Pagi itu, sinar matahari menyusup lembut melalui celah-celah daun pohon mangga di halaman rumah. Suara burung-burung kecil bernyanyi menyambut pagi, seperti memberikan semangat baru untuk Damira. Ia bangun dari tempat tidurnya, menghela napas panjang, dan segera menuju dapur untuk memulai rutinitas sehari-hari.
Rutinitas Pagi Damira Damira memulai harinya dengan mencuci piring-piring yang masih tersisa dari malam sebelumnya. Meski bukan pekerjaan yang ia nikmati, ia tahu bahwa inilah bagian dari tanggung jawabnya di rumah. Selesai mencuci piring, ia mengambil ember dan sabun cuci untuk mencuci pakaian keluarga. “Kalau aku menikah, apa rutinitasnya bakal seperti ini juga?” gumamnya sambil mengucek pakaian. Pikiran itu seolah tidak pernah lepas dari kepalanya sejak perjodohan itu dibicarakan. Setelah selesai mencuci, Damira melanjutkan membersihkan taman kecil di samping rumah. Ia menyapu dedaunan kering yang berserakan di bawah pohon kelapa dan kedondong. Ada perasaan puas yang muncul ketika melihat taman itu kembali bersih dan rapi. Namun, di tengah semua kegiatan itu, pikirannya tetap tidak bisa tenang. Perjodohan yang didesakkan oleh ibunya masih menghantui benaknya. Ia merasa harus melakukan sesuatu untuk menghindari pernikahan itu. Mencari Jawaban di Dunia Maya Setelah menyelesaikan semua tugas pagi, Damira kembali ke kamar dan mengambil ponselnya. Ia membuka browser dan mulai mencari informasi tentang kuliah. Selama ini, ia tidak pernah berpikir untuk melanjutkan pendidikan setelah lulus SMK. Biaya kuliah yang tinggi menjadi salah satu alasan utama, selain karena ia merasa tidak ada yang bisa diharapkan dari dirinya. Namun, sejak perjodohan itu muncul, Damira mulai melihat pendidikan sebagai jalan keluar. “Kalau aku kuliah, Ibu pasti nggak akan bisa maksa aku cepat menikah. Aku punya alasan untuk menunda,” pikirnya. Ia mengetikkan kata kunci “kuliah D3 jurusan umum terbaik” di mesin pencari. Banyak hasil yang muncul, tetapi perhatian Damira tertuju pada salah satu kampus di Kota Suraka. Ia membaca ulasannya dengan seksama. “Kota Suraka, ya?” gumamnya sambil membayangkan kehidupan di sana. Keputusan Besar Setelah lebih dari satu jam browsing, Damira akhirnya mengambil keputusan. Ia ingin melanjutkan kuliah di D3 di kampus tersebut. Kota Suraka terasa seperti tempat yang cukup jauh dari desanya, cukup jauh dari tekanan ibunya, dan cukup jauh dari bayangan perjodohan itu. Meski begitu, keputusan ini bukan tanpa risiko. Ia tahu bahwa biaya kuliah di luar kota akan jauh lebih besar daripada kuliah di tempat yang dekat dengan rumah. Namun, Damira merasa bahwa inilah satu-satunya cara untuk mendapatkan kebebasan yang ia inginkan. “Kalau aku nggak berani mencoba, aku bakal terjebak di sini selamanya,” pikirnya dengan tekad yang mulai tumbuh. Pembicaraan dengan Ibu Sore harinya, Damira memberanikan diri untuk berbicara dengan ibunya tentang rencananya. “Ibu,” panggil Damira saat mereka duduk di teras. “Iya, Mira. Ada apa?” jawab ibunya tanpa menoleh, sibuk merapikan kain yang baru selesai dijemur. “Saya mau kuliah, Bu. Di Kota Suraka,” kata Damira pelan, tapi penuh keyakinan. Ibunya berhenti sejenak, lalu menatap Damira dengan pandangan tidak percaya. “Kuliah? Kita ini dari mana biayanya, Nak? Hidup aja pas-pasan.” “Saya tahu, Bu. Tapi saya bisa cari cara. Saya bisa kerja sambil kuliah. Saya nggak mau menikah sekarang. Saya belum siap,” jawab Damira, mencoba meyakinkan ibunya. Ibunya mendesah panjang, meletakkan kain yang sedang ia lipat. “Damira, kuliah itu nggak gampang. Kalau nanti kamu gagal, kamu juga yang rugi. Lagipula, Ibu cuma ingin kamu menikah dengan baik, biar hidupmu nggak susah seperti Ibu.” Damira tahu bahwa ibunya hanya ingin yang terbaik untuknya, tetapi ia juga tahu bahwa kebahagiaannya tidak bisa diukur dari pernikahan. “Saya ngerti, Bu. Tapi saya pengen coba dulu. Kalau saya bisa kuliah, saya bisa cari pekerjaan yang lebih baik. Saya bisa bantu Ibu lebih banyak nanti,” ujar Damira sambil menggenggam tangan ibunya. Ibunya terdiam. Meski tidak langsung menyetujui, ia tampak mulai mempertimbangkan kata-kata Damira. Langkah Awal Persiapan Setelah pembicaraan itu, Damira mulai mempersiapkan segalanya. Ia mencari informasi lebih lanjut tentang kampus di Kota Suraka, termasuk biaya pendaftaran, syarat masuk, dan tempat tinggal. Ia juga mulai memikirkan pekerjaan apa yang bisa ia lakukan untuk mendukung biaya kuliahnya nanti. “Mungkin aku bisa kerja di kafe atau toko,” pikirnya. Hari-hari Damira diisi dengan harapan baru. Ia merasa bahwa keputusannya untuk kuliah adalah langkah pertama menuju kebebasan dan kehidupan yang lebih baik. Meski banyak tantangan yang menantinya, ia percaya bahwa tekad dan usaha akan membawanya pada apa yang ia impikan. --- Bab ini menggambarkan rutinitas harian Damira yang sederhana, tetapi di tengah kesederhanaannya, ia berani bermimpi besar. Keputusannya untuk melanjutkan kuliah menunjukkan bahwa ia mulai mengambil kendali atas hidupnya sendiri, meskipun tekanan dari keluarganya masih ada. Bab ini menjadi awal perjalanan Damira menuju kehidupan yang lebih mandiri.Hari-hari terus berlalu, dan Damira semakin terbiasa dengan rutinitasnya di rumah sakit. Ia belajar lebih banyak setiap harinya, menghafal istilah medis dalam bahasa Jerman, serta memahami cara menangani pasien dengan profesionalisme yang tinggi. Namun, ada satu hal yang masih sulit ia hadapi—rasa rindu pada keluarganya. Suatu malam, setelah pulang dari shift sore yang melelahkan, Damira merebahkan diri di tempat tidurnya. Ia meraih ponselnya dan membuka galeri foto. Foto dirinya bersama ibunya saat perpisahan di bandara membuat dadanya terasa sesak. Sofia yang sekamar dengannya melirik. “Rindu rumah?” Damira mengangguk pelan. “Iya, Sofia. Kadang aku berpikir, apa aku membuat keputusan yang benar?” Sofia tersenyum. “Kalau kamu tidak ke sini, mungkin sekarang kamu sudah menikah karena perjodohan itu.” Damira terdiam. Ya, benar. Jika ia mengikuti kemauan ibunya dulu, mungkin ia sudah menjadi istri seseorang tanpa pernah mengalami semua ini. Ia mungkin tidak akan pernah tahu bag
Damira duduk gelisah di kamar kosnya, menatap layar ponsel dengan perasaan campur aduk. Hari ini adalah hari pengumuman hasil seleksi program pelatihan perawat internasional. "Apa aku lolos?" pikirnya sambil menggigit bibir. Pesan dari Sofia muncul di layar. Sofia: "Damira! Sudah cek pengumuman? Aku deg-degan banget!" Damira buru-buru membuka situs resmi rumah sakit dan mencari namanya di daftar peserta yang lolos. Jari-jarinya gemetar saat menggulir layar ke bawah. Dan di sana, ia menemukannya. Damira Azzahra – Lolos Seleksi Program Pelatihan Perawat Internasional Jantungnya berdegup kencang. Ia menutup mulutnya dengan tangan, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. "Aku... aku lolos!" serunya dengan suara bergetar. Teleponnya langsung berdering. Sofia menelepon dengan suara penuh semangat. “Damira! Kita lolos! Aku nggak nyangka!” Damira tertawa kecil, masih dalam keadaan setengah terkejut. "Iya, Sof! Ini beneran terjadi!" Sofia tertawa di sebe
Setelah menerima kepastian bahwa perjodohan itu benar-benar batal, Damira merasa lebih ringan. Kini, ia bisa fokus sepenuhnya pada masa depannya tanpa bayang-bayang paksaan dari keluarga.Ia mulai merencanakan langkah selanjutnya. Jika ingin bekerja di luar negeri, ia harus mempersiapkan diri dari sekarang. Ia mulai mencari informasi tentang peluang kerja di luar negeri untuk lulusan keperawatan, termasuk syarat, sertifikasi, dan jalur yang bisa ia tempuh.Malam itu, di kamar kosnya, Damira membuka laptop dan mulai mencari informasi lebih dalam.“Bekerja sebagai perawat di luar negeri… butuh sertifikasi tambahan?” gumamnya sambil membaca sebuah artikel.Ternyata, untuk bisa bekerja di luar negeri, ia perlu mengambil ujian kompetensi tambahan dan memiliki pengalaman kerja yang cukup.“Berarti, aku harus mulai dari sekarang,” pikirnya.Ia membuat daftar langkah-langkah yang harus ia lakukan:1. Menyelesaikan magang dengan hasil terbaik.2. Meningkatkan keterampilan bahasa asing, terutam
Hari itu, setelah selesai dengan tugas magangnya, Damira duduk di balkon kosnya sambil menikmati secangkir teh hangat. Ia masih memikirkan pesan dari laki-laki yang dulu dijodohkan dengannya.Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi di sisi lain, ia ragu.Tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuatnya terkejut—ibunya menelepon.“Assalamu’alaikum, Bu.”“Wa’alaikumsalam. Kamu sibuk, Nak?”Damira tersenyum kecil. “Tidak, Bu. Ada apa?”“Ibu hanya ingin bertanya… Kamu benar-benar sudah mantap dengan pilihanmu?”Damira terdiam. Ia tahu ibunya pasti sedang membahas perjodohan itu lagi.“Ibu…” Damira menarik napas dalam. “Aku ingin sukses dulu, Bu. Aku ingin berdiri di atas kakiku sendiri. Aku tidak menolak pernikahan selamanya, tapi aku ingin menikah di waktu yang tepat, dengan orang yang benar-benar aku pilih sendiri.”Di seberang telepon, ibunya tidak langsung menjawab. Ada jeda yang cukup lama sebelum akhirnya ibunya menghela napas.“Ibu mengerti, Nak.”Jawaban itu membu
Hari-hari Damira semakin sibuk. Selain kuliah, ia juga bekerja paruh waktu di restoran. Setiap pagi ia harus berangkat lebih awal untuk mengikuti kelas, lalu melanjutkan pekerjaan hingga malam hari.Terkadang rasa lelah menyerangnya, tapi ia terus mengingat tujuan awalnya—menjadi sukses dan mandiri.Suatu hari, saat sedang membersihkan meja, Sofia duduk di salah satu kursi sambil menatapnya prihatin."Damira, kamu tidak lelah?" tanyanya.Damira tersenyum kecil. "Lelah, tapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus terus maju."Sofia menghela napas. "Aku mengerti. Tapi jangan sampai kamu jatuh sakit. Ingat, kesehatan itu penting."Damira mengangguk. Ia tahu Sofia benar. Ia harus lebih menjaga keseimbangan antara belajar, bekerja, dan istirahat.Namun, dalam pikirannya, ia terus bertanya-tanya: Apakah semua ini akan cukup untuk membuktikan bahwa aku bisa berdiri sendiri?---Mendapat Tawaran MagangBeberapa bulan berlalu, hingga suatu hari Damira mendapatkan email dari kampusnya."Selamat! A
Minggu-minggu pertama di luar negeri terasa begitu menantang bagi Damira. Meskipun ia sudah mempersiapkan diri sebelum berangkat, kenyataan di lapangan jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan.Di kelas, ia harus berkonsentrasi ekstra untuk memahami penjelasan dosen yang berbicara cepat dengan aksen yang berbeda. Ia sering mencatat lebih banyak daripada teman-temannya karena takut ada materi yang terlewat.Suatu hari, saat sesi diskusi kelompok, seorang mahasiswa lokal bertanya padanya, "Apa pendapatmu tentang kasus yang kita bahas tadi?"Damira terdiam beberapa detik, mencoba merangkai kata dalam bahasa asing. "Aku pikir... ini sangat penting untuk... melihat dari perspektif yang berbeda."Mahasiswa lain menunggu, seakan mengharapkan penjelasan lebih lanjut. Damira merasa gugup. Namun, salah satu temannya, Sofia, membantunya dengan mengembangkan ide yang ia coba sampaikan.Setelah kelas selesai, Sofia menepuk pundaknya. "Kamu sudah melakukan yang terbaik. Lama-lama kamu pasti lebih la