Home / Mafia / Menikahi Gadis Malam / Makan malam pertama

Share

Makan malam pertama

Author: Aisyah Ahmad
last update Last Updated: 2025-11-24 13:16:01

Alin tak sadar betapa lama ia memperhatikan Rizan dari balik kaca. Pemandangan itu seperti memaku langkahnya. Ia baru tersadar ketika salah satu pria hitam menoleh ke atas… tepat ke arah jendela kamar.

Alin refleks menutup tirai separuh. Tapi sayangnya, gerakannya terlambat.

Rizan juga ikut menengadah.

Mata mereka bertemu.

Degup jantung Alin langsung melonjak tidak karuan. Nafasnya tercekat. Ia merasa seperti tertangkap basah melakukan hal yang tidak boleh.

Sorot mata Rizan berbeda dari biasanya.

tatapanannya tajam. gelap. Dan membuat Alin merasa seluruh tubuhnya membeku.

Seolah mata itu sedang berkata, “Kamu melihat lebih dari yang seharusnya, Alin.”

Alin buru-buruk menarik tirai sepenuhnya dan mundur beberapa langkah. Punggungnya menempel pada dinding. Ia menekan dadanya yang naik-turun cepat.

“Astaga… Siapa mereka? Kenapa rasanya seperti menyeramkan sekali. Apa jangan-jangan... mereka sebenarnya adalah sekomplotan orang-orang kahat, yang terlibat jejaring sosial dan sindikat perdagangan manusian. Dan aku... adalah target mereka sekarang. Hah... sumpah, jangan sampai ini terjadi. Atau...” bisiknya panik. Isi kepalanya terlalu berisik sehingga ia tak bisa berpikir jernih.

Ia mencoba menenangkan diri, tapi suara langkah kaki mendekat dari luar kamarnya membuat napasnya makin kacau. Semakin dekat. Semakin jelas. Pasti Rizan.

Kenapa dia naik? Apa yang akan dia lakukan?

Gagang pintu berputar.

Alin tersentak, memejamkan mata sesaat.

Pintu terbuka… perlahan.

Rizan muncul di ambang pintu. Masih memakai aura gelap yang barusan Alin lihat di bawah. Tanpa senyum. Tanpa candaan.

Hanya tatapan yang menusuk.

“Apa yang kamu lihat?” suaranya rendah. terlalu rendah dan itu justru membuat bulu kuduk Alin meremang.

Alin menggeleng cepat, mencoba bersuara tapi tenggorokannya terasa terkunci.

“A-aku… cuma lihat keluar. Udara segar…” jawabnya putus-putus.

Rizan melangkah masuk. Satu langkah saja sudah cukup membuat ruangan terasa menyempit. Aura berbahayanya seperti mengalir deras, mengintimidasi siapa pun yang ada di dekatnya.

Ia berhenti tepat di depan Alin.

Jarak yang terlalu dekat.

Matanya menelusuri wajah Alin seolah mencari kebohongan, lalu ia berkata pelan tapi tegas,

“Mulai malam ini, jangan pernah mengintip lagi. Mengerti?”

Alin menelan ludah, mengangguk cepat.

"T-tapi Mereka siapa ? Dan... a-apa yang kalian lakukan ?" Alin memberanikan diri bertanya. Tapi sorot mata Rizan itu malah semakin tajam menatap ke arah Alin.

Rizan menatapnya beberapa detik lama, sebelum akhirnya berbalik, kembali ke pintu. Namun sebelum melangkah keluar, ia menoleh sedikit, memberi peringatan yang terdengar jauh lebih dingin

“Beberapa hal… tidak aman untuk kamu ketahui.”

Klik.

Pintu tertutup lagi.

Meninggalkan Alin yang masih terpaku antara ketakutan… dan rasa penasaran yang makin menggila.

Alin langsung ambruk duduk di tepi ranjang. Tangannya memegang dada yang masih berdebar tak karuan.

“Apa yang barusan terjadi…?” bisiknya pada diri sendiri.

Ia bangkit. Berjalan mondar-mandir. Gelisah. Napasnya masih belum stabil sepenuhnya.

Bayangan pria-pria berbadan kekar tadi… tatapan dingin Rizan… ancaman samar… semuanya menumpuk jadi satu. Ketakutan itu perlahan berubah menjadi kecurigaan.

"Kalau benar Rizan terlibat perdagangan manusia atau sindikat kriminal… pasti ada jejaknya."

Ia menelan ludah, lalu buru-buru meraih tas kecilnya. Tangannya gemetar saat membongkar isinya. Dompet kecil, tisu, charger yang sudah mengelupas… hingga akhirnya ia menemukan ponsel bututnya, yang bahkan layar depannya retak di tiga sisi.

“Hah… ketemu juga.”

Dengan jari yang bergetar, ia membuka kunci layarnya. Lalu masuk ke aplikasi pencarian.

Nama Rizan ia ketik dengan terburu-burú.

R i s a n

“Hah salah…” gumamnya, panik.

R i z a n

Salah tekan lagi.

Ia mencobanya untuk ketiga kali. Baru saat ejaan tepat Rizan, ibu jarinya hendak menekan tombol search.

Tok! Tok!

Ketukan itu memecahkan konsentrasinya.

“Astaga!” Alin refleks hampir menjatuhkan ponselnya. Dengan sigap ia menyelipkan ponsel itu di balik bantal. Menarik napas dalam, mencoba terlihat normal.

Ia membuka pintu.

Seorang pelayan wanita berdiri sopan di depan kamar. Senyumnya ramah, tapi sorot matanya terasa… waspada?

“Maaf mengganggu, Nona,” ujarnya pelan. “Tuan Rizan meminta Anda turun. Waktu makan malam sudah tiba. Beliau telah menunggu di meja makan.”

Alin menelan ludah, tersenyum kikuk. “Ah… iya. Terima kasih. Aku… segera ke sana.”

Pelayan itu membungkuk sedikit, lalu mundur memberi jalan.

Alin menghela napas panjang. Satu momen ia ragu. ingin mengunci pintu dan pura-pura tidur.

Namun ia tahu itu pilihan terburuk.

Jangan sampai dia curiga.

Dengan langkah yang masih ragu-ragu, Alin mengikuti sang pelayan menyusuri koridor panjang. Menuju meja makan.

Pelayan berhenti di ambang ruang makan yang luas. Lampu Led terang bergaris lurus di atas meja makan panjang dengan berbagai hidangan mewah tersusun rapi. steak panggang yang masih mengepulkan aroma, sup dalam mangkuk porselen, salad segar, hingga gelas kristal yang berkilau.

“Silakan duduk, Nona Alin,” ujar pelayan itu sopan.

Alin duduk perlahan. Kakinya terasa lemas. Tatapannya menyapu seluruh makanan di depannya.

Bukan takjub.

Bukan kagum.

Yang ada hanya kecurigaan yang menyesakkan dada.

Apakah semua makanan ini aman?

Apa dia tidak menaruh sesuatu? Obat? Racun?

Pikirannya berisik. Terlalu berisik.

Tiba-tiba, suara Rizan memotong keheningan.

“Makanan ini tidak beracun. Makanlah.”

Alin sontak terbelalak.

Apa dia… mendengar isi kepalaku?

Rizan menatapnya tajam, ekspresinya datar dan sulit dibaca.

“Makan. Jangan sampai ibumu mengira aku tidak memberimu makan.”

Tidak ada ruang untuk menolak. Ancaman samar itu cukup membuat Alin menunduk dan meraih peralatan makan.

Dengan tangan sedikit gemetar, ia mengambil suapan pertama.

Pelan. Hati-hati.

Gurih dan hangat menyentuh lidahnya. Seketika rasa takut itu hilang.

Alin baru saja menelan suapan pertama ketika pintu ruang makan terbuka dengan cukup keras.

Seorang pelayan wanita masuk terburu–buru, wajahnya pucat.

“M–maaf, Tuan… saya tidak bisa mencegahnya…”

Belum sempat Alin memahami maksudnya, dua sosok perempuan sudah melenggang masuk dari balik punggung pelayan.

Yang pertama, seorang wanita paruh baya berpenampilan glamor. Perhiasan mencolok menggantung di leher dan pergelangannya. Tatapannya tajam seperti pisau.

Valerian.

Istri Faruq. Kakak dari ibunda Rizan.

Di sisi kanannya, berdiri seorang perempuan muda. Rupawan. Kulit terawat, tubuh semampai, rambut hitam tergerai indah. Pakaian mahal membalut tubuhnya, dan parfum beraroma tajam mengikuti setiap langkahnya.

Raisa.

Keduanya berhenti di dekat meja makan tanpa izin.

“Oh wow…” Valerian mengangkat alis tinggi. Bibirnya melengkung sinis.

“Ternyata... ada makan malam romantis disini?” lanjutnya dengan nada mengejek.

Tatapannya turun ke arah Alin. Menilai. Menghakimi.

Tatapan yang membuat Alin merasa seperti sampah.

“Jadi ini dia?”

Nada suaranya semakin pedas.

“Gadis kampungan yang kamu sembunyikan di rumah ini, Zan?”

"Sampai-sampai... pelayan-pelayan bodohmu itu menghalangi kami untuk masuk"

"Ah... atau jangan-jangan kalian..."

Alin menunduk spontan. Dadanya mengencang.

Raisa menatap Alin dari ujung kepala hingga kaki. Lalu tertawa pelan.

“So low-class banget,” komentarnya enteng. “Padahal ada aku di sini… jauh lebih cocok untuk Rizan. Lebih cantik, modis, dan jelas… berkelas.”

Alin merasa wajahnya panas. Bukan karena marah. Tapi karena malu.

Kata–kata mereka menusuk tanpa ampun.

Pelayan hanya bisa menunduk. Tak berdaya.

Rizan sejak tadi diam. Tapi tatapannya menggelap, rahangnya mengeras.

Klik.

Ia meletakkan garpu dan pisaunya perlahan.

namun suara logam menyentuh piring terdengar bagai ancaman.

Lalu ia berdiri.

Tinggi. Tegas. Mengintimidasi.

Dan dengan suara dalam yang dingin membekukan udara di ruangan,

“Saya rasa Tante…

tidak lupa etika bertamu keluarga Atmajaya.”

Hening.

Seisi ruangan seolah menahan napas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Gadis Malam   akad yang tertunda

    "Anda mau kemana ? " tanya seorang pria berpakain hitam dan nerbadan tegap, membuat Bu Hanum dan Pak Rustam terperanjat."Eum... saya mau caei Alin." kawab Bu Hanum singkat."Acara akan segera dimulai. Tuan Rizan meminta kepada saya untuk membawa anda kelokasi sekarang.""Hah ? T-tapi...""Sudahlah, Bu. Ayo," Ucap pak Rustam. Akhirnya Bu Hanum pun nurut.Ballroom itu tidak terlalu ramai, tapi jelas mewah.Dekorasinya didominasi warna putih kabut dan abu lembut, dengan sentuhan denim gelap di beberapa sudut ruangan. Kesannya modern, rapi, tapi tetap punya aura dingin yang elegan. Lampu-lampu putih kebiruan dipasang redup, membuat ruangan terasa tenang dan tidak menyilaukan. Tidak ada bunga berlebihan.Hanya jajaran anggrek putih, hydrangea biru gelap, dan beberapa rangkaian mawar abu keperakan di sepanjang lorong utama. Aromanya lembut, mahal, dan tidak menusuk hidung. Musik violin mengalun pelan, seperti soundtrack film classy. Para tamu. sekitar lima puluh orang saja, berdiri rapi

  • Menikahi Gadis Malam   Persiapan pernikahan

    Pagi merayap masuk perlahan, menembus tirai tipis berwarna gading. Cahaya keemasan itu jatuh di pipi Alin, membuatnya meringis kecil sebelum akhirnya membuka mata. Pandangannya masih buram, tapi detik berikutnya tubuhnya menegang. Ini… bukan kamarnya tadi malam. Alin terduduk cepat. Rambutnya berantakan, napasnya terengah karena panik yang tiba-tiba menghantam. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, memastikan inderanya tidak berkhianat. Kamar itu… terlalu luas. Terlalu bersih. Terlalu mewah. Dinding krem dengan ukiran elegan, karpet tebal yang tampak baru, dan aroma bunga segar yang memenuhi udara. semua mengisyaratkan satu hal, Hotel berbintang lima. Ia buru-buru menyingkap selimut tebalnya. Matanya membesar sesaat, lalu bahunya mengendur lega. Baju yang ia kenakan masih utuh. Tidak ada yang tersentuh. Tidak ada yang berubah. Syukurlah… Namun rasa lega itu hanya bertahan sekejap. Ketika menoleh ke kiri, ia melihat rangkaian dekorasi lembut di atas meja rias. mawar putih, pita

  • Menikahi Gadis Malam   Hentikan ingin tahumu

    “Mas, kamu tahu… besok Rizan mau menikah!!!” Faruq mengernyit sekilas, kemudian duduk santai di sofa, menyilangkan kaki seolah berita itu bukan apa-apa.“Oh… ya bagus dong. Semakin cepat dia menikahi Raisa, semakin gampang kita kuasai Atmajaya Group. Tanpa perlu kita kotori tangan kita ini.” Valerian mendesis, “Aduuuh mas! Masalahnya Rizan menikahnya bukan sama Raisa, Mas!” Faruq spontan bangkit.“Apa?! Terus sama siapa? Anak siapa? Dari perusahaan mana?” Valerian mengusap wajahnya frustasi.“Ck! Sama wanita kampung, Mas. Yang dia bawa dari klub malam!” Rahang Faruq terhenti di tengah gerak. Ia perlahan menatap istrinya, tatapan yang turun beberapa derajat lebih dingin dari sebelumnya.“Katakan sekali lagi.” suaranya rendah, terkontrol, tapi bahaya bergetar halus di baliknya. Valerian mengangkat dagu, menahan geram.“Wanita. Kampung. Dari klub malam. Yang entah dapat keberanian dari mana sampai bisa dibawa masuk ke lingkaran Atmajaya.” Kini ruangan modern itu terasa seperti men

  • Menikahi Gadis Malam   Mama Rizan yang asli

    “Ini Mama.”Alin membeku.'Mama?Jadi… ini tujuan Rizan kerumah sakit?'“Mama sudah tiga bulan tidak sadar,” lanjut Rizan, masih menatap ibunya.“Sejak... kecelakaan”Ada jeda.Rahangnya mengeras menahan sesuatu yang tidak ia izinkan keluar.Alin perlahan mendekat.Ia menatap wanita itu dengan hati-hati, takut, tapi juga iba.“Cantik sekali, Mas… Mamanya Mas Rizan. Pasti... Beliau orang yang baik ya, seperti parasnya.” ucap Alin pelan.Rizan menutup mata sejenak.Kalimat sederhana itu, jujur. lembut, tanpa dibuat-buat. entah bagaimana menenangkan hatinya.“Aku bawa kamu ke sini karena…”Ia berhenti sejenak, menelan salivanya.“…karena aku ingin Mama melihat siapa yang akan menikah denganku.”Jantung Alin berdetak keras.Ia terpaku.Rizan melanjutkan, suaranya lebih lembut dari biasanya tetapi tetap dingin di ujungnya. seperti ia takut terlihat lemah.“Entah dia sadar atau tidak… entah dia dengar atau tidak…”Ia menatap wajah ibunya yang tenang.“…Mama berhak tahu.”Alin menunduk horma

  • Menikahi Gadis Malam   Siapa dia...

    Mobil melaju melewati jalanan Jakarta malam hari. Lampu-lampu gedung tinggi memantul di kaca, sementara Alin hanya memandangi kota yang asing itu dengan rasa penasarannya yang makin besar. Rizan menyetir tanpa suara, hanya sesekali melirik ke kaca spion untuk memastikan Alin.Lima belas menit kemudian, mobil berhenti di sebuah bangunan besar dengan tulisan International Medical Center yang terpampang elegan, hangat, dan sangat… mahal.Alin terpaku menatap gedung itu.Begitu mobil parkir, Rizan mematikan mesin. Suasana jadi hening. Terlalu hening.Alin menelan ludah, lalu perlahan memutar tubuhnya ke arah Rizan.“R-rumah sakit?” suaranya naik satu oktaf. “Siapa yang sakit?”Rizan tidak menjawab.Alin langsung panik setengah mati.“Eum... apa Mas Rizan yang sakit?”Ia mendekat, wajahnya serius. serius polos.“Apa yang sakit? Tenggorokan? Dada? Atau jantung? Mas pucat gak? Mas pusing? Mas...”Rizan menoleh cepat.Tatapannya tajam…Tapi mulutnya nyaris tersenyum.Nyaris.Entah kenapa, mel

  • Menikahi Gadis Malam   Tidak ada Penolakan

    "Bisa pelankan suara Tante ?!" Valerian menghela nafas, lalu kembali duduk di posisinya."Tante dengar, besok kamu akan menikah ? Katakan kalau kabar ini tidak benar, Rizan." tanya Valerian "Sayangnya... kabar itu benar Tante." "HAH ? Jadi benar ? kenapa bisa tante tidak tahu soal ini, Rizan ? Tante ini pengganti Mamamu loh. Mamamu sudah menitipkanmu pada tante. Jadi apapun soal kamu, harisnya kamu libatin tante.""Tante, bukankah beberapa minggu ini, tante sibuk juga dengan pengobatan Om Faruq?" "Oke. Dan... sama siapa kamu mau menikah ? Dari keluarga Mana dia ? Jangan bilang..." "Ya, sama perempuan yang bersamaku di meja makan tadi, Tante Val," "What the hell?!"“Kamu mau menghancurkan reputasi keluarga ini, Rizan ?”Suaranya pelan, tapi penuh ancaman.“Katakan padaku, Rizan… siapa yang mencuci otakmu hingga kau membuat keputusan sebodoh itu?”Keheningan tiba-tiba menyergap ruang keluarga megah itu. Aroma parfum mahal bercampur pahitnya konflik yang menggelayut di udara. Rizan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status