“Kau punya mata tidak sih? ini sudah dua kalinya kamu memecahkan piring, restoran ini bisa rugi jika begini,” omel seorang Wanita pemilik Rumah Makan ini.
“Maafkan aku Boss, aku akan lebih berhati-hati,” ucap Gadis berambut hitam gelap itu.
“Gajimu bulan ini akan dipotong akibat keteledoranmu,” sahut Wanita itu.
“Jangan, aku butuh uang gaji bulan ini untuk biaya berobat nenekku,” pinta Gadis berambut hitam. Ia memohon pada pemilik Rumah Makan tempatnya bekerja paruh waktu. “Aku minta maaf Boss, aku kurang tidur karena pagi harus berkuliah jadi kumohon ... aku akan lembur tapi jangan potong gajiku.” Gadis itu memelas.
“Masa bodoh! Itu salahmu sendiri pokoknya gajimu dipotong.” Wanita itu berucap sambil meninggalkan sang gadis yang duduk merunduk. “Kemaskan pecahan piring itu, dasar pegawai tak berguna,” cibirnya.
Sang gadis bermata kenari menatap pecahan piring. Ini sudah jadi piring ketiga yang ia pecahkan. “Kenapa tanganku gampang sekali merusak sesuatu,” ucapnya. Gadis itu berbohong jika sedang mengantuk padahal sebenarnya ia punya tenaga yang kuat. Gadis itu mantan seorang murid ahli pedang. Ia harus meninggalkan hobinya karena harus berkuliah dan bekerja untuk biaya pengobatan neneknya.
“Aku tak boleh sedih, jika pulang nanti Nenek pasti cemas,” gumam Gadis itu. Ia pun buru-buru mengambil sapu untuk membereskan pecahan kaca.
Sepulang berkerja. Gadis berambut hitam panjang itu pulang berjalan kaki dengan tampang lesu. Dia melewati gang sempit yang dijejeri oleh gerombolan preman yang tak sesekali bersiul kepadanya. Gadis itu mendecih namun tetap melewati dengan tak gentirnya.
Gadis itu berjalan dengan berani tanpa mengenal ketakutan. Baru saja melangkah nyaris tiba di rumah susunnya. Sebuah tangan terasa membelai punggungnya dengan sensual. Gadis langsung mengcekrem tangan Pria itu dengan keras, menarik tubuh gempal salah satu preman yang bersikap tak bersahabat dengannya. Dalam hitungan dengan mudahnya ia membanting tubuh preman itu menghantam tiang listrik.
Brukkk! Tubuh Pria itu terpental. Sang gadis hanya memberi tatapan tajamnya. “Tch!” decihnya menatap sekawanan preman lain. “Kalau tidak mau tulang kalian patah cepat pergi,” gertak Gadis itu. Dia memberi tatapan tajam.
Senyuman puas tersungging dari bibir ranumnya. Tatapannya meledek kawanan preman yang berlari terbirit-birit akibat ulah ancamannya. “Dasar pria-pria tak berguna,” ucap Gadis itu sembari mengibas-ngibaskan kedua tangannya. Gadis ini memang kuat. Tenaganya tidak main-main meski sebenarnya tubuh gadis ini seperti gadis normal seusianya.
“Nah! maafkan aku membuatmu menunggu, Nek!” Gadis itu menatap pintunya tertutup rapat. Tidak biasanya sang Nenek tak langsung membukakan pintunya. Gadis itu jadi panik.
Tok! Tok! Tok!
Tangan Gadis itu menggedor pintu tak sabaran. Tatapan matanya berubah menjadi cemas. Sekali lagi tangannya mengetuk pintu kayu itu berharap sang pemilik segera membukanya. Saat pintu itu berdecit menyembulkan kepala seorang anak kecil yang lumus, kerdil dan memprihatinkan.
“Nona muda Senna bergegaslah karena Nyonya Yue Ran semakin lemah,” ucap Bocah kecil itu.
“Kau siapa? Ah tidak penting, Nenek aku pulang!” teriak Gadis itu sembari melesat masuk. Paniknya lebih besar daripada harus penasaran dengan sosok bocah misterius yang ada di kediamanya ini.
“Nek! Nek! Senna pulang!” Gadis itu berseru sembari mencari sosok tua renta itu. Gadis itu justru mendapati tubuh renta yang tengah berbaring dengan damainya. Gadis itu berlari menghambur padanya. Dia memengangi nadi tangan dan nadi leher keriput sang nenek, dia juga mencoba menelisik kelopak mata bawah sang nenek dan yang terakhir dia pun menguncang-nguncang tubuh sang nenek dengan keras.
“Nenek, aku melupakan medical kit karena Senna terburu-buru kemari, kumohon bertahanlah Nek, kita segera ke Rumah Sakit saja ya Nenek?” pintanya dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca itu. Gadis itu menggengam tangan keriput neneknya.
Sebuah tangan keriput meraih permukaan wajahnya dengan lembut. “A-Sen cucu Nenek ... Selamat ulang tahun yang ke delapan belas tahun,” ucap Wanita tua rentan itu.
“Nenek punya hadiah kecil-kecilan, ammbil didalam lemari itu dan buka saat seluruh hatimu tengah damai.” Sang Nenek memberi permintaan terakhirnya pada Cucu kesayangannya itu. Sunggingan senyuman dari nenek tua itu terpancar dengan tulus. “Anak baik ... Satu-satunya yang selalu menganggap orang sepertiku, A-Sen berbahagialah ... Tugas Nenek sudah selesai.” Tatapan teduh itu perlahan-lahan menutupkan sepasang kelopak matanya.
“Tidak, Nenek Tidak! Jangan tinggalkan aku!” Teriak Senna menangis histeris dan memeluk tubuh tua itu dengan erat.
Bocah laki-laki kecil itu menepuk pundak Senna dengan perlahan. “Nona muda Senna tidak baik menangisi Nyonya Yue Ran,” nasehat Bocah kecil itu pada Senna yang tak bergeming, dirinya tetap memeluk tubuh tua itu sementara rohaninya telah pergi dengan damai.
Besok paginya kematian dari Wanita tua ini berlangsung di kediaman mewah. Wanita tua ini aslinya seorang kaya raya yang memilih mengasuh anak dari Putrinya yang sudah lama menghilang itu. Yue Ran tua meninggal membawa rasa berkabung untuk Gadis berambut hitam ini.
Suasana berkabung tengah menyelimuti mansion mewah saat ini. Seluruh orang mengenakan pakaian serba hitam. Semuanya tengah berduka dan yang paling terpukul adalah gadis yang mengenakan gaun hitam serba panjang ini.
“Nenek, hiks, Nenek.” Tangis sang Gadis tak berhenti.
“Berhentilah bodoh. Kau ini menangisi orang yang jelas-jelas bukan nenekmu,” sinri pedas terdengar dari suara seorang wanita yang berdiri disebelahnya.
Gadis itu mengepalkan kedua tangannya namun bocah kecil itu segera menggenggam kepalan tangan gadis itu. “Tenanglah Nona Muda,” ucap Bocah itu.
“Kau itu bukan anggota keluarga Ran kenapa kau malah ada disini? Orang asing sepertimu tidak tahu malu ya?” hina Wanita itu lagi.
Tak semuanya ucapan wanita itu salah. Gadis itu mulai merasa bersalah, dia pun menundukkan tatapannya serta melangkah pelan meninggalkan peti jati itu. “Maafkan aku Bibi,” ucap Senna, nama sang gadis berambut hitam ini.
“Masih berani menyahut! Cepat pergi dari sini, kau pasti yang membuat Ibu kami meninggal!” bentak Wanita itu.
Senna pun beranjak sembari menundukkan tatapannya. Gadis muda itu hanya bisa menahan kesedihannya dalam diam bahkan tubuhnya menubruk seseorang yang tengah terdiam diambang pintu. “Ah maafkan aku Tuan,” lirih Senna. Dia menunduk kembali.
“Nona rubah anda melupakan rubah anda.” Suara seorang Pria membuat atensi Senna teralihkan. Suara pria yang sudah Senna tak sengaja tabrak dengan tubuh linglungnya itu.
Senna segera mendongkak. Dia baru menyadarinya jika bocah laki-laki itu tak mengikuti langkahnya. Gadis itu pun menatap pemuda yang raut wajah datar dengan tatapan yang dingin. “Sie! Baise... Baise!” teriak Senna memanggil nama bocah laki-laki itu. Seharusnya dia ada disampingnya bahkan gadis itu masih bisa merasakan pegangan tangannya beberapa saat yang lalu.
“Apa kau ini sudah gila?! Kami tengah berkabung sementara kau berteriak-teriak. Tidakkah kau menghormati nyonya besar Yue Ran?” Lagi-lagi gadis itu dilempar kata-kata yang tak mengenakkan hatinya. Belum lagi tatapan semua orang yang mencemoohnya.
“Dia tak sengaja,” sahut suara yang berat dan dingin. Suara yang terucap berasal dari seorang pemuda yang berdiri di dekat Senna. Pria yang Senna tak sengaja tabrak. Pria itu melangkah dengan anggun mendekati gadis bersurai kelam itu. Dia bisa melihat kedua pundaknya bergetar. Tentu saja tangisannya tengah ditahan.
“Tu-tuan muda Han!”
Semua orang jadi riuh pada tindakan Pria itu yang tiba-tiba saja mendekati Senna. Seluruh orang yang hadir di sana membungkuk dengan sopan. Pria ini berasal dari keluarga yang disegani. Beruntungnya masih berhubungan baik dengan keluarga Ran.
“Tuan Muda, Anak ini memang tidak tahu diri tuan sama seperti ibunya,” hina wanita itu seraya menunjuk gadis itu dengan keji. “Mohon Tuan menjauhi anak kutukan ini,” ucap Wanita itu.
Kesabaran gadis itu sudah habis tersulur oleh api kemurkaannya. “Kalian pikir kalian sudah benar? kalian bahkan tega membiarkan nenek Yue Ran menghabiskan masa tuanya di rusun yang kumuh,” bentak Senna.
Gadis itu dengan tatapannya yang membara tersulut murka. “Ibuku wanita yang baik! seharusnya kalian yang harus sadar diri.” Senna berucap sembari melenggang pergi. Mengacuhkan sahut-sahutan yang menghujami dirinya.
Pemuda itu terdiam tak bergeming sembari menatap sang gadis yang berlalu pergi. Tujuan awalnya adalah mengucapkan belasungkawa terhadap Nyonya Besar Yue Ran yang sudah tiada. Pria muda ini perwakilan dari kerabat keluarga besar Han tetapi dibalik wajah dinginnya. Kedua manik mata biru tuanya senantiasa mengekori sosok gadis manis bersurai kelam yang sudah melenggang meninggalkan kediaman Ran.
Senna berjalan di tepian trotoar dengan kedua mata sembabnya. Kedua pipi gempalnya sudah merah, iris kenarinya sudah sembab serta hidungnya sudah kemerahan. Dia terisak berkali-kali. Langkah pelan Senna membawanya kembali pulang ke rumah kumuh itu. Dia pun membuka pintu reot itu kemudian melangkah menuju ranjang kasur tua serta duduk di ujung ranjang yang tak layak pakai ini.
“Nona muda Senna.” Bocah lelaki itu menampaki wujudnya lagi.
“Siapa namamu?” tanya Senna.
“Baise Nona, hamba ditugaskan Nyonya Yue Ran untuk menjagamu,” jawab Bocah itu.
Senna tak kuasa menahan tangisnya. Neneknya yang tiada bahkan memberikan pengawal kecil untuk menemaninya. “Baise, kemarilah,” ucap Senna sembari menarik bocah laki-laki itu ke dalam dekapannya. “Jangan tinggalkan aku seperti Nenek,” ucap Senna.
Bocah itu menggeleng singkat membalas ucapan gadis itu. “Nona tak perlu khawatir saya akan terus menjaga nona seperti pinta nyonya Yue Ran,” sahut Baise.
Tak lama seberkas cahaya menyelimuti bocah laki-laki itu. Perlahan-lahan tubuhnya berubah menjadi bola seputih salju dengan bulu lebat yang lembut. Tangan sang gadis membelai rubah kecil itu dengan lembut. Baise adalah roh rubah liar yang sudah lama menjadi peliharaan Yue Ran, sekarang pemiliknya adalah gadis bersurai hitam itu.
“Sulit diterima oleh akal sehatku tapi kurasa inilah cara Nenek memberitahu jati diriku,” ucap Senna sembari membelai rubah kecil ini. “Oh, iya, bagaimana pemuda itu bisa melihatmu Baise?” tanya Senna.
Baise jadi rubah kecil yang lucu. Rubah yang sudah lelap tidur dalam pangkuan Senna. Gadis itu menghela nafas panjang. Dia pun mengedarkan seluruh pandangannya pada ruangan bobrok ini. Kini kenangan hidupnya bersama sang Nenek yang tersisa. Dia ingat pertama kali bertemu Nenek ketika ibunya menitipkannya pada Nenek tapi sang Ibu tak kunjung datang menjemputnya.
Senna mengalihkan pandangannya pada sebingkai foto kecil yang terdapat gambar dirinya, sang ibu dan tentunya nenek Yue Ran. Lamunannya memandang jauh peristiwa lama yang sangat hangat dimemorinya. Hidup masa kecil bersama Nenek yang mengajarinya bela diri, berpedang, memanah dan mengenal ilmu pengetahuan.
“Oh iya aku nyaris melupakannya.” Gadis itu baru terhenyak dari lamunannya. Dia baru mengingat perkataan terakhir dari sang nenek. Dia pun beranjak berdiri untuk menuju sebuah lemari disudut ruangan. Kedua tangan mungilnya membuka lemari itu, dia pun mendapati sebuah kotak kayu kecil disana. Dia pun meraih kotak kecil itu, dipandanginya kotak indah dengan pahatan motif bunga anggrek disetiap sisinya.
“Oh, Nenek,” gumam Senna.
Gadis manis itu membuka kotak kecil bermotif anggrek. Dia mendapati sebuah stick tusuk rambut yang terbuat dari giok dengan ujungnya sebuah permata putih yang membentuk bunga anggrek. Gadis itu meraihnya kemudian memegang tusuk rambut itu.
“Ini sangat indah terima kasih Nek, Senna menyukainya,” ucap Senna. Dia pun memeluk stick rambut itu selayaknya mendekap seseorang yang amat disayanginya. Gadis itu melihat pahatan sebuah tulisan didalam kotak itu. Iris kenarinya memandangi kotak kayu itu.
“Akhiri kehidupan seorang malaikat yang mengkhianati surgawi. Langit merah, tentukan pilihanmu, i bersama atau diam menanti kematian.” Gadis itu membaca pahatan ukiran setiap kata yang berasal dari ukiran kotak kecil itu. Kedua alisnya mengkerut beradu satu.
Tok ... Tok ...
Suara pintu berbunyi. Senna beranjak berdiri kemudian membukakan pintunya. Ia mendapati Pria berdiri di luar. Pria yang memakai masker hitam itu mengeluarkan belati dari balik jaketnya kemudian menghunuskan belati pada Senna.
“Ugh, apa yang ... yang kau lakukan?” Senna menatap cairan merah memenuhi dirinya. Sensasi nyeri pada perutnya semakin menjadi kemudian Senna pun ambruk tak sadarkan diri. Kedua pandangan Senna perlahan-lahan memudar sebelum semuanya gelap Senna menatap tangannya yang berlumuran cairan merah.
"Apakah ... aku sudah tiada?"
Seberkas cahaya mentari pagi yang silau lolos dari celah dinding kayu. Sungguh menyilaukan bagi anak gadis manis yang masih terlelap dengan tidurnya itu. Sembari mengeliat dia pun membuka sepasang kelopak matanya. Membiarkan iris langit magenta nan bening itu terbias oleh cahaya mentari. Buru-buru diarahkan telapak tangannya menutup berkas cahaya itu. Ketika si Gadis hendak beranjak berdiri. Pergerakannya jadi terbatas karena sepasang rantai menjerat kedua kakinya sehingga memaksa bokongnya kembali terjatuh menghantam kerasnya lantai kayu ini. Senna bangun mendapati dirinya dipasung dalam ruangan yang aneh. “Aw, aw, sakit!” jerit Senna. Dia merintih sembari memengangi bokongnya itu. Sepasang iris magentanya membulat dengan sempurna. Seluruh pandangannya menelisik ruangan yang sangat asing untuknya. “Di mana aku?” tanyanya seorang diri. Tatapannya juga tak lepas melihat kedua tangannya yang turut diikat dengan rantai karat yang sudah meninggalkan bekas luka dikedua pergelangan tang
“Tuan Puteri Ran Xieya saya membawa makanan untuk Anda,” Ran Xieya mengulum senyuman yang manis. “Terima kasih,” sahut Ran Xieya sambil menyaksikan gadis itu menunduk dengan sopan sembari pamit untuk meninggalkan kamarnya. “Eh, sebentar, sebentar, temani aku di sini ... aku butuh teman bicara,” ucap Ran Xieya yang terkekeh dengan canggung. “Baiklah Yang Mulia," sahut Gadis itu. Dia berbicara dengan patuh. Gadis Pelayan ini mengenakan gaun panjang berwarna hijau tosca muda itu duduk bersila di sebelah Ran Xieya. Ran Xieya menyeruput teh hangat itu. Dia pun tersenyum jahil. “Hei, ceritakan padaku apa menurutmu aku segila itu?” tanya Ran Xieya. Gadis itu tampak mendehem ragu-ragu, posisi duduknya mulai gelisah. “Ergh ... sebelumnya Yang Mulia tak akan bersikap seperti itu," jawab Gadis itu. Kedua mata Ran Xieya membelalak sempurna. “Eh serius!” jerit Ran Xieya. Ran Xieya mendeham sejenak kemudian mencoba bersikap dengan tenang. "Lalu apa lagi?" tanya Ran Xieya. “Cara bicara anda ju
"Kalau begitu aku harus berhati-hati juga," ucap Ran Xieya. Raut wajahnya serius sembari mencerna situasinya saat ini. "Yang Mulia lebih baik sekarang Anda membersihkan diri karena Lin May akan menyiapkan air hangat untukmu, jangan lupa pertemuan malam ini yang mulia." Lin May berucap sembari membungkuk hormat pada Ran Xieya. Gadis itu menggeser pintu kemudian keluar dari kamar Ran Xieya dengan pelan. Ran Xieya seorang diri masih memikirkan dirinya saat ini. "Ah, jujur saja aku jadi pusing, bagaimana aku bisa masuk ke dunia ini kemudian ada di tubuh Putri Malang seperti ini!" jerit Ran Xieya. Dia pun menarik napas agar bisa membuat dirinya dengan tenang. "Baiklah, tenang ... Ran Xieya, Ran Xieya, serahkan semua masalahmu padaku." Ran Xieya beranjak berdiri kemudian keluar dari kamarnya. Ran Xieya baru selesai mandi. Tubuhnya sudah terasa segar kembali. "Ah, mandi air hangat memang paling terbaik," ucap Ran Xieya. Dia tengah duduk menikmati citrus senja di gazebo istana. Ran Xieya
"Lin May, kenapa aku bahkan tidak tahu jika saat ini ada perjamuan?" tanya Ran Xieya. Dia sembari menoleh pada Lin May. Senyumnya jadi hambar karena tidak tahu mengenai perjamuan Permaisuri yang ternyata sedang hamil. Lin May mengelus pundak Ran Xieya. "Lin May paham, ingatan Tuan Putri memang payah," hibur Lin May. "Aiya ... kau seperti mengolokku," sahut Ran Xieya sembari meringis pelan. Lin May menggeleng. "Itu katamu sendiri, Yang Mulia," ungkap Lin May. Ah benar juga, batin Ran Xieya. Dia pun terkekeh pada Lin May. "Ayo kita keluar dari aula ini, jujur saja aku benci tatapan mereka padaku," bisik Ran Xieya sembari beranjak berdiri. "Mari kita kembali ke kamarmu, Yang Mulia," sahut Lin May. Beberapa langkah lagi kedua gadis ini akan tiba di depan pintu kamar Ran Xieya. Gadis itu sudah mengeluh lapar. “Kenapa kamarku sangat jauh dari aula itu? aku merasa mengelilingi lapangan stadium,” ucap Ran Xieya mengeluh. Biarpun Lin May tak terlalu mengerti dengan ucapan Ran Xieya teta
"Ibu ... kalau begitu sekarang aku antar ke kamar ya, ini sudah malam sebaiknya Ibu istirahat," ucap Ran Xieya. Malam sudah menampaki bulannya yang bersinar dengan terang. Ran Xieya duduk bersama sang Permaisuri baru tiba di kamar pribadinya yang luas. Ran Xieya hanya bisa duduk sembari menikmati teh hangat yang dituangkan pada cangkirnya. Keadaan di luar sedang kacau. Ran Xieya menatap dengan was-was. Namun dia tetap menyembunyikan kegusaran hatinya dengan mengelus bola salju yang sedang dipangkunya itu.Sudah berselang tiga puluh menit dari peristiwa itu. Stick giok Ran Xieya masih berbentuk berupa pedang giok dengan gagang putihnya. Pedang itu sengaja diletakkan disampingnya terduduk. Ran Xieya bahkan tak berani menatap Permaisuri, takut jika dia heran usai Putri ini jadi berubah akibat kerasukan jiwa dari seorang Senna. “Aku tak tahu puteri manisku mahir berpedang," puji Permaisuri. “Ah itu ... aku hanya melihat dan meniru saja.” Ran Xieya tersenyum hambar. Sang Permaisuri kem
“Xieya! astaga, Tuan Muda Kedua ... tolong bawa anakku ke dalam," Han Xue Tian mengangguk singkat. "Baik, Permaisuri." Han Xue Tian menggendong tubuh Ran Xieya kemudian membawanya masuk ke kamar Permaisuri. Han Xue Tian yang menggendong tubuh tak sadarkan diri Ran Xieya meletakkannya dengan pelan untuk berbaring disebuah kursi panjang yang berada disisi lain ruangan itu. Surai hitam Ran Xieya tergerai menutupi paras manisnya yang sedang tertidur. Jemari panjang Han Xue Tian dengan perlahan menepikan helaian rambut hitam Ran Xieya. Lin May segera menggeserkan pintu kamar permaisuri. "Yang Mulia, kenapa tiba-tiba seperti ini," ucap Lin May kemudian sibuk mengurusi Ran Xieya. “Permaisuri Ran Lan Hua." Han Xue Tian menunduk hormat ketika Permaisuri mendekati Ran Xieya. Permaisuri duduk dipinggiran kasur. Ia menatap Ran Xieya yang masih terlelap kala itu. "A-Xie pasti kelelahan, Xue Tian bagaimana keadaan di luar istana?” “Mahluk kegelapan sampai di pusat kota, Xue Tian diperintahk
"Hentikan! jangan menyerangnya!" sergah Ran Xieya.Sorak keributan dari para pelayan itu berasal dari luar aula utama. Beberapa tamu yang penasaran pun turut keluar. “Baise!” teriak Ra Xieya pada Rubah itu. Ran Xieya tak bergeming karena melindungi sosok Rubah yang justru tampak jinak padanya padahal Rubah berukuran besar itu dua kali lipat darinya. Ran Rinyou bergegas mendekati kerumunan usai mendengar hal Ran Xieya memanggil nama rubah kesayangannya dengan setengah berteriak yang segera berlari. “Ran Xieya jangan mendekat ke sana!” teriak sang Kakak yang turut mencegahnya."Grrrghhhh," erang Rubat itu.Rubah itu tampak terpojok karena beberapa prajurit menodongnya dengan ujung tombak. Dia bisa saja menyerang namun Baise masih mengingat tuannya yang berhati lembut. Apalagi rubah itu melihat usaha Ran Xieya yang menghadang todongan ujung tombak yang mengarah padanya. “Sie! kamu tidak terluka, kan?" tanya Ran Xieya disela-sela terpojoknya. Ran Xieya berdiri di depan rubah putih beruk
"Apa ... apa kau mau menghakimiku juga?" tanya Ran Xieya dengan kedua mata berkaca-kaca. "Aku ... tidak ...," ucap Han Xue Tian tertahan karena menatap Ran Xieya hendak terisak lagi. Lin May baru tiba dengan langkah terbirit-birit. Pelayan itu memberi hormat pada Han Xue Tian. “Sudahlah Tuan Putri setelah para pemimpin clan berdiskusi kita bisa bertemu dengan Sie lagi," ucap Lin May sudah kewalahan menenangkan sang Putri yang terisak dengan tangisannya. Dia tak henti-hentinya mengelus pundak Ran Xieya. "Tuan Muda kedua Han, terima kasih sudah menghantar Putri Xieya kemari," ucap Lin May. "Hm." Han Xue Tian mengangguk. "Kalau begitu, selamat tinggal Xieya." Han Xue Tian berucap sembari meninggalkan Ran Xieya bersama Lin May. Lin May dan Ran Xieya lanjut berjalan memasuki kamarnya. Di sana lagi-lagi Ran Xieya cemas akan keberadaan Rubah putih itu. “Kalau dia disakiti oleh si Yu itu bagaimana?" rengek Ran Xieya. “Tidak akan, Lin May ini pasti yakin Han Suiren Hua dan Han Xue Tian