LOGIN"Buk... Ibuk... Assalamu'alaikum!!!" Gadis cantik berambut lurus tergerai itu berlari dengan girang mendekati ibunya yang tengah memasak. Ia baru pulang sekolah, meski jam menunjukkan masih pukul sepuluh pagi.
"Loh, kok sudah pulang, Al? Baru jam sepuluh kan?" tanya Bu Hanum sembari mengulurkan tangannya. Alin pun segera menyambut dan mencium punggung tangannya dengan takdzim. "Iya, Bu. Kan sudah tidak ada pelajaran. Oh ya bu, coba lihat!!! Nilai Alin sudah keluar bu!!!" ucap Alin lagi dengan mata berbinar. "Wah... Alhamdulillah... Anak ibu pintar sekali," ucap Bu Hanum kagum. "Bagus? Untuk apaaaa punya nilai bagus, kalau nggak bisa buat nyari duit!" Ayah Alin, Pak Rustam baru saja masuk ke dapur dan menimbrung dengan kalimat menohok, membuat suasana yang semula riang menjadi hening. Seketika Alin pun terdiam. "Kopi, buk!" ucap Pak Rustam sembari meletakkan gelas kopinya dengan kasar. Bu Hanum meraih gelas itu, sambil berbicara, "Siapa bilang nilai bagus tidak ada gunanya. Nilai bagus kan bisa dengan mudah, melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi." "Alaaaah, perempuan sekolah tinggi-tinggi mau ngapain!!! Kalau laki-laki, masih bisa dibanggakan, tuh seperti kakakmu, seorang TNI!" ucap Pak Rustam. Suasana dapur seketika berubah dingin. Alin menunduk, matanya berkaca-kaca. Rasanya sesak di dadanya mendengar perkataan ayahnya. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan tangis. Bu Hanum, dengan lembut, mengusap lengan Alin. "Al, ndak usah dimasukin hati, omongan ayahmu itu ya. Ayah lagi capek, sayang. Nilai bagusmu itu sangat membanggakan, kok." Bu Hanum kemudian menuangkan kopi untuk suaminya, gerakannya tenang namun terasa ada getaran tertahan. "Sudahlah Mas, kalau kamu tidak bisa bicara yang baik-baik pada Alin, lebih baik kamu diam saja." Pak Rustam mengaduk kopinya, raut wajahnya masih tampak tegang. "Bukannya begitu, Hanum. Aku hanya ingin dia realistis. Dunia ini keras. Nilai bagus saja tidak cukup untuk menjamin masa depan. Kakaknya saja, jadi TNI, itu baru bisa diandalkan. Kalau perempuan... Mau ngapain sekolah tinggi-tinggi, kalau pada akhirnya juga jadi istri orang!" ucap Pak Rustam, lantas ia pun berlalu. Bu Hanum kembali mendekati Alin dan mengelus lengannya, "Kamu jangan berkecil hati, ya nak. Pencapaianmu ini sudah sangat membanggakan untuk Ibu, kok." Sejak saat itu, Alin sudah tidak lagi menunjukkan hasil penilaian akhir sekolahnya, apa pun itu hasilnya. Toh, menurut Ayahnya itu tidak penting! Walaupun begitu, Alin tidak patah semangat. Ia selalu belajar dengan giat agar mendapat nilai yang bagus. Dan salah satu cita-citanya, bisa melanjutkan ke kuliah di universitas impiannya. "Al... Kok tumben, Alin belum cerita ke Ibuk? Bukannya hari ini pengumuman penerimaan perguruan tinggi ya?" tanya Bu Hanum sembari meletakkan mangkok-mangkok kotor di wastafel. Sementara Alin, tampak masih sibuk dengan adonan kuenya. "Hem, iya bu," jawabnya singkat. "Loh, kok nggak semangat gitu? Kenapa? Sini cerita," "Nggak apa-apa bu. Biasa aja. Lagian, apa pentingnya. Toh, enggak penting kan," jawab Alin. Kemudian ia bergerak ke arah oven, meletakkan adonan kue yang baru saja ia tuang ke loyang. Hari ini, pesanan lumayan dari bu RT untuk lamaran anaknya, ada 15 kotak bolu pisang. Dengan sigap, Alin pun mengerjakannya. "Sudah, sini... biar ibu yang lanjutkan. Kamu istirahat gih, sudah sejak pagi tadi kamu sibuk ngurusin ini. Sini, biar ibu lanjut," "Ya, Bu." jawab Alin. Ia pun berlalu ke kamarnya, dan hanya ditutup kain gorden seperti biasa. Rumahnya berbahan dari kayu, beralaskan lantai semen yang belum dipasang keramik. Ia pun merebahkan tubuhnya ke kasur single size. Jam berputar terasa lambat. Beberapa kali, Alinel tampak memeriksa ponselnya, menunggu kabar dari salah satu universitas yang didaftarinya. Setelah beberapa saat berlalu, tiba-tiba terdengar notifikasi dari ponsel jadulnya. Alin segera meraih ponsel di nakas, sebuah pesan yang kali ini membuat matanya melotot sempurna, "Hah? I Ibuk... Ibuk...Buk...!!!" teriaknya sambil berlari ke dapur dengan membawa ponselnya. Bu Hanum pun terkejut, ia segera meletakkan adonannya, dan berlari mendekat ke Alin. "Ada apa sih, Al? Kok teriak-teriak?" "Ini bu, Alin... Alin diterima bu. Alhamdulillah. Aline lolos di Universitas XX!!!" "Alhamdulillah!!! Selamat ya, Nak. Akhirnya impian kamu terkabul." ucap Bu Hanum bangga, sembari memeluk Alin. "Memangnya siapa yang mengizinkan masuk kuliah?" suara berat dari arah luar itu mengagetkan mereka. Keduanya pun melerai pelukan. "Ayah... Alin... Alin mau kuliah, Yah. Alin keterima di Universitas XX," ucap Alin. "Iya, tapi siapa yang mengizinkan kamu kuliah? Nggak ada, nggak ada! Nggak ada kuliah-kuliah!" "Tapi Yah..." "Memangnya kuliah itu murah? Hah? Duit siapa kamu pakai kuliah, itu? Kamu lihat, buat makan sehari-hari saja, pontang-panting begini, sok-sokan mau kuliah, mau dibayar pakai apa?!" "Ayah jahat! Ayah nggak adil!!! Mas Adit bisa ayah sekolahkan TNI, kenapa Alin enggak? Lagian kuliah Alin gratis, Yah. Beasiswa prestasi." "Gratis pendidikannya. Biaya hidupnya?! Biaya hidup di kota mahal, Al... Sudahlah, tak usah kuliah-kuliah segala. Kalau Masmu... Dia laki-laki. Patutlah sekolah tinggi! Kamu sekolah tinggi percuma, buang-buang duit, buang-buang waktu, ujung-ujungnya nikah juga, jadi istri orang!" "Astagfirullah, Mas! Sudahlah, jangan ngomong gitu sama Alin. Apa salahnya kita izinkan Alin kuliah, toh dia pakai beasiswa kan. Dia bisa sambil frelance juga." "Nah... Ini nih... Nih, contoh ibumu tuh! Dia kuliah tinggi-tinggi, kuliah belum kelar... keluar!" "Mas, cukup!!!" Alin mengusap air matanya dengan kasar lalu ia kembali ke kamar. Dari dapur, ayahnya Alin masih terus mengomel. Suaranya yang lantang itu masih terdengar dari kamar Alin, sehingga ia terpaksa menutupi telinganya dengan bantal. Tapi walaupun begitu, masih saja terdengar. "Kamu lihat itu, Si Hesti! Anaknya Agus! Dia bisa sukses tuh tanpa kuliah! Dia kerja di kota, sekarang sudah bisa bangun rumah tingkat tiga! Kos-kosannya berderet-deret, rukonya di mana-mana! Dia nggak kuliah. KERJAAA!" "Ayah baru ngobrol kemarin sama si Agus itu. Pas Hesti juga lagi pulang. Dia di rumah. Ayah bilang kalau kamu mau ikut kerja sama dia! Pergilah kamu ke kota, kerja bareng Hesti biar kamu sesukses Hesti tuh!" "Yah, tapi Alin mau kuliah dulu, Yah! Nanti sambil Alin kuliah, Alin akan cari kerja part time kok," "ENGGAK! AYAH NGGAK SETUJU!" "Pokoknya, besok kamu harus bareng Hesti." "Tapi Yah!!!" "APA? Masih mau ngebantah! Memang bener-bener kamu ya, tidak tahu terima kasih! Dibesarkan, dirawat, disekolahkan sampai SMA, masih ngelunjak! Memangnya biaya ngerawat kamu itu sedikit?!" "Ya tapi kan itu juga kewajiban orang tua, Yah." "Heh! Asal kamu tahu, ya..." "Mas!!! Cukup!!!" "Sudah, sudah... Sudah jangan didengerin lagi ayah ya, nak. Nanti, nanti biar ibu yang ngomong sama ayahmu." ucap Bu Hanum sembari mendekati Alin yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Lalu Bu Hanum menuntunnya masuk kamar. Di dalam kamar, Alin menangis tersedu-sedu di pangkuan ibunya. Sementara itu, Pak Rustam dengan kesal meninggalkan rumah, menuju warung tempat ngopi seperti biasa. Malam pun tiba, suasana rumah semakin hening, apalagi setelah perdebatan siang tadi. Alin juga tak keluar kamar, bahkan ia melewatkan makan malamnya bersama ayah dan ibu. Ia masih mengurung diri, merenung dan entahlah. Ia tak bisa berpikir dengan jernih. Waktu pun berlalu cepat, menit berganti jam, dan malam pun berganti siang. Siang ini, Alin sedang merapikan kamar saat tiba-tiba Bu Hanum masuk ke kamarnya. "Gimana, Bu?" tanya Alin dengan nada lemas. Bu Hanum pun duduk di tepi ranjang, dan diikuti oleh Alin. "Maaf ya, Al. Ibu gagal membujuk ayah," ucap Bu Hanum. Dan seketika, runtuhlah pertahanan Alin. Ia kembali menangis, dan kini ia sudah tidak ada harapan lagi dengan impiannya. "Al, maaf... Ibu benar-benar minta maaf, telah mematahkan impianmu." "Sudahlah, Bu. Mungkin memang sudah takdir Alin begini," ucap Alin dengan suara bergetar. Bu Hanum pun tak kuasa menahan tangis. Ia juga tidak bisa apa-apa karena semua keuangan dipegang oleh suaminya. "Permisi! Assalamu'alaikum!!!!" ucap seorang wanita dari luar pintu. Bu Hanum segera bangkit dan membukakan pintu. "Eh, Hesti??? Ada apa ya?" tanya Bu Hanum. "Waaaah, Nak Hesti sudah datang saja nih!" ucap Pak Rustam dari arah kamarnya. Ia tampak sumringah menyambut kedatangan Hesti. "Ayo, duduk dulu yuk, masuk! Sebentar, Paman panggilkan Alin." "Al.... Alin!!! Alin!!!" Alin akhirnya keluar kamar, walau matanya tampak sembab dan merah. "Nih, Hesti sudah di sini. Kamu siap-siap gih, berangkat bareng Hesti. Hari ini." "Yah, tapi Yah?" "Jangan malu-maluin ayah, kamu ya!" hardik Pak Rustam. Akhirnya, dengan berat hati Alin menurut. Ia akhirnya pergi, dengan memandang wajah ibunya yang penuh dengan rasa bersalah. Dan disinilah, Alin sekarang. "Heh!!! Buruan ditandatanganin!!! Kok malah melamun sih!!!" sentak Rizan. Seketika, Alin pun tersadar dari lamunannya. "I-i iya, Pak. Disini?"***Jam menunjukkan pukul 14.30. Sinar matahari sore menyelinap melalui celah-celah gedung pencakar langit, menyorot debu-debu yang melayang di udara kantor PT Maple Atmajaya. Suasana kantor yang biasanya ramai dengan deru mesin ketik dan obrolan ringan, kini terasa lebih tenang. Sebagian besar karyawan telah pulang, meninggalkan suasana hening yang hanya diiringi oleh detak jarum jam dan suara keyboard yang sesekali ditekan. Di ruangannya, Rizan duduk tegak di kursinya. Tatapannya terpaku pada layar laptop, jari-jari lentiknya bergerak cepat mengetik. Alisnya sedikit mengerut, seakan sedang bergulat dengan masalah rumit. Secangkir kopi hangat yang baru saja dibuat oleh Pak Budi, OB kantor, menghiasi mejanya. Sesekali, Rizan menyeruput kopinya, menikmati kehangatannya sebagai teman setia dalam menyelesaikan pekerjaannya. Aroma kopi robusta yang kuat bercampur dengan aroma kertas dan tinta memenuhi ruangan itu. Di luar jendela, lalu lintas kota mulai padat. Suara klakson mob
"Di jidatmu!!! Ya jelas lah di situ! Kamu sekolah kan? Bisa baca kan? Di situ sudah jelas, letak dimana kamu tanda tangan!" ucap Rizan lagi.Alin segera mengusap air matanya dengan kasar, lalu segera membubuhkan tanda tangan di atas materai itu."Bagus. Kalau gitu kita akan menikah besok!""Hah? Besok?""Kenapa? Kamu mau balik ke dalam sana lagi?""Tapi Pak... Ayah ibuku... Belum tahu,""Gampang!""Jalan!""Baik tuan!"Mobil hitam itu melaju mulus di jalan raya. Di dalamnya, Rizan dan Alin duduk berdampingan di kursi belakang, dipisahkan oleh rasa canggung.Lampu-lampu kota berkelap-kelip di luar jendela, membentuk labirin cahaya yang membingungkan.Di dalam mobil, Rizan dan Alin terkurung dalam keheningan malam. Kegelapan di luar seakan merefleksikan kegelapan yang melingkupi hati mereka. Hanya cahaya redup dari lampu dalam mobil yang menerangi wajah mereka yang tampak lelah dan tegang. Suara mesin mobil dan deru ban di aspal menjadi satu-satunya penanda perjalanan mereka menuju rum
"Buk... Ibuk... Assalamu'alaikum!!!" Gadis cantik berambut lurus tergerai itu berlari dengan girang mendekati ibunya yang tengah memasak. Ia baru pulang sekolah, meski jam menunjukkan masih pukul sepuluh pagi."Loh, kok sudah pulang, Al? Baru jam sepuluh kan?" tanya Bu Hanum sembari mengulurkan tangannya. Alin pun segera menyambut dan mencium punggung tangannya dengan takdzim. "Iya, Bu. Kan sudah tidak ada pelajaran. Oh ya bu, coba lihat!!! Nilai Alin sudah keluar bu!!!" ucap Alin lagi dengan mata berbinar."Wah... Alhamdulillah... Anak ibu pintar sekali," ucap Bu Hanum kagum. "Bagus? Untuk apaaaa punya nilai bagus, kalau nggak bisa buat nyari duit!" Ayah Alin, Pak Rustam baru saja masuk ke dapur dan menimbrung dengan kalimat menohok, membuat suasana yang semula riang menjadi hening. Seketika Alin pun terdiam."Kopi, buk!" ucap Pak Rustam sembari meletakkan gelas kopinya dengan kasar.Bu Hanum meraih gelas itu, sambil berbicara, "Siapa bilang nilai bagus tidak ada gunanya. Nilai ba
"A a ampun Tuan... Jangan, jangan sentuh Alin, Alin mohon..." Wanita berpakaian mini berwarna purple itu berjalan mundur seirama dengan pria berbadan kekar yang melangkah di depannya dengan tatapan penuh nafsu. Pria itu sama sekali tidak menggubris Alin yang tampak ketakutan. Ia terus mendekat, bahkan kini wajahnya dengan wajah Alin hanya berjarak lima centi meter saja. hembusan nafas hangat, memburu dari pria itu juga sangat terasa jelas di wajah Alin. Alin tak berhenti memohon walau terus di abaikan. Tubuhnya tampak menegang dan panas dingin terasa menjalar keseluh tubuhnya, tangan mungilnya itu juga tampak mencengkram sisi kanan kiri rok mini yang ia pakai itu. Tubuhnya yang mungil tak mampu untuk melawan pria didepannya, sekalipun melawan, ia sangat yakin jika ia akan kalah, tubuhnya tak ada apa-apanya di banding dengan tubuh kekar itu. 'Bruk!'Pria itu kemudian mendorong Alin ke kasur, lalu ia membuka kancing kemejanya dengan kasar serta menarik ikat pinggangnya. Sementara A







