LOGIN
"A a ampun Tuan... Jangan, jangan sentuh Alin, Alin mohon..." Wanita berpakaian mini berwarna purple itu berjalan mundur seirama dengan pria berbadan kekar yang melangkah di depannya dengan tatapan penuh nafsu.
Pria itu sama sekali tidak menggubris Alin yang tampak ketakutan. Ia terus mendekat, bahkan kini wajahnya dengan wajah Alin hanya berjarak lima centi meter saja. hembusan nafas hangat, memburu dari pria itu juga sangat terasa jelas di wajah Alin. Alin tak berhenti memohon walau terus di abaikan. Tubuhnya tampak menegang dan panas dingin terasa menjalar keseluh tubuhnya, tangan mungilnya itu juga tampak mencengkram sisi kanan kiri rok mini yang ia pakai itu. Tubuhnya yang mungil tak mampu untuk melawan pria didepannya, sekalipun melawan, ia sangat yakin jika ia akan kalah, tubuhnya tak ada apa-apanya di banding dengan tubuh kekar itu. 'Bruk!' Pria itu kemudian mendorong Alin ke kasur, lalu ia membuka kancing kemejanya dengan kasar serta menarik ikat pinggangnya. Sementara Alin, ia sudah pasrah. posisinya kini terlentang di atas ranjang dan pria kekar itu menindihnya sehingga membuat Alin tak bisa bergerak melawan. Alin hanya bisa menangis, bayangan-bayangan masa remajanya yang penuh warna dan masa depan terus saja berseliweran di otaknya. Penyesalan pun kini tiada arti, di tambah lagi dengan bayangan wajah teduh wanita yang setiap pagi mengantarnya sekolah, dari keluar pintu rumah dan menyambutnya kala pulang sekolah. Teringat lagi dengan bayangan-bayangan wajah ibunya saat terakhir kali ia berpamitan untuk merantau dengan wajah penuh kekhawatiran tapi penuh harap, siapa sangka jika akhirnya yang terjadi... 'Srekkk!!! ' Dengan brutalnya pria itu menarik pakaian mini Alin dan masa depan itu akan hilang seketika. Alin merasa sudah tak ada harga diri, perasaan sedih, kecewa, marah, bercampur jadi satu saat itu juga, hingga mencetak keberanian Alin yang tiba-tiba, dengan sekuat tenaga Alin bisa bangkit lalu mendorong tubuh pria itu hingga terpental dan menatap tembok. "Auh..." rintihnya Alin pun segera bangun, lalu mengambil selimut di sampingnya untuk menutup tubuhnya. "Kurang ajar kamu!" "Ampun Tuan, maaf... Alin tidak bermaksud menyakiti, Alin hanya melindungi diri, tolong... Jangan sentuh Alin." "Heh! Apa maksudmu? Saya sudah membayarmu mahal-mahal ya! Jangan coba-coba kamu menipu saya! Mamimu bahkan meminta uang 5 kali lipat, untuk keperawananmu!" ucapnya kesal. Ia pun bangkit lalu kembali mendekati Alin. Alin pun semakin mengeratkan balutan selimut yang kini melekat di tubuhnya, "Ampun Tuan, jangan! Saya masih ingin punya masa depan, saya masih ingin..." "Hahahaha. Kamu mau ngelawak ya?! kalau kamu masih ingin punya masa depan, kenapa bekerja di tempat ini, dasar pelac*r! Sini cepetan, buka! Oh, apa masih kurang duitnya? Nih... Nih!!!" ucap Pria itu sembari melemparkan lembaran uang uang merah ke wajah Alin. "SINI!" bentak pria itu. "Atau... Aku buka paksa," "Jangan Tuan," Alin pun akhirnya mendongak, menegakkan kepalanya lalu mengusap air matanya dengan kasar. "Baik. kalau memang Tuan mau tubuh saya, nikahi dulu saya dan bawa keluar saya dari tempat ini." ucapnya lagi dengan mantap. "Omong kosong macam apa itu!" "Tidak mungkin! ya kali saya menikahi Pelac*r sepertimu, apa untungnya buat saya?!" "Tuan bisa setiap hari menikmati tubuh saya dengan gratis, sepuasnya. Dan yang pasti, tidak berdosa karena kita sudah halal," sambung Alin lagi. "Menikah?" Pria itu terdiam sesaat, "Tidak! Aku tidak mau, lagi pula aku tidak suka Pernikahan. Aku tidak suka terikat, aku punya banyak uang, aku bisa menikmati wanita kapanpun tanpa harus menikah. Menikah itu, Ribet! Belum lagi di tuntut untuk ini itu," "Tidak Tuan, aku tidak akan menuntutmu, aku hanya perlu ikatan yang sah, secara agama dan negara, untuk melayanimu, untuk kau menikmati tubuhku. Aku juga tidak berharap lebih untuk di posisikan sebagai istri, cukup kau selamatkan aku dari sini, aku akan melayanimu dengan baik," ucap Alin dengan intonasi yang pelan. Ia sedang berusaha merayu pria di depannya itu. Sebenarnya ia tak ada maksud lebih, selain hanya menyelamatkan kehormatannya. "Aneh ! Kenapa kau berada disini, kalau kamu tak mau di sentuh? Ini tempat para wanita penghibur, kau tahu?!" "Aku tahu Tuan, aku juga tahu aku salah, tapi aku terpaksa, di kota ini, aku tak tahu harus kemana dan kepada siapa. Aku sendiri, di bawa sama Mbak Hesti, dari kampung. Awalnya mbak Hesti bilang dan pamit ke ibu aku, mau di ajak kerja di pabrik. Tapi ternyata..." ucap Alin. Tubuhnya kini mulai luruh ke lantai. "Sebenarnya Alin ingin sekolah Tuan, ingin melanjutkan ke jenjang kuliah, ingin mengejar cita-cita Alin, tapi keterbatasan ekonomi keluarga kami, yang memaksa Alin untuk meredam ambisi Alin, sampai Alin punya uang sendiri, untuk melanjutkan kuliah." ucap Alin. ia sedikit bisa bernafas lega setelah melihat pria di depannya itu mulai mengenakan kembali pakaiannya. Suasana juga sedikit mencair, hingga Alin tanpa sadar yang sedari tadi menyebut dirinya dengan sebutan saya, kini menjadi aku. "Kau dari kampung?" "Iya tuan. kampung Sukosepi daerah Jawa Tengah." jawab Alin. "Hm," Pria itu kemudian keluar dari ruangan tanpa sepatah kata apapun, membuat Alin semakin bernafas lega. Kini tubuhnya masih tertutup selimut, walaupun sudah bisa sedikit bernafas lega, perasaannya masih campur aduk. Pikirnya, kali ini mungkin bisa saja dia lolos, ia bertemu dengan pria baik, walau sikapnya dingin. Tapi nanti? Besok? Atau lusa? Ia tak bisa menjamin. Bisa saja kan, ia bertemu dengang pria yang lebih brutal lagi! Alin duduk meringkuk di tepi ranjang sembari memeluk lutut dan menggigit bibir bawahnya. Hawa dingin terus menusuk tulang seiring terus berjalannya waktu yang semakin malam. Di luar ruangan itu, Lampu remang-remang merah menyala di atas panggung kecil, menyorot para wanita berpakaian minim yang menari dengan gerakan menggoda. Aroma parfum dan keringat bercampur dengan asap rokok yang mengepul di udara, menciptakan suasana sensual yang sedikit vulgar. Suara musik berdebar kencang, bass menghentak kuat, dan melodi menggoda mengundang para pengunjung untuk larut dalam kesenangan duniawi. Di meja-meja yang berjajar rapi, para pria berpakaian rapi menikmati minuman mereka sambil memperhatikan para wanita yang menari. Beberapa dari mereka sedang dalam percakapan serius dengan wanita-wanita yang duduk di samping mereka, tangan mereka saling bersentuhan dengan penuh makna. Di sudut ruangan, seorang pria berjas sedang berbisik kepada seorang wanita berambut pirang, tawarannya tersirat dalam tatapan mata yang menggoda. Di meja lain, sekelompok pria sedang tertawa keras, minuman mereka tertumpah di atas meja, dan suasana semakin panas. Di bar ini, uang berbicara lebih keras daripada kata-kata. Para wanita penghibur menjadi komoditas yang diperjualbelikan, dan para pengunjung datang untuk menikmati layanan mereka. Di sini, batas antara kesenangan dan dosa menjadi kabur, dan setiap orang memiliki tujuannya masing-masing. Di sudut ruangan, sebuah pintu kayu gelap tersembunyi di balik tirai beludru merah. Pintu itu mengarah ke lorong sempit yang berujung pada beberapa kamar kecil, tempat di mana kesenangan sesaat dapat dibeli dengan harga mahal. Di dalam kamar-kamar itu, para wanita penghibur menunggu dengan sabar, siap melayani keinginan para pengunjung. Berbeda dengan Alin kini, ia berada di ruangan itu, tapi ia berharap tak ada satupun yang mengunjungi kamarnya. Ia duduk dengan tegang sembari memperhatikan pintu kamar bercat putih itu, sambil sesekali mengusap air mata yang sedari tadi tak mau berhenti. Batinnya tersiksa, ia tak tahu harus apa dan bagaimana, sementara menyebut nama Tuhannya saja dia malu. Jam berputar sangat lambat, beberapa kali ia menengok mesin waktu itu, ternyata Jarumnya belum berpindah, tiba-tiba terdengar suara derap langkah kaki yang menuju ke kamarnya. Ia kembali menegang, takut dan juga khawatir, perasaannya itu juga semakin kuat ketika suara langkah kaki itu semakin dekat. Ia terus memperhatikan pintu, hingga detik itu juga, nafasnya seolah berhenti kala hendle pintu di tarik. "Aaah... Mbak Hesti, syukurlah, aku pikir siapa. Mbak Hesti, tolong mbak... Bawa pergi aku dari sini, aku nggak mau disini mbak, tolong... Atau biarkan saja aku pulang ya mbak ya," rengek Alin pada wanita yang biasa di panggil Mami oleh wanita wanita lain yang ada di tempat itu. "Nih!" ucap Hesti sembari melempar tas buluk yang dibawa Alin dari kampung saat pertama ketempat terkutuk itu. "Mbak, i i ini apa maksudnya, mbak? Jadi aku boleh pulang mbak?" tanya Alin dengan mata berbinar. "Siapa bilang boleh pulang? Laki-laki yang tadi sudah membelimu seharga 2 M, Alin. Jadi sana, dia sudah menunggumu di luar!" ucap Hesti. Alin tampak bergeming, ia pikir pria tadi langsung pergi tanpa memperdulikannya. "Buruan, Al. Dia itu boss besar, tak punya banyak waktu buat nungguin kamu doang!" "I iya mbak," ucap Alin. Akhirnya ia sedikit lega, bisa keluar dari tempat ini. Walaupun pada akhirnya dia harus menikah dengan pria dingin yang baru di temui tadi. Setidaknya, ia tidak harus melayani belasan bahkan puluhan pria pria lainnya di sini dan memupuk dosa makin banyak. Ia juga tidak tahu, keputusannya itu sudah tepat atau belum, tapi setidaknya... "Buruan, Al! Kenapa malah bengong sih!. Oh ya Al, kamu pakai pelet apa sih, ah tapi ya sudahlah. Tak apa yang penting aku dapat duit banyaaaak malam ini, makasih Al, soal orang tuamu, biar aku yang urus nanti." "Jangan mbak, jangan. Jangan kasih tahu mereka. Nanti lain waktu biar Alin aja yang cerita." *** Mobil mewah berwarna hitam pekat itu menonjol di antara deretan mobil biasa yang terparkir di depan bar. Cahaya remang-remang neon memantul pada bodi mobil yang berkilauan, menciptakan bayangan misterius. Di dalam mobil, seorang pria dengan wajah tampan dan tatapan dingin duduk dengan tenang. Rambutnya yang rapi dan jas hitamnya yang mahal menunjukkan aura kekuasaan dan keanggunan. Di samping mobilnya, seorang pria berbadan tegap dengan setelan hitam berdiri tegak, tangannya memegang pintu mobil dengan penuh kewaspadaan. Dan di luar mobil itu juga, beberapa pria berpakaian hitam lainnya berdiri tegak, membentuk lingkaran protektif di sekitar mobil. Tatapan mereka tajam, siap menghadapi segala ancaman yang mungkin muncul. Mereka adalah para pengawal pribadi pria itu, siap melindungi majikan mereka dengan nyawa mereka. Beberapa saat kemudian, pintu bar terbuka, dan seorang wanita dengan gaun purple muncul. Rambut hitamnya tergerai indah khas gadis desa, dan matanya yang kalem memancarkan aura positif. Tatapannya tampak mencari-cari sesuatu di antara kerumunan orang yang keluar dari bar. Sesekali ia juga tampak mengulurkan rok mininya, agar menutupi p*ha putihnya itu. Kemudian Seorang pengawal mendekat, membukakan pintu mobil dengan hormat. Wanita itu masuk, dan pintu mobil tertutup dengan pelan. "Terimakasih Tuan, Anda sudah menyelamatkan saya dari tempat kemaksiatan ini," "Nama Saya Rizan!" "Baik Tuan, eh Pak Rizan." "Nih!" ucap Pria yang baru di ketahui bernama Rizan itu sembari menyerahkan sebuah map coklat yang didalamnya berisi selembar kertas, bertanda tangan di atas materai. "I I ini apa?" "Surat perjanjian kawin kontrak!" "Hah? Ka ka win kontak?" "Ya, bukankah itu yang kau mau?"***Jam menunjukkan pukul 14.30. Sinar matahari sore menyelinap melalui celah-celah gedung pencakar langit, menyorot debu-debu yang melayang di udara kantor PT Maple Atmajaya. Suasana kantor yang biasanya ramai dengan deru mesin ketik dan obrolan ringan, kini terasa lebih tenang. Sebagian besar karyawan telah pulang, meninggalkan suasana hening yang hanya diiringi oleh detak jarum jam dan suara keyboard yang sesekali ditekan. Di ruangannya, Rizan duduk tegak di kursinya. Tatapannya terpaku pada layar laptop, jari-jari lentiknya bergerak cepat mengetik. Alisnya sedikit mengerut, seakan sedang bergulat dengan masalah rumit. Secangkir kopi hangat yang baru saja dibuat oleh Pak Budi, OB kantor, menghiasi mejanya. Sesekali, Rizan menyeruput kopinya, menikmati kehangatannya sebagai teman setia dalam menyelesaikan pekerjaannya. Aroma kopi robusta yang kuat bercampur dengan aroma kertas dan tinta memenuhi ruangan itu. Di luar jendela, lalu lintas kota mulai padat. Suara klakson mob
"Di jidatmu!!! Ya jelas lah di situ! Kamu sekolah kan? Bisa baca kan? Di situ sudah jelas, letak dimana kamu tanda tangan!" ucap Rizan lagi.Alin segera mengusap air matanya dengan kasar, lalu segera membubuhkan tanda tangan di atas materai itu."Bagus. Kalau gitu kita akan menikah besok!""Hah? Besok?""Kenapa? Kamu mau balik ke dalam sana lagi?""Tapi Pak... Ayah ibuku... Belum tahu,""Gampang!""Jalan!""Baik tuan!"Mobil hitam itu melaju mulus di jalan raya. Di dalamnya, Rizan dan Alin duduk berdampingan di kursi belakang, dipisahkan oleh rasa canggung.Lampu-lampu kota berkelap-kelip di luar jendela, membentuk labirin cahaya yang membingungkan.Di dalam mobil, Rizan dan Alin terkurung dalam keheningan malam. Kegelapan di luar seakan merefleksikan kegelapan yang melingkupi hati mereka. Hanya cahaya redup dari lampu dalam mobil yang menerangi wajah mereka yang tampak lelah dan tegang. Suara mesin mobil dan deru ban di aspal menjadi satu-satunya penanda perjalanan mereka menuju rum
"Buk... Ibuk... Assalamu'alaikum!!!" Gadis cantik berambut lurus tergerai itu berlari dengan girang mendekati ibunya yang tengah memasak. Ia baru pulang sekolah, meski jam menunjukkan masih pukul sepuluh pagi."Loh, kok sudah pulang, Al? Baru jam sepuluh kan?" tanya Bu Hanum sembari mengulurkan tangannya. Alin pun segera menyambut dan mencium punggung tangannya dengan takdzim. "Iya, Bu. Kan sudah tidak ada pelajaran. Oh ya bu, coba lihat!!! Nilai Alin sudah keluar bu!!!" ucap Alin lagi dengan mata berbinar."Wah... Alhamdulillah... Anak ibu pintar sekali," ucap Bu Hanum kagum. "Bagus? Untuk apaaaa punya nilai bagus, kalau nggak bisa buat nyari duit!" Ayah Alin, Pak Rustam baru saja masuk ke dapur dan menimbrung dengan kalimat menohok, membuat suasana yang semula riang menjadi hening. Seketika Alin pun terdiam."Kopi, buk!" ucap Pak Rustam sembari meletakkan gelas kopinya dengan kasar.Bu Hanum meraih gelas itu, sambil berbicara, "Siapa bilang nilai bagus tidak ada gunanya. Nilai ba
"A a ampun Tuan... Jangan, jangan sentuh Alin, Alin mohon..." Wanita berpakaian mini berwarna purple itu berjalan mundur seirama dengan pria berbadan kekar yang melangkah di depannya dengan tatapan penuh nafsu. Pria itu sama sekali tidak menggubris Alin yang tampak ketakutan. Ia terus mendekat, bahkan kini wajahnya dengan wajah Alin hanya berjarak lima centi meter saja. hembusan nafas hangat, memburu dari pria itu juga sangat terasa jelas di wajah Alin. Alin tak berhenti memohon walau terus di abaikan. Tubuhnya tampak menegang dan panas dingin terasa menjalar keseluh tubuhnya, tangan mungilnya itu juga tampak mencengkram sisi kanan kiri rok mini yang ia pakai itu. Tubuhnya yang mungil tak mampu untuk melawan pria didepannya, sekalipun melawan, ia sangat yakin jika ia akan kalah, tubuhnya tak ada apa-apanya di banding dengan tubuh kekar itu. 'Bruk!'Pria itu kemudian mendorong Alin ke kasur, lalu ia membuka kancing kemejanya dengan kasar serta menarik ikat pinggangnya. Sementara A







