya pikir mereka hanya bicara sekadarnya, jadi saya enggak memperhatikan,” ungkap salah seorang warga.“Kami sadar ada pertengkaran ketika mendengar suara minta tolong,” terang seorang ibu menceritakan kejadian tadi siang.Keduanya berusaha mengumpulkan informasi. Warga menunjukkan di mana mereka menemukan ketiga siswi itu berkelahi. Zyan mengamati tempat itu, dan memandang sekeliling. Beberapa rumah yang memiliki CCTV tak luput dari pantauan. Mereka mengamati ke mana CCTV itu merekam. Tak lama kemudian, Zyan mulai mendapatkan petunjuk dan mencoba mencari tahu pemilik rumah yang tepat berada di dekat kejadian. Dibantu Pak RT dan beberapa warga, Zyan mendatangi pemilik rumah. Semula mereka terkejut dengan kedatangan Zyan dan tak ingin dilibatkan dalam kasus ini. Namun Zyan yang pi