Halo pembaca-pembaca buku ini. Author sangat berterima kasih dan senang sudah menunggu bab terbaru dari buku ini. Author usahakan untuk memberikan bab baru setiap harinya, jadi ditunggu terus buku ini ya~ Akan ada banyak kejutan-kejutan di bab-bab berikutnya yang berbeda tidak pernah terbayangkan akan terjadi di buku ini~:D Jika menyukai buku ini terus berikan like, vote dan comment, ya! Author menghargai semua dukungan yang diberikan untuk buku ini, terima kasih!
“Kamu … tidak bisa lebih hati-hati lagi?” tanya Kaisar pada akhirnya sebelum melepaskan pegangannya dari pinggang Embun. Embun pun tersenyum tak berdaya, agak malu karena kecerobohannya. “Maaf, terburu-buru.” Setelah melepaskan Embun, Kaisar pun meraih botol air yang dia jatuhkan ke lantai untuk kemudian dilap dengan tisu, dibuka segel penutup botolnya, dan diberikan kepada Embun. Hal yang sama dia lakukan pada botol air satu lagi yang akhirnya dia teguk sendiri hingga tersisa setengahnya. “Terima kasih,” ucap Embun sembari meneguk air tersebut. Jujur, jantungnya masih berdebar keras karena kedekatannya dengan Kaisar tadi. Ditambah dengan perlakuan manis memberikan dan membukakan botol air oleh pria tersebut, Embun tak tahan untuk mengulum senyum malu. Ada perasaan aneh di hatinya. Guna menghalau perasaan di hatinya, juga memecah suasana canggung, Embun langsung memulai topik pembicaraan baru. “Kaisar, saya sudah membeli cincin pernikahan seperti yang kamu minta. Tapi, belum sa
“Apa itu penting?” tanya Kaisar dengan wajah tenangnya. Embun terdiam sesaat. Tangannya saling meremas seolah sedang memikirkan sesuatu. “Jika kamu dan Papa memang berasal dari keluarga konglomerat, kurasa akan sulit untuk saya menerimanya,” ucap Embun pelan. Kaisar memusatkan perhatiannya pada Embun. “Kamu tidak senang jika kami berasal dari keluarga seperti itu?” Embun meraih botol air mineralnya di atas meja, diteguknya air itu beberapa kali. Embun memainkan botol air mineral yang ada di genggamannya, setelahnya barulah dia menjawab pertanyaan Kaisar. Embun menghela napas sebelum menjawab, “Kehidupan keluarga konglomerat adalah kehidupan yang tidak kumengerti. Saya sudah menyukai kehidupan sederhana yang tenang ini.” Ada jeda dari ucapan Embun untuk beberapa saat. “Jadi, saya hanya berharap kamu bukan berasal dari keluarga Rahardja yang di pesta tadi.” Embun tersenyum tipis. Kaisar diam menatap Embun, cukup lama hingga Embun tidak bisa membaca pikiran dan ekspresi pria di
Kaisar yang masih setengah sadar terkejut mendengar sebuah teriakan. Sisa kantuknya langsung sirna menyadari ada seorang perempuan yang berdiri di hadapannya tengah berteriak dan memalingkan wajah darinya. Sial! Lelaki itu mengumpat dalam hati ketika melihat dada dan perutnya terekspos tanpa sehelai benang pun yang menempel di sana. Gegas Kaisar berjalan kembali ke kamarnya, dan mengenakan kaos abu-abu berlengan pendek sebelum lelaki itu kembali ke dapur. Kaisar terbiasa hidup sendiri dan jarang mengenakan atasan ketika tidur, kini ia meringis kecil mengingat jika dia telah berstatus menjadi suami, dan ada seorang perempuan muda yang sekarang ikut tinggal bersamanya dengan status sebagai istrinya. Sebenarnya secara hukum, Embun berhak saja melihatnya tanpa pakaian, tetapi Kaisar masih belum terbiasa ada orang lain yang melihatnya dalam keadaan ‘buruk’ seperti tadi. Selesai berpakaian lengkap, Kaisar kembali ke dapur. “Ekhem,” deham Kaisar saat membuka lemari pendingin dan mengambi
Embun menatap Kaisar yang melangkah ke dalam kafe. Sesaat dilihatnya lelaki itu mengamati kafe. Embun menghirup napas dalam, sebelum melepaskannya perlahan. Akan tetapi, tubuhnya terasa tengah dihimpit beban ribuan ton, hingga napasnya terasa sedikit sesak. Embun mengatur napasnya pelan-pelan. Dia tidak boleh panik. Dia harus cepat berpikir agar jangan sampai kakaknya bertemu Kaisar di sini. Rindang mengernyitkan keningnya heran melihat adiknya yang tampak gusar. Penasaran, diikutinya arah pandang Embun. “Wow!” bibir Rindang mengucap tanpa suara. Rindang melihat sesosok laki-laki rupawan bertubuh tegap melangkahkan kaki ke dalam kafe. Pandangannya mengedari seisi ruangan kafe. Ia kira, mungkin saja lelaki itu sedang mencari seseorang. Tubuh Embun rasanya membeku, saat tatapan matanya beradu pandang dengan tatapan Kaisar. Lelaki itu tersenyum sumir. Alih-alih menghampiri istrinya, Kaisar justru mengarahkan kakinya menuju meja kosong di sudut kafe, yang tidak terlalu jauh dari mej
Embun mundur selangkah dan memandang kedua orang di hadapannya yang kini saling berjabat tangan. Dirinya semakin pening. Bagaimana ini? Bagaimana jika Rindang mencerca atau bahkan memaki Kaisar tentang pernikahan mereka yang mendadak? Atau yang lebih parah, bagaimana jika kakaknya itu menanyakan tentang sertifikat rumah pada Kaisar? “Embun, ini suami kamu? Kenapa tidak bilang dari tadi?” Rindang menepuk lengan Embun. Embun menghela napas sebelum menatap keduanya lalu tersenyum tipis. “Kak, ini Kaisar, suamiku. Kaisar, ini Rindang, kakakku.” “Saya Rindang, kakak Embun. Akhirnya aku bisa bertemu dengan adik iparku.” Rindang tersenyum ramah. “Kemarin aku meminta Embun untuk mengenalkanku dengan suaminya. Tapi, Embun bilang kamu sedang dinas ke luar kota,” lanjut Rindang sambil menelisik penampilan adik iparnya ini. Kaisar mengangkat kedua alisnya dan menatap Embun tidak mengerti, namun detik berikutnya dia memahami apa yang terjadi, selanjutnya Kaisar menanggapi ucapan Rindang deng
“Kalau begitu, Kaisar, kapan kalian berencana memiliki anak?” Uhuk! Semua yang ada di meja menoleh pada Embun yang terbatuk-batuk tak berhenti. Kaisar dengan sigap memberikan sebotol air mineral yang telah ia buka tutupnya lebih dulu pada Embun dan menepuk-nepuk punggung Embun. Sudut bibir Rindang terangkat memerhatikan sikap Kaisar pada adiknya. “Kenapa bertanya hal itu sekarang, sih, Kak?” Embun melotot setelah berhasil menguasai dirinya. “Memangnya aku harus bertanya kapan? Lagipula itu pertanyaan wajar yang ditanyakan pada pengantin baru, betul tidak, Kaisar?” “Iya, Kak,” jawab Kaisar dengan senyuman dan anggukan. “Jadi, kapan?” tanya Rindang sekali lagi. “Itu tergantung Embun, Kak. Yang akan hamil dan melahirkan adalah Embun. Jika Embun belum siap, saya juga tidak akan memaksanya.” Jawaban Kaisar lagi-lagi membuat Embun menoleh menatap Kaisar. Tiba-tiba perasaan aneh datang lagi ke dalam hatinya. Namun, detik berikutnya Embun menggeleng pelan. Perasaan ini tidak benar. E
Kaisar menunggu Embun di depan troli. Dia memperhatikan sambil lalu orang-orang di sana sampai matanya menangkap sesosok wanita yang begitu familiar di ingatannya. Kaisar memerhatikan wanita anggun yang sedang melihat-lihat barang di etalase seberang tempatnya berdiri sekarang. Tanpa sadar kakinya melangkah begitu cepat untuk menghampiri wanita itu. Kaisar ingin memastikan jika wanita itu … “Aletta!” Wanita itu menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya. Napas Kaisar menderu. Tubuhnya menegang. Ada perasaan yang tidak bisa Kaisar mengerti di hatinya. Kelegaan namun kebencian di saat yang sama ketika melihat wanita itu kembali dan terdiam di hadapan Kaisar. Kaisar tersenyum tipis yang kemudian berubah menjadi seringai sinis. Dia menatap wanita yang sudah menghilang bertahun-tahun darinya, kini berdiri di hadapannya dan terlihat baik-baik saja. Bagaimana mungkin wanita itu bisa hidup dengan baik, sementara dia harus menanggung rasa yang telah membunuh logikanya selama b
Di tempat lain, Kaisar seolah tersadar dengan apa yang baru saja dilakukannya. Kaisar menghentikan langkah. Dia menatap sebuah tangan halus yang menggenggam tangannya. “Lepaskan tanganmu, Aletta!” desis Kaisar tertahan. “Kaisar ...,” Aletta menatap heran Kaisar. “Kubilang lepaskan tanganmu.” “Apa maksudmu, Kaisar?” Kaisar melepaskan tangan Aletta dari tangannya saat dia melihat wanita itu diam saja menatapnya sayu. Kemudian Kaisar memasukkan kedua tangan di saku celananya dan mengepalkan tangan menahan amarah di dalam sana. “Setelah semua yang kamu lakukan padaku, beraninya kamu menunjukkan wajahmu di hadapanku.” “Aku tidak mengerti,” kata Aletta sambil menggelengkan kepalanya pelan. Ia maju selangkah mendekati Kaisar. “Aku senang bertemu denganmu.” Namun, Kaisar justru melangkah mundur. Dulu, Kaisar sangat memuja Aletta, cinta pertamanya yang membuatnya sangat yakin untuk menjadikan Aletta sebagai satu-satunya ratu dalam hidupnya. Kaisar masih mengingat bagaimana bahagianya