BAB XVIII

Aku tak tahu harus berkata apa.

Seolah ada sesuatu yang menghantamku tiba-tiba.

Kata-katanya menggema di kepala.

Sadar.

Sejak koma.

Aku mengatupkan bibirku, mencoba bernapas normal.

Tidak berhasil.

Kugigit lidahku– katanya hal ini ampuh untuk menahan tangis.

Tidak berhasil juga.

Air mataku jatuh.

Kurasakan jemariku dingin.

Dan akhirnya, aku mengangkat wajahku… menatapnya.

“Kuulangi pertanyaanku, Tama.”

Suaraku terdengar aneh di telingaku sendiri—pelan, tapi tajam.

“Kau… hanya berpura-pura koma?”

Tama tidak menjawab langsung.

Ia hanya menatapku, lama, seolah memilih kata-katanya satu per satu.

"Aku tidak sepenuhnya koma. Aku bisa mendengar dan merasakan. Tapi, aku tak bisa bergerak.”

Jantungku rasanya berhenti sesaat.

Aku menelan ludah.

“Sebanyak apa yang kau tahu?” tanyaku pelan, suaraku hampir bergetar.

“Setiap kali kau berbicara, aku mendengarnya. Setiap kau menangis, aku merasakannya."

Aku… aku tidak menyangka sejauh itu ia sadar.

Rasanya seperti dihantam oleh semua momen yang dul