Lia sangat terkejut ketika melihat Wira datang bersama Kanaya, tetapi penampilan Kanaya hari itu sangat berbeda, biasanya Kanaya memakai gamis longgar dan jilbab menutup dada, kini hanya memakai celana jeans dan kemeja ketat dan jilbat dililit keleher.Ketika hendak menyapa Kanaya, baru sadar jika perempuan yang bersama Wira bukanlah Kanaya, melainkan Lely."Kanaya ada Li?" Tanya Wira ketika mereka sudah memasuki toko."Belum datang Mas, biasanya sih sebentar lagi mau nunggu?" Tanya Lia memastikan."Heemm...coba aku telfon Kanaya dulu." Wira kemudian menjauh, sementara Lely sudah meluncur melihat-lihat produk diskon. Pakaian keninian dan seksi. Dengan sigap Lely mengambil beberapa baju yang dia sukai. Lia tampak berbisik pada Ceril, rekan kerjanya."Aku kira tadi Mbak Nay loh." Tutur Lia tak percaya."Aku juga ngiranya begitu, tapi kalau diperhatikan masih manisan Mbak Nay.""Iya betul, kok Mas Wira bisa dapat pasangan yang benar-benar mirip Mbak Nay yah?""Iya, itu tandanya Mas Wira
Tabrakan yang sangat keras tak mampu dihindari. Mobil yang dikendarai Rayyan dan Hilma ringsek dibagian depan. Kondisi Hilma pingsan, sementara Rayyan masih tersadar dengan lukanyang cukup parah.Mendengar tabrakan yang cukup keras, warga sekitar langsung berbondong-bondong menolong, begitupun sopir truk yang sedang menyiapkan ban serep, sangat terkejut dengan suara yang menabrak bagian belakang truknya."Ma... Mama." Panggil Rayyan seraya menggoyangkan tubuh sang mama.Beruntung ada polisi yang tengah patroli sedang melintas. Polisi bersama warga membantu mengeluarkan Hilma dan Rayyan. Ambulan puskesmas Pondok Kelapa sudah datang, dan bersiap membawa ibu dan anak itu kerumah sakit terdekat.Sesampainya dirumah sakit Bhayangkara, mereka langsung diberi tindakan, Hilma yang mendapat benturan cukup kuat sehingga menyebabkan dia pingsan. Beberapa luka sudah dijahit dan diperban. Sementara Rayyan mengalami luka yang cukup dalam dibagian betis. Beruntung airbag mobilnya berfungsi dengan ba
Pukul delapan malam Heru sampai di rumah sakit, sekilas dia menatap jam yang ada ditangan kirinya. Kemudian memasuki ruang UGD, namun ternyata istrinya sudah dipindah keruang perawatan."Pa." Panggil Yuda ketika melihat Heru keluar dari ruang UGD."Mama sama adikmu mana?""Sudah dipindahkan keruang perawatan pa, ayo Tama antar."Diruang perawatan, Hilma belum sadar, dia dtemani Kanaya dan juga Dimas, sementara Yuda menemani Rayyan, namun karena Risma mengirimkan pesan jika sudah sampai diruma sakit, Yuda langsung turun menjemput keluarganya.Kanaya bangkti dan membuka pintu ketika sesorang mengetok. Disalaminya papa mertuanya dan kakak iparnya. Kemudian mempersilahkan mereka melihat keadaan Hilma."Pah." Ucap Hilma lemah, dia mulai sadar. Kepalanya terasa sakit, dan juga badannya terasa ngilu karena benturan pada tubuhnya."Papah disini mah." Jawab Heru."Mana Rayyan?" "Ada diruang sebelah ma." jawab Yuda.Setelah melihat keadaan istrinya, Heru beralih ke ruangan Rayyan. Rayyan tampa
"Ma, dari mana kaka kenal tante Mutiah?" Tanya Risma tanpa basa-basi."Kok kamu tahu tante Mutiah." Hilma menelisik, pasalnya dia tidak pernah mengenalkan Mutiah kepada Risma."Dia dulu tetangga Risma, dia yang Risma ceritain memaksa anaknya untuk bercerai karena istri anaknya miskin.""Jangan ngaco kamu, tante Mutiah itu baik, tidak mungkin dia seperti itu, kamu pasti salah orang.""Risma tak mungkin salah ma, itu beneran tetangga Risma dulu.""Sudahlah Risma, mama sangat mengenal bagaimana tante Mutiah, dia dulu sahabat mama, dia orangnya baik." Hilma memang keras kepala, sekuat apapun Risma menjelaskan, sekuat itu pula dia tak mempercayai, Risma hanya pasrah, dia juga tidak mampu membuktikan jika yang dia ceritakan adalah Mutiah yang sama, pasalnya dia lupa siapa nama anak laki-lakinya dan mukanyaoun dia jarang melihat. Namun dia sangat yakin, jika Mutiah yang dia maksud adalah orang yang sama dengan sahabatnya mamanya."Ada apa? Suara kalian terdengar sampai ruangan sebelah, tida
"ygAku akan memenuhi permintaan mama." Ucap Yuda.Hilma yang tengah disuapi bubur oleh Heru tersenyum senang. Mata wanita paruh baya itu berbinar, seolah penyakitnya lenyap seketika. "Yang bener Tam? Kamu mau menikah dengan Anisa?" Tanya Hilma memastikan."Iya." Jawab Yuda singkat."Mama suruh Anisa kesini ya, sama Tante Mutiah juga, kalian menikah hari ini juga, disini." Lanjut Hilma."Ma, apa tidak ada hari esok? Setidaknya nunggu mama dan Rayyan sembuh.""Justru itu, ya kalau mama sembuh, kalau Allah manggil Mama duluan.""Ma, jangan bicara seperti itu, benar kata Tama, tunggu Mama sembuh.""Pa, kali ini aja turutin permintaan Mama." Ucap Hilma melemah."Baiklah." Jawab Yuda akhirnya menyetujui.Gejolak dalam dirinya semakin meninggi, Yuda membayangkan bagaimana dia akan tidur dengan perempuan selain Kanaya. Bagaimana dia akan memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami nantinya.Laki-laki yang diselimuti kegalauan itu keluar dari ruangan Hilma, diarahkannya tujuan menuju musolah,
"aku ingin kamu saat ini, aku mohon." Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, Yuda langsung membekab bibir Kanaya dengan bibirnya. Kini mereka sudah menyatukan tubuh diatas ranjang yang wangi, beberap kali semprotan aromaterapi mengudara dengan sendirinya, dinginnya suhu ruangan karena AC tak mampu mendinginkan suhu tubuh mereka.Kanaya melayani suaminya dengan sepenuh hati, bahkan dia menikmati disetiap sentuhan yang diciptakan Yuda."Mungkin ini terakhir kali kita menyatu sebagai pasangan suami istri sayang." Gumamnya lirih. Membuat Yuda mengulang pertanyaan. Namun Kanaya tak menghiraukan. Dia memeluk tubuh suaminya erat. Kemudian mereka terlelap bersama.Dirumah sakit, Anisa sangat gusar, karena sudah dua jam Yuda menghilang dan tak kunjung datang. Sementara Mutiah dan suaminya sudah pulang dari satu jam yang lalu.Risma hanya terkekeh melihat sikap adik ipar barunya itu bersungut. Setelah shalat dhuhur nanti dia akan pulang, karena suaminya harus kembali bekerja. Sebagai seorang pe
Dimas memasuki mobil dengan wajah masih ditekuk. Dia duduk disebelah Anisa, namun tak menyapa sedikitpun, menolehpun tidak. Padahal biasanya dia dangat senang jika bertemu dengan Anisa. Dia akan cerita apapun, dari kegiatan disekolah maupun saat dirumah."Dimas kenapa kok diam aja?" Sapa Anisa merasa heran. Namun Dimas hanya menggeleng.Yuda melirik Dimas dari kaca spion, kemudian memberi isyarat Kanaya dengan menaikan kedua alisnya sambil melirik kebelakang. Kanaya hanya menaikan kedua bahunya. Tanda dia tak mau mengatakan apa yang terjadi dengan Dimas. Kemudian laki-laki itu menjalankan mobilnya perlahan. Sesampainya dirumah, Dimas langsung lari kekamarnya dan menutup pintu. Yuda yang melihat kelakuan aneh jagoannya itu menyusul kekamar. Dibukanya pintu dengan perlahan, didapatinya Dimas tengah melamun dipinggir jendela, matanya lurus menatap jalanan."Apa ayah tidak lagi sayang sama Dimas dan juga mama, hingga membawa tante Anisa kesini?" Tanyanya tanpa menoleh kearah Yuda.Yuda m
Kota ini kembali diguyur hujan lebat, genangan air dimana-mana, jalanan kota yang biasanya lengah, kini mengular beberapa kilometer karena banjir menggenangi jalanan yang biasa dilalui Wira saat hendak ke tokonya.Cabang tokonya akan dibuka bulan depan, setelah dia dan Lely menikah, sementara, pernikahannya dengan Lely hanya kurang dari tiga hari saja.Bimbang kembali menghantui fikirannya, bahkan setiap hari dia harus melakukan sholat istikharah untuk meyakinkan hatinya. Tapi entah kenapa, hatinya semakin bimbang untuk melanjutkan pernikahannya dengan gadis itu."Ly, bisa kita ketemu?" Ucap Wira ketika telepon sudah tersambung."Bisa mas, tapi nanti sore ya, aku masih ada kerjaan.""Oke" jawab Wira singkat.Lely sendiri bertanya-tanya, tak biasanya Wira mengajak ketemuan, sebelumnya selelu Lely yang ingin ketemu terlebih dahulu. Sepulang kerja, Lely sudah siap dengan dandan maksimal, dia yakin sore ini Wira akan memberikan kejutan untuknya. Berkali-kali dia memandangi wajahnya didepa