Share

main cantik membalas pelakor

Bab 6.

Terkadang hidup itu memang tidak adil bagi sebagian orang, menurut pemikirannya. Kendatipun demikian tidak ada yang patut untuk di ratapi karena meratapi tidak akan menyelesaikan permasalahan.

Orang tua yang merasakan enaknya, tapi malah anak yang mendapat imbasnya.

Hatiku teriris pilu ketika mengingat nasib anak-anak malang akibat perbuatan orang tuanya, karena hakikatnya tidak ada anak yang ingin dinasabkan kepada ibunya.

“Kurang lebihnya seperti itu.” Jawab pak Ustadz dengan nada tegasnya.

Hatiku seperti tersentil mendengar jawaban dari pak ustad. Jiwa kepo ku kian maronta ingin tahu lebih jauh mengenai anak di luar nikah.

“Jika memang anak diluar nikah dinasabkan kepada ibunya, dan anak itu perempuan, siapa yang akan menjadi wali nikahnya kelak, Pak Ustadz.?” Tanya aku yang sudah seperti wartawan.

Pak ustad tersenyum gentir menatap ke arahku.

“Hanya hakim satu-satunya orang yang berhak menikahkan anak diluar nikah.” jawab Pak ustadz setelah membuang nafas beratnya.

“Jika aku segera menikah dengan mas Alfi, anakku akan lahir sebagai anak mas Alfi. Supaya kelak Mas Alfi bisa menikahkan anaknya.” Serkas Mutia. Kilatan amarah terpancar jelas dari tatapan Mutia yang menatapku dengan nyalang.

Aku sangat yakin jika Mutia akan menempuh 1001 cara untuk bisa memiliki suamiku.

“Bukan anak yang lahir sebelum pernikah. Melainkan anak yang terjadi pembuahan sebelum pernikahan, maka ayah biologis ataupun ayah yang menikah dengan ibunya ketika ibunya sedang mengandung tidak bisa menjadi wali untuk si anak yang berada di dalam kandungan.” Papar Pak ustadz menjelaskan.

Mendengar jawaban dari pak ustad membuat aku menarik sebelah sudut bibirku penuh kemenangan. Aku memang tidak akan pernah melepaskan suami tercintaku untuk ular betina manapun.

“Berarti seorang laki-laki tidak perlu tanggung jawab Pak ustad?” Aku kembali bertanya dengan mata yang berbinar indah.

“Tidak.” Jawab pak Ustadz dengan melirik ke arah Mutia. Aku melihat pak ustad menatap Mutia dengan penuh iba. Aku yakin pasta Pak Ustadz kasihan terhadap apa yang menimpa Mutia, tapi ia juga tidak mungkin membenarkan perbuatan Mutia yang ingin merusak rumah tanggaku.

Aku pun ikut melirik ke Mutia. Akal sehatku tidak bisa mencerna Kenapa ada manusia yang mau menyia-nyiakan hidupnya yang berharga. Rasulullah sudah mengangkat derajat wanita, tapi kenapa ada manusia yang malah menjatuhkan harkat martabat yang susah payah Rasulullah perjuangkan.

“Tdak. Ini tidak mungkin. Pak ustad jangan ngada-ngada.” Mutia seolah tidak terima terhadap penjelasan pak ustad.

“Jika kamu kurang yakin, kamu boleh kok menanyakan kepada ustad yang lain.” Ceplosku.

Mutia memegangi perutnya. “Untung aku belum sempat hamil.” Gumam Mutia. Namun masih bisa ku dengarkan.

Aku bertepuk tangan, “akhirnya kamu mengaku juga, jika sebenarnya kamu itu pembohong.” Sinisku

“Namun, jika seorang laki-laki menghamili anak gadis orang di luar ikatan pernikahan, dan ia tidak mau bertanggung jawab.Maka ingatlah, hukum Allah itu adil.

Jika hari ini ia menyakiti perasaan orang lain maka suatu hari nanti orang lain juga akan menyakiti perasaannya.

Wanita itu adalah Ibu bagi seorang laki-laki, adik perempuan bagi seorang laki-laki, kakak bagi seorang laki-laki, dan juga anak bagi seorang laki-laki.

Jika laki-laki menyakiti satu saja wanita maka iya sama dengan menyakiti ibunya, saudara perempuanya, dan juga anaknya.

Jangan menyalahkan orang lain Jika adiknya, ataupun ibunya, atau anaknya juga akan merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh wanita yang ia sakiti.

Maka alangkah indahnya jika kita saling menghargai dan memahami tanpa menyakiti satu sama lain.” Ceramah Pak Ustadz panjang lebar.

“Tapi aku tidak pernah bohong tentang perasaanku untuk mas Alfi.” Ujar Mutia setelah mendengar pencerahan dari pak ustad.

Aku menggempal tangan geram mendengar kata-kata cinta dari mulut Mutia.

“Ingat besti Mas Alfi itu sudah punya istri.” Pungkasku.

“Laki-laki boleh menikah lebih daripada satu.” Serkas Mutia.

Lidahku seolah kelu untuk menimpali Mutia. Karena pada hakikatnya laki-laki memang boleh menikah lebih daripada satu.

“Laki-laki memang boleh menikah lebih daripada satu asalkan ia mampu bersifat adil dan sanggup bertanggung jawab.” Ucap Pak ustadz menengahi.

“Nah. Dengar itu.” ucap Mutia dengan nada mengejek, ia seolah-olah mendapat pembelaan dari pak ustad.

“Aku nggak tuli aku masih mendengarkan penjelasan pak ustad. Satu hal yang harus kamu ingat, aku tidak sudi suamiku menikah dengan seorang perempuan pembohong kayak kamu. Jika memang Mas Alfi ingin menikah maka aku akan mencarikan calon untuknya.” Aku pun tak ingin kalah dari Mutia. Aku istri sahnya jelas aku harus maju dan jangan sampai si pelakor merasa dirinya menang

“Kau....” Mutia kembali mengangkat tangan ingin menamparku.

“Cukup bu Mutia. Kami sudah bertoleransi kepada anda. Biasanya istri sah yang mendatangi pelakor, tapi ini malah sebaliknya.” ujar Pak RT yang sudah geram terhadap tingkah Mutia.

Pak RT yang seorang laki-laki saja bisa memahami. Namun, Mutia seperti manusia yang tidak memiliki hati.

“Saya tidak akan pergi sebelum mas Alfi menemui saya.” Kekeh Mutia.

“Apa hak kamu meminta suami saya untuk menemuimu?” Sinisku.

“Ada apa ini Pak RT rame-rame? Ada pembagian sembako gratis kah?” Tanya Bu Ijah yang kebetulan lewat. Ia merupakan CCTV di komplek kami.

‘Pasti nanti ini akan menjadi trending topik.’ ucapku dalam hati.

“Engak kok, Buk.” sela Pak Ustadz.

“Buk. Mutia, lebih baik anda pulang!” Seru Pak Ustad kemudian.

“Bukankah saya sudah bilang, Saya tidak akan pulang sebelum bertemu Mas Alfi. Karena beliau yang membawa saya ke mari.” Tegas Mutia.

“Oh, ada saudara Pak Alfi rupanya.” Gumam Bu Ijah, kemudian turun dari motornya.

‘pasti jiwa kepo Bu Ijah telah meronta-ronta.’ Kekehku dalam hati.

“Apa Bu Mutia ingin mengumpulkan semua ibu-ibu di komplek ini?” Serkas Pak RT.

“Dengar ya Mutia, saya sudah cukup sabar terhadap anda. Jika anda tidak bisa pulang secara baik-baik jangan salahkan saya jika saya memanggil seluruh ibu-ibu komplek ini untuk menyeret anda pergi.” Aku menggepal tanganku di bawah sana. Rasanya emosiku telah berada di ubun-ubun. Aku tak ingin Mas Alfi sampai terbangun dan melihat keadaan saat ini, terlebih Aku harus menjemput Aris di sekolah.

“Apa perlu bantuan Buk Putri?” Tawar Bu Ijah mengompori.

“Pak Ustad,” aku membungkuk hormat ke arah Pak Ustadz. “Terima kasih atas kunjungannya. Untuk hal yang sebenarnya ingin saya tanyakan, nanti saya akan berkunjung ke rumah pak Ustad, untuk mencari pencerahan.” Ujarku kemudian. Aku tidak enak hati terhadap pak Ustadz. Akupun mengurung niat utama ku.

“Bu Mutia lebih baik anda bertobat. Jangan mengganggu suami orang. Jangan pernah ada niat untuk merusak rumah tangga orang. Ketahuilah, azab Allah ta’ala itu pedih.” Nasehat Pak Ustadz. Sementara Mutia, ia tersenyum sinis mendengar nasehat dari pak ustad.

“Kalau begitu saya permisi. Assalamualaikum.” Pamit pak ustad.

“Waalaikumsalam.” Jawab Kami serentak. Hanya Mutia yang tidak menggubris salam dari Pak Ustad. Ia sibuk dengan ponselnya sendiri. Aku yakin jika Mutia pasti sedang menghubungi mas Alfi.

“Pak Rt,” Aku juga membungkuk hormat ke arah pak RT.

“Apakah saya harus memanggil ibu-ibu di komplek ini? Atau Pak RT saja yang membawa pergi Ibu Mutia?” Tanyaku kepada Pak RT.

“Tergantung Bu Mutia nya, mau bagaimana.” Pak RT melirik ke arah Mutia.

“Saya tetap tidak akan pergi.” kekeh Mutia tanpa mengalihkan pandangan dari handphone-nya.

Aku melirik ke arah Bu Ijah, kemudian menganggukkan kepala. ‘Terkadang orang yang suka kepo terhadap urusan orang lain ada manfaatnya juga.’ Batinku.

Assalamualaikum Pak, di sini ada yang bikin rusuh mohon pihak keamanan ke sini, kerumahnya Pak Alfi!” Pak RT menghubungi keamanan komplek kami.

“Saya sudah mengirim pesan di grup perpesanan komplek kita.” Bisik Bu Ijah kepadaku.

Tidak lama setelah itu, ibu-ibu komplek pun mulai berdatangan.

“Jangan malu-maluin diri sendiri. Lebih baik sekarang kamu pulang.” sinisku kepada Mutia.

Mutia bergeming. Menatap benci ke arahku.

“Kita lihat siapa yang akan malu. Mas Alfi..... Mas Alfi..... Mas Alfi....” Mutia memaksa, hendak masuk ke rumah kami. Ia terus menteriaki mas Alfi. Melihat Mutia yang menuju ke rumahku, aku tidak tinggal diam.

Aku menarik tangan Mutia, kemudian menghempasnya ke belakang. Mutia yang hilang keseimbangan-nya, pun jatuh terduduk ke tanah. Aku sengaja ber-pura-pura terjatuh juga.

“Aww__ aduh_duh_duh.” Aku ber-pura-pura kesakitan. ‘jangan harap kau bisa bertemu dengan suami-ku.’ Kekehku dalam hati.

“Aww___” pekik Mutia.

“Bu Putri nggak apa-apa?” Tanya ibu-ibu yang baru sampai, dan langsung menghampiriku.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status