Home / Mafia / Menikahi Gadis Malam / Istana Atmajaya

Share

Istana Atmajaya

Author: Aisyah Ahmad
last update Last Updated: 2025-10-29 14:18:52

"Di jidatmu!!! Ya jelas lah di situ! Kamu sekolah kan? Bisa baca kan? Di situ sudah jelas, letak dimana kamu tanda tangan!" ucap Rizan lagi.

Alin segera mengusap air matanya dengan kasar, lalu segera membubuhkan tanda tangan di atas materai itu.

"Bagus. Kalau gitu kita akan menikah besok!"

"Hah? Besok?"

"Kenapa? Kamu mau balik ke dalam sana lagi?"

"Tapi Pak... Ayah ibuku... Belum tahu,"

"Gampang!"

"Jalan!"

"Baik tuan!"

Mobil hitam itu melaju mulus di jalan raya. Di dalamnya, Rizan dan Alin duduk berdampingan di kursi belakang, dipisahkan oleh rasa canggung.

Lampu-lampu kota berkelap-kelip di luar jendela, membentuk labirin cahaya yang membingungkan.

Di dalam mobil, Rizan dan Alin terkurung dalam keheningan malam. Kegelapan di luar seakan merefleksikan kegelapan yang melingkupi hati mereka. Hanya cahaya redup dari lampu dalam mobil yang menerangi wajah mereka yang tampak lelah dan tegang.

Suara mesin mobil dan deru ban di aspal menjadi satu-satunya penanda perjalanan mereka menuju rumah Rizan. Sementara Sopir, fokus pada jalanan yang mulai sepi.

Alin sesekali melirik ke luar jendela, menyaksikan bayangan pohon-pohon yang bergoyang ditiup angin malam. Kegelapan malam seolah memperbesar jarak antara dirinya dan Rizan.

Tidak ada kata-kata yang terucap, hanya tatapan kosong yang sesekali tertuju ke arah Rizan, lalu kembali ke kegelapan di luar jendela. Sesekali juga ia tampak mendengus.

Setelah beberapa saat melintasi jalanan sepi, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang menjulang dengan tampilan sangat modern. Sebuah mansion berdesain kontemporer milik seorang CEO besar. Fasadnya didominasi kaca gelap, baja, dan panel beton halus. garis-garis tegas membentuk siluet yang dingin dan hampir tidak ramah. Lampu-lampu luar menyala terukur, menyorot aksen arsitektural. Pagar setinggi badan dengan akses biometrik memberi kesan bahwa di baliknya ada kontrol dan jarak.

Sopir membuka pintu mobil, dan Rizan melangkah keluar terlebih dahulu, diikuti Alin yang masih ragu. Ia menatap bangunan itu. sebuah simbol kemewahan yang terbungkus ketelitian dan jarak. Deretan pohon pilar dipangkas rapi, jalan masuk terbuat dari lempengan batu hitam, dan beberapa lampu tanah yang tersembunyi memantulkan siluet kaca.

Keduanya melangkah menuju pintu. Begitu memasuki mansion, sensasi berbeda menyambut. Udara yang bersih, ber-AC, dan suara langkah yang meredam. Pintu otomatis menutup di belakang mereka dengan bunyi halus. Lobi adalah atrium berlangit-langit tinggi, dindingnya lapang, permukaannya halus seperti galeri seni korporat. Furnitur berdesain tegas dan fungsional ditempatkan jauh dari ornament berlebihan. Lampu-lampu tersembunyi memberi pencahayaan yang dingin tetapi presisi.

Rizan melirik ke arah Alin, seolah ingin mengucapkan sesuatu, namun kata-kata itu terhenti di ujung lidahnya. Ruangan luas dengan atrium dua tingkat dan lampu gantung modern menciptakan suasana megah yang steril.

Alin tertegun. Ia merasa kagum dan sedikit kewalahan. Seperti berdiri dalam galeri perusahaan besar, bukan di rumah yang ramah.

"I i i ini... Beneran rumah Pak?"

"Khhh... Ya menurutmu, apa ini sebuah kandang babi?"

"Ehehe. Ya enggak gitu, maksudnya. Ini rumah... Tapi... Kayak markas gitu. Ya Allah... Ini... Ini beneran, besar dan mewah sekali... aku nggak sedang bermimpi kan?"

"Aww... Sakit!!!"

"Nah... sakit kan. Berarti nyata! Ya udah sana ke atas duluan. Saya masih ada urusan!" ucap Rizan lalu melenggang pergi.

"Loh loh ey... Pak.. Pak!!! Duh... Gimana sih ini. Aku kan belum tahu jalannya. Mana pintunya banyak sekali." ucap Alin. Lantas ia pun terus berjalan maju sambil celingukan. Ia berjalan seolah bingung, menyusuri lorong-lorong yang serba minimalis dan bersudut. Ada banyak pelayan yang berdiri diam, tapi Alin takut bertanya. Apalagi melihat tatapan-tatapan mereka yang seolah mengintimidasi.

Alin melangkah lebih dalam ke dalam rumah besar milik CEO itu, matanya terbelalak melihat setiap sudut yang menakjubkan. tapi menakjubkan dalam kesan modern yang dingin. Dinding-dindingnya dipasangi karya seni kontemporer dan instalasi cahaya. beberapa panel dinding menyembunyikan layar interaktif kecil dan panel kontrol keamanan. Materialnya mewah namun tanpa hiasan. Marmer hitam, kayu maple ringan, baja tahan karat, dan permukaan kaca satin. Bukannya merasa nyaman, Alin malah merasa seolah berada di dalam kantor pusat perusahaan besar. elegan tapi jauh dari kehangatan rumah.

“Wow, ini luar biasa,” gumamnya, sambil menyentuh sebuah instalasi patung logam yang ramping di sudut ruangan. Patung itu dingin saat disentuh dan tampak seperti karya design yang bernilai tinggi.

Namun, rasa ingin tahunya segera tergantikan oleh kebingungan.

“Di mana sih Rizan? Kenapa dia pergi begitu saja dan meninggalkanku sendirian?” pikirnya sambil melihat sekeliling. Ia mendapati ada beberapa pintu kaca dan panel otomatis yang tampak mirip, membuatnya semakin bingung.

"Ck. Terus, ini yang mana... Kamarnya yang sebelah mana... Semua pintu sama, dan... masa iya harus ku buka satu persatu?!"

Alin melanjutkan langkahnya, mencermati setiap pintu yang ia lewati. Beberapa pintu berkaca buram dengan akses kartu, sementara yang lainnya memiliki pegangan yang hampir tersembunyi. Ia mencoba membuka salah satu pintu, tetapi terkunci. “Hmm, mungkin yang ini…?” Ia beralih ke pintu berikutnya, tapi sama saja.

Saat ia berputar-putar, matanya tertuju pada sebuah karya seni digital besar yang tergantung di salah satu dinding. Sebuah panel layar yang menampilkan potret seorang wanita bergaya fotorealistik, ditempatkan seperti mahakarya di sebuah galeri perusahaan. Potret itu tampak menatap tajam ke arah Alin.

“Eh?” Alim mengerutkan kening, merasa ada yang aneh. Ia mendekati panel itu dengan hati-hati. “Kok… kok kayaknya…?”

Tiba-tiba, Alin merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia melihat dengan jelas, mata wanita di potret digital itu bergerak. sebuah animasi halus, atau mungkin sensor yang bereaksi pada gerak tubuhnya? Layar itu menyesuaikan sudut tatapan, membuatnya terlihat seolah mata dalam potret mengikuti setiap langkah Alin

“Aaaaa!!!” Alin berteriak histeris, tubuhnya gemetar ketakutan. Ia mundur beberapa langkah, jantungnya berdebar kencang.

“Ada apa teriak-teriak?” Rizan muncul dari balik salah satu lorong, matanya mengerut heran. Ia menepuk bahu Alin. membuat gadis itu berbalik badan dengan kaget.

“Aduh!” Alin tersentak, ia langsung memeluk Rizan erat-erat. “Pak Rizan, saya takut!”

Rizan sedikit kesal, “Ada apa teriak-teriak? Dan... Kamu ngapain, di sini? Kamarmu di sana, ayo!!!" ucap Rizan sembari menarik tangan Alin menuju salah satu ruangan di atas. Alin berjalan sambil mengamati dinding sekitar yang menurutnya terasa asing dan sedikit mengintimidasi.

“I… itu… tadi aku lihat gambarnya bergerak!” ucap Alin dengan suara bergetar.

Rizan menggeleng, “Jangan ngaco! Kamu pasti lelah makanya halu. Ayo, cepatlah!”

Alin hanya menurut.

Tiba di salah satu pintu ruangan, Rizan membawa Alin masuk. Di dalam kamar itu, suasananya sangat kontras dengan area publik yang penuh instalasi. ruang pribadi ini terasa lebih sederhana, tetapi tetap minimalis dan dingin. Ada jam dinding besar bergaya modern dan satu foto keluarga berukuran kecil terletak di atas nakas; selain itu furnitur terbuat dari kayu jati yang diproses halus, dipadukan dengan garis-garis minimalis. semua dipilih agar tetap rapi dan fungsional, tanpa dekorasi sentimental berlebih.

"Kamu tidurlah di sini, biar aku di kamar lain! Kalau kamu lapar, pencet saja bell, makanan akan datang!?"

"I i iya, Pak Rizan."

"Panggil Rizan saja!"

"Iya, Pak eh Zan." ucap Alin gugup.

Rizan hanya merespon dengan menoleh saja dengan wajah datarnya, kemudian ia pun melangkah pergi.

"Eum... Rizan!"

"Ya?"

"Rumah sebesar ini... Apa kamu tinggal sendiri? Mama atau papa kamu..."

Tidak sempat melanjutkan pertanyaannya, Rizan langsung berlalu tanpa menjawab sepatah kata pun, dan menutup pintu ruangan itu dengan tegas.

"Duh... Apa pertanyaanku tadi, salah ya?" Alin menghela nafas, lalu duduk di tepi ranjang sembari meraih sebuah foto kecil, dan di dalam bingkai foto itu, terdapat gambar seorang wanita paruh baya, foto Rizan waktu masa remaja, dan seorang gadis entah siapa.

"Sebenarnya dia tampan sih, tapi...."

---

Rizan Atmajaya, seorang pemuda dengan aura dingin yang menyelimuti dirinya. Tatapan matanya tajam, seakan mampu menembus kedalaman jiwa seseorang yang menatapnya. Tatapan matanya tajam, seakan mampu menembus kedalaman jiwa seseorang. Senyumnya jarang tersungging, dan ketika muncul, terasa hambar. Walaupun begitu, sebenarnya dia pria yang baik dan tulus.

Parasnya sangat tampan dan menawan, Ia jiga sangat kharismatik, persis seperti mendiang kakeknya. Ia adalah putra tunggal Nareswati Atmajaya, putri ketiga dari Harun Atmajaya, seorang pengusaha kawakan yang namanya melegenda di dunia bisnis.

Kehidupan Rizan dipenuhi kemewahan. Ia tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi kemewahan dan fasilitas terbaik. Namun, di balik itu semua, Rizan memiliki beban yang berat di pundaknya. Ia adalah pewaris tunggal dari warisan besar yang ditinggalkan oleh sang kakek, Harun Atmajaya. Nareswati, sang ibu, mewarisi lebih dari 50% saham di salah satu perusahaan terbesar di negara tetangga, serta menjadi satu-satunya pewaris PT Maple Syrup Atmajaya beserta lahan dan kebunnya yang luas.

Warisan tersebut tidak hanya membawa kemewahan, tapi juga konflik yang tak terelakkan. Saudara-saudara ibu Rizan, anak-anak dari Harun Atmajaya yang lain, tidak setuju dengan wasiat sang ayah. Mereka merasa bahwa warisan tersebut seharusnya dibagi rata di antara mereka, nah kan, mereka lah yang seharusnya mendapat bagian terbanyak, karena laki-laki. Bukan hanya jatuh ke tangan Nareswati dan Rizan.

"Agrh!!!! Tidak bisa!!! Ini tidak boleh terjadi. Seharusnya aku! Aku yang seharusnya jadi Pewaris Sah, pewaris tunggal, bukan Nareswati!!! Memangnya apa kontribusi Nareswati, hingga mendapatkan hampir seluruh harta Ayah?!" ucap Faruq tak terima.

"Ya Mas! Aku setuju! Seharusnya kan kamu, dan anak kita yang harusnya sekarang menjadi Pemilik perusahaan itu!"

"Mama sama Papa tenang saja, aku... Akan merebut tahta itu dari tangan Rizan!!! Lihat saja!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Gadis Malam   Dalam jerat Takdir

    ***Jam menunjukkan pukul 14.30. Sinar matahari sore menyelinap melalui celah-celah gedung pencakar langit, menyorot debu-debu yang melayang di udara kantor PT Maple Atmajaya. Suasana kantor yang biasanya ramai dengan deru mesin ketik dan obrolan ringan, kini terasa lebih tenang. Sebagian besar karyawan telah pulang, meninggalkan suasana hening yang hanya diiringi oleh detak jarum jam dan suara keyboard yang sesekali ditekan. Di ruangannya, Rizan duduk tegak di kursinya. Tatapannya terpaku pada layar laptop, jari-jari lentiknya bergerak cepat mengetik. Alisnya sedikit mengerut, seakan sedang bergulat dengan masalah rumit. Secangkir kopi hangat yang baru saja dibuat oleh Pak Budi, OB kantor, menghiasi mejanya. Sesekali, Rizan menyeruput kopinya, menikmati kehangatannya sebagai teman setia dalam menyelesaikan pekerjaannya. Aroma kopi robusta yang kuat bercampur dengan aroma kertas dan tinta memenuhi ruangan itu. Di luar jendela, lalu lintas kota mulai padat. Suara klakson mob

  • Menikahi Gadis Malam   Istana Atmajaya

    "Di jidatmu!!! Ya jelas lah di situ! Kamu sekolah kan? Bisa baca kan? Di situ sudah jelas, letak dimana kamu tanda tangan!" ucap Rizan lagi.Alin segera mengusap air matanya dengan kasar, lalu segera membubuhkan tanda tangan di atas materai itu."Bagus. Kalau gitu kita akan menikah besok!""Hah? Besok?""Kenapa? Kamu mau balik ke dalam sana lagi?""Tapi Pak... Ayah ibuku... Belum tahu,""Gampang!""Jalan!""Baik tuan!"Mobil hitam itu melaju mulus di jalan raya. Di dalamnya, Rizan dan Alin duduk berdampingan di kursi belakang, dipisahkan oleh rasa canggung.Lampu-lampu kota berkelap-kelip di luar jendela, membentuk labirin cahaya yang membingungkan.Di dalam mobil, Rizan dan Alin terkurung dalam keheningan malam. Kegelapan di luar seakan merefleksikan kegelapan yang melingkupi hati mereka. Hanya cahaya redup dari lampu dalam mobil yang menerangi wajah mereka yang tampak lelah dan tegang. Suara mesin mobil dan deru ban di aspal menjadi satu-satunya penanda perjalanan mereka menuju rum

  • Menikahi Gadis Malam   Kilas Balik Alin

    "Buk... Ibuk... Assalamu'alaikum!!!" Gadis cantik berambut lurus tergerai itu berlari dengan girang mendekati ibunya yang tengah memasak. Ia baru pulang sekolah, meski jam menunjukkan masih pukul sepuluh pagi."Loh, kok sudah pulang, Al? Baru jam sepuluh kan?" tanya Bu Hanum sembari mengulurkan tangannya. Alin pun segera menyambut dan mencium punggung tangannya dengan takdzim. "Iya, Bu. Kan sudah tidak ada pelajaran. Oh ya bu, coba lihat!!! Nilai Alin sudah keluar bu!!!" ucap Alin lagi dengan mata berbinar."Wah... Alhamdulillah... Anak ibu pintar sekali," ucap Bu Hanum kagum. "Bagus? Untuk apaaaa punya nilai bagus, kalau nggak bisa buat nyari duit!" Ayah Alin, Pak Rustam baru saja masuk ke dapur dan menimbrung dengan kalimat menohok, membuat suasana yang semula riang menjadi hening. Seketika Alin pun terdiam."Kopi, buk!" ucap Pak Rustam sembari meletakkan gelas kopinya dengan kasar.Bu Hanum meraih gelas itu, sambil berbicara, "Siapa bilang nilai bagus tidak ada gunanya. Nilai ba

  • Menikahi Gadis Malam   Pertemuan Malam itu

    "A a ampun Tuan... Jangan, jangan sentuh Alin, Alin mohon..." Wanita berpakaian mini berwarna purple itu berjalan mundur seirama dengan pria berbadan kekar yang melangkah di depannya dengan tatapan penuh nafsu. Pria itu sama sekali tidak menggubris Alin yang tampak ketakutan. Ia terus mendekat, bahkan kini wajahnya dengan wajah Alin hanya berjarak lima centi meter saja. hembusan nafas hangat, memburu dari pria itu juga sangat terasa jelas di wajah Alin. Alin tak berhenti memohon walau terus di abaikan. Tubuhnya tampak menegang dan panas dingin terasa menjalar keseluh tubuhnya, tangan mungilnya itu juga tampak mencengkram sisi kanan kiri rok mini yang ia pakai itu. Tubuhnya yang mungil tak mampu untuk melawan pria didepannya, sekalipun melawan, ia sangat yakin jika ia akan kalah, tubuhnya tak ada apa-apanya di banding dengan tubuh kekar itu. 'Bruk!'Pria itu kemudian mendorong Alin ke kasur, lalu ia membuka kancing kemejanya dengan kasar serta menarik ikat pinggangnya. Sementara A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status