Bab 5 : Ko-Eksistensi yang Penuh Ketegangan

Clara berdiri di ambang kamar barunya. Kamar di lantai dua apartemen Alex itu terasa besar, mewah, dan dingin—sebuah definisi dari kemandirian Alex. Koper hitam Alex yang ia lihat di lantai bawah sudah lenyap, menunjukkan pria itu sudah menempati wilayahnya, jauh dari jangkauan Clara.

Alex benar-benar serius. Di pintu kamar Clara, tertempel stiker perak kusam: Zona Pribadi. Dilarang Masuk Tanpa Izin. Sebuah garis tebal, klinis, ditarik: Clara hanyalah penyewa, bukan pasangan.

Pagi pertama kehidupan "pasangan" kontrak itu dimulai dengan benturan dominasi. Alex turun tepat pukul 06:30 untuk ritual kopinya. Saat Clara turun pukul 07:00, dapur sudah steril secara klinis. Tidak ada remah, tidak ada tetesan air. Alex telah membersihkan jejaknya, meninggalkan Clara tanpa kesempatan untuk berinteraksi secara alami.

Clara, yang lapar, membuka kulkas. Kosong, kecuali air mineral mahal. Ia menoleh ke arah Alex yang duduk di meja, fokus pada laporan keuangan. "Tidak ada bahan makanan untuk penghuni lantai dua, Tuan Alex?" tanyanya, sengaja menyuntikkan sarkasme.

Alex bahkan tidak mendongak, matanya menempel pada deretan angka. "Saya punya juru masak yang datang pukul 18:00. Sebelum itu, Anda bertanggung jawab atas makanan Anda sendiri. Dan jangan pernah sentuh mug biru ini."

Clara melihat mug keramik biru polos di samping Alex. Benda itu, satu-satunya yang personal, adalah simbol yang tidak boleh ia sentuh. Dia pikir dia bisa mengontrol segalanya, batin Clara.

Ia mengambil mug polos, membuat teh celup murahan. Kemudian, dengan tindakan pemberontakan kecil, ia meninggalkan mug bekasnya yang belum dicuci tepat di sebelah mug biru sakral milik Alex.

Saat Alex mendongak dan melihat mug kotor itu, matanya menyipit perlahan. Ini bukan kemarahan yang panas, melainkan kejengkelan yang terukur dan dingin. Alex berdiri, mengambil mug Clara, dan bukannya mencucinya, ia meletakkannya kembali—di atas laporan keuangan Clara tentang Arta Group yang tergeletak di meja. Setetes air teh membasahi kertas itu.

“Dapur ini adalah ruang bersama, Nona Clara. Tapi Anda harus ingat, prioritas Anda ada di perusahaan Anda,” katanya dengan suara rendah. “Jangan membebani saya dengan hal-hal remeh yang dapat mengalihkan fokus dari tanggung jawab utama Anda.”

Itu adalah hukuman Alex: bukan emosi, melainkan hukuman bisnis dan penegasan kekuasaan mutlak.

Ketegangan terus berlanjut sepanjang minggu. Clara mulai menguji Alex dengan menyetel musik jazz sedikit lebih keras, meninggalkan majalah di ruang tamu. Alex merespons dengan rasa dingin yang dipertebal. Ia mulai menunda respons terhadap masalah Arta Group, memaksa Clara untuk tunduk melalui cara yang paling ia takuti: ancaman finansial terhadap warisan ayahnya.

Suatu malam, dalam perjalanan pulang dari acara formal, Clara ambruk karena lelah. Kepalanya tanpa sengaja bersandar di bahu Alex.

Alex segera menegang. Clara bisa merasakan otot di bahunya mengeras, seolah memikul beban yang tak terlihat. Sentuhan fisik itu terasa seperti sengatan listrik terlarang baginya. Ia menahan diri, kaku di samping Clara, hanya karena ada sopir. Sentuhan itu, meskipun tidak disengaja, menciptakan ketegangan yang lebih intens daripada semua argumen mereka.

Ketika mereka tiba di apartemen, Clara terbangun. Alex terlihat kaku dan tidak nyaman. "Maaf, Tuan Alex," bisik Clara.

“Ingat klausul Perjanjian Hubungan Fisik, Clara,” desis Alex. “Saya tidak akan mengulanginya.” Alex berjalan lurus ke kamarnya tanpa menoleh. Clara ditinggalkan di ruang tamu, merasakan rasa malu dan penolakan dari jarak fisik yang seharusnya mereka pertahankan.

Pada akhir minggu kedua, ancaman eksternal muncul kembali.

Clara menemukan sebuah paket di depan pintunya: kotak berisi kecoa mati dan kartu bertuliskan tinta merah. Itu adalah ulah Paman Robert dan Tuan Hendra yang semakin putus asa. Clara gemetar, bukan karena ketakutan, melainkan karena amarah murni yang membakar.

Namun, Alex sudah berada di ruang tamu, membaca berita utama di tabletnya: “Tunangan Baru Alex A&A Group Diduga Hanya Wanita Sewaan Untuk Melindungi Reputasi!”

“Anda harus lebih berhati-hati,” kata Alex, nadanya dingin, hanya peduli pada citra. “Saya sudah meminta pengacara menindak tegas media ini. Bukan demi Anda. Tapi demi citra A&A Group.”

Alex bangkit dan berdiri di hadapan Clara, kehadirannya yang tinggi mengintimidasi. Ia melingkarkan lengannya di bahu Clara dengan isyarat posesif yang palsu.

“Fokus, Clara. Permainanmu hampir terungkap,” tegasnya. “Jika kau tidak bisa menjaga dirimu tetap bersih dan profesional, aku tidak akan ragu membiarkan Arta Group bangkrut.”

Clara menelan ludah. Ia hanya bisa mengangguk, menyadari bahwa di mata Alex, ia masih menjadi beban yang harus ia kontrol. Perjuangan untuk mengendalikan takdirnya sendiri baru saja dimulai di bawah atap Alex.