"Maaf, Pak. Saudara Lukman belum ditetapkan sebagai tersangka, baru kami mintakan keterangan. Saudara Lukman, mari ikut kami."
Aku segera bangkit.
Sebentar kutatap Brian yang memandang balik dengan sedikit peduli.
"Puas lu, Yan," sergah batinku.
"Maaf. Bagaimana Bapak, maksud saya polisi bisa menyimpulkan kalau Lukman salah satu orang yang perlu dimintai keterangan? Maksud saya, apa ada bukti-bukti yang mengarah ke dia pak? Atau--"
"Ini. Ini salah satu barang bukti yang kami temukan di lokasi kejadian,” kata Polisi itu ke Bapak Kepala Sekolah.
Jonathan langsung terperangah. Begitu halnya dengan Denise yang juga sangat mengenali barang kecil yang ada di dalam kantong plastik
“Jika bukan Om Marcel, lalu siapa?” tanya hatiku yang bergeming.Tanpa menunggu apapun lagi, segera kututup panggilan itu bersama dahi yang masih mengerut penasaran.Entah, apakah benar ucapan Brian barusan. Tapi menurutku, Om Marcel pasti telah melakukan hal yang lain untukku, atau setidaknya, untuk anaknya sendiri.Aku langsung teringat sesuatu yang terus kupikirkan selama meringkuk di dalam sel. Sesuatu yang membuat kedengkianku bergolak-golak hingga mendidihkan darah merahku ini.Radit.Banci itu harus membayar semua perbuatannya. Dia layak mempertanggungjawabkan ucapan lidahnya yang tak bertulang namun berhasil menusuk-nusuk hingga ke ulu hati.“Bangsa
Aku tersenyum puas menikmati sosok yang megap-megap kesulitan bernapas dengan biji matanya yang membelalak, juga menggeliat-liat mencari kebebasannya.Berulang kali tubuh pria gemulai itu meriak-riak namun cengkeramanku selalu berhasil menahannya agar tidak bergeser kemana pun.“Mampus lu!” geramku lagi.Manik hitamku kemudian ikut membesar dan menghantarkan emosi kesesatannya ke wajah Radit yang kian memucat.“Lepasssh… Le...pas...sinh… gu...ah.”“Rasain perbuatan lu sendiri. Cih!”Dengan acak tangannya bergerak kemana-mana. Mencakar-cakar, meremas dan memelintir, termasuk mendorong wajah dan dadaku. Kedua kakinya juga berusaha me
Aku terpaku saat dengan tegasnya Brian mengusirku barusan.Kutatap agak lama wajahnya yang kaku itu, namun dia tetap tidak bergeming di hadapanku."Lu denger gua kan? Pulang! Elu pulang sekarang! Gua nggak mau hidup gua makin banyak masalah.""Elu ngusir gua?"Keningnya langsung mengernyit lantaran tidak terima dengan ucapanku. Rupanya dia tersinggung dengan perkataanku itu."Nggak. Gua cuma minta elu sekarang pulang. Dan nanti, kalau pikiran gua udah tenang, atau pikiran lu sudah lebih waras, elu bisa main lagi ke sini. Jelas kan? Gua cuma butuh waktu buat istirahat. Kepala gua pusing."Aku pun mengangguk agak ragu. Dan tanpa membalas perkataannya lagi, aku segera berdiri.
Kubalas tatapan Jonathan yang kebingungan itu dengan kebingungan lainnya, dan tanpa menunggu-nunggu lagi, segeraku bangkit lalu meninggalkannya, termasuk Denise yang masih terus menganga kecil.“Ada apa, Pak?” tanyaku dengan jengkel. Bisa-bisanya pagi-pagi begini aku sudah dibuat risih.“Ikut saya. Mari,” ucap Kepala Sekolah dengan agak ramah.Manikku kemudian terlempar ke belakang, tempat dimana Jonathan, Denise dan Frans masih terus menatapku dengan sejuta rasa penasarannya.Pak Kepala Sekolah yang tampak gagah dengan jas hitamnya itu lalu berbalik dan berjalan lebih dulu. Aku pun akhirnya mengikutinya.Jejaknya tampak begitu tegap di arah pandangan yang kubuat sesekali jatuh ke lantai.
“Hah? Serius lu?” tanya seseorang disamping, tapi aku tidak menghiraukannya.“Nak Lukman. Nanti sepulang sekolah bisa segera ke ruangan saya lagi, kita ngobrol-ngobrol dengan ketua panitianya ya.”Pak Kepala Sekolah tersenyum dengan penuh kemenangan ke arahku.“Man? Beneran?”“Apaan?”“Itu?”“Bodo ah!”Ku acuhkan sosok pimpinan puncak yang masih mengumbar senyum piciknya di samping pintu kelas, juga orang-orang yang menatap dan saling menggunjing membicarakanku.“Hihihi…. Jadi anak sosial. Sejak kapan prema
Aku mendadak bingung dengan apa yang tiba-tiba Denise lakukan. Tahu-tahu dia muncul di depanku lalu memeluk dengan amat eratnya sampai-sampai aku kesulitan bernapas."Ssshhh… Man… I need you, beib,” desahnya sambil tapak tangannya meremas-remas di punggung."Eh… Nise...""Jangan munafik, Sayang. Gue tau elo juga pengen banget meluk gue kan? Ayo, Sayang, gue di sini, Sayang. Peluk gue, Sayang. Ayo peluk gue."Tangannya dengan liar menarik dan mencakar-cakar punggungku lagi. Sedang dadanya yang sekal dan kenyal menekan-nekan sesak di dadaku.Tiba-tiba satu tangannya turun lalu meremas-remas pangkal pahaku dengan keras hingga aku,"Ahhh…. shit!! Naka
Kupandang wajah eloknya itu sesaat. Dia, cantik. Parasnya begitu natural, sederhana, tidak lebih. Namun sungguh. Cantik! "Maaf, elu salah orang!" "Tapi kata anak-anak, yang namanya Lukman itu, ya kamu. Anak SMU yang bisa dikenali dari penampilannya dan sahabatnya yang--" "Berandalan? Begitu kan maksud lu?" potongku cepat setelah biji matanya berpindah mengamati pria-pria di belakang punggung. Gadis itu langsung mengernyitkan dahinya tanda tidak sependapat. "Bukan gitu, mak--" "Udah ah, gua lagi sibuk. Permisi." Lekas-lekas aku melangkah seraya mengabaikannya. Bahkan saat berpapasan,
"Pergi! Kembali ke kelasmu sana!"Bapak itu kemudian membalikkan badannya seraya mengusirku dengan tenang. Namun saat kakiku hendak melangkah, bibirnya berucap lagi."Jangan lupa. Nanti, sepulang sekolah ada rapat koordinasi. Kamu sudah tahu kan, dimana tempatnya?"Aku mengangguk. Lalu tanpa menunggu kalimatnya yang lain, aku lekas berbalik, dan dengan amat acuhnya segera meninggalkan tempat tersebut.Kususuri koridor sekolah yang sesekali diisi oleh siswanya yang diam-diam mencuri pandang ke arahku.Aku tahu, dalam sorot-sorot mata yang singkat itu, mereka seolah berkata, ada urusan apalagi nih si anak bengal?"Eh, udah balik, Nyet?" tanya Brian sambil menoleh."Diapain aja lu, di sana?" sambungnya.Bibirku hanya diam sambil kutatap datar wajahnya yang terus bertanya-tanya."Woy! Ditanya, diem aja. Kesambet setan gagu ya?""Bawel lu!"Tanganku langsung menarik tong tempat sampah yang ada di sebelah Jonathan. Begitu ia sudah ada di belakang, segera kuubah fungsinya sebagai kursi yang