“Pak Kaisar, sebentar lagi kita harus rapat.”
Suara perempuan yang terdengar lembut dan manja itu tak terbalas. Yang ditanya sedang sibuk melakukan hal lain yang membuatnya tak bisa berkata banyak. Melakukan sesuatu yang menimbulkan suara decapan dan memancing lenguhan lawannya. “Fine. Lima belas menit saja,” akhirnya pemilik nama lengkap Erika Wiratama itu mengalah. “Lima belas menit tidak cukup kurasa,” Kaisar akhirnya membalas dengan suara serak. Pria itu kemudian mendonggak. Menatap mata sekretarisnya sejenak, sebelum memagut bibir perempuan cantik itu dengan sangat menggebu-gebu. “Lima belas menit, Pak. Kalau tidak rapatnya akan terlambat dimulai,” Erika membalas dengan suara sedikit serak dan napas terengah. “Aku bosnya, Erika. Rapat tidak akan mulai jika aku tidak ada.” Erika masih sempat memutar bola matanya, sebelum menggigit bibir bawahnya. Dia terpaksa melakukan itu agar suara rintihannya tidak sampai terdengar keluar. Bagaimana pun mereka sedang ada di kantor. Kaisar menggeram pelan. Dia baru saja memulai. Baru sekitar lima menit dan ponselnya sudah berbunyi dengan sangat nyaring. Sangat mengganggu, namun dia enggan mengangkatnya. “Angkatlah, Pak. Itu dari Nyonya kan?” Erika dengan susah payah menyuarakan pertanyaannya. Dia hapal dengan nada dering yang dipasang khusus oleh bosnya itu. Membuat mereka berdua langsung tahu siapa yang menelepon. “Halo.”Akhirnya Kaisar menjawab teleponnya dengan suara yang dibuat senetral mungkin. “Kau di mana?” Terdengar suara Kaisar sedikit meninggi dengan raut wajah terkejut. Membuat sang sekretaris ikut mengerutkan kening karena penasaran. “Aku akan ada rapat lima belas menit lagi dan sedang mendiskusikannya dengan Erika. Kau...” “Astaga Kai. Kau kan bosnya di sana. Kalau kau bilang jadwalnya mundur, semua orang akan mendenggarkanmu. Kalau kau tidak datang, rapatnya bahkan bisa batal. Pokoknya kita akan makan siang bersama.” Suara yang agak melengking dari ponsel Kaisar, masih bisa didengar cukup baik oleh Erika. Pria itu sampai mengernyit, telinganya pasti terasa berdengung sekarang. “Demi Tuhan Flora, aku tidak bisa mengundur jadwal rapatnya seenak hatiku. Lagi pula semua orang juga punya jadwal lain, mana mungkin aku meminta mereka menunda jadwal hanya karena harus makan siang denganmu. Ini sudah lewat jam makan siang.” Erika hampir saja tertawa di sela-sela kegiatan mereka. Siapa sih yang tadi mengatakan rapat bisa diundur kalau bosnya meminta? Dan lagi pula ini terasa agak tidak masuk akal. Siapa yang menyangka kalau benar-benar ada orang yang bisa bercinta, sambil berbicara di telepon. Mana suara Kaisar terdengar cukup netral, walau emosinya meluap-luap. “Sialan,” maki Kaisar membuang asal ponselnya ke atas meja. “Flora akan datang dalam waktu lima menit lagi mungkin. Dia sekarang sudah sampai di depan lift.” “Oh, itu waktu yang... sangat... singkat...” Erika tidak bisa lagi menahan suaranya karena Kaisar bergerak makin liar. Mereka dikejar waktu karena orang yang bernama Flora akan segera muncul. Tentu saja pemandangan seperti ini tidak untuk ditunjukkan pada semua orang, apalagi Nyonya Bos. Yeah. Kaisar yang merupakan atasan Erika memang pria beristri, walau baru sekitar dua bulan lalu pria itu menyandang status sebagai suami orang. Lebih tepatnya suami teman Erika sendiri. Dan ya, tentu saja hubungan ini tidaklah sehat dan tercela. Tapi Erika punya alasan sendiri untuk menawarkan hubungan tak sehat ini. “Astaga, Pak.” “Sorry tadi lupa pakai pengaman.” “No problem. Saya akan minum pil,” balas Erika mulai meluruskan tubuhnya, dia harus bergerak cepat. Bukan hanya Erika sebenarnya yang perlu bergegas, tapi Kaisar juga. Mereka mengurus diri masing-masing dengan gerakan cepat, merapikan dan mengancing pakaian mereka. Kaisar tidak lagi menunggu Erika mengancingkan kemejanya, mereka tidak punya waktu. Untung saja kain-kain itu tidak sepenuhnya ditanggalkan dari tubuh mereka. “Oh, Tuhan. Ke mana anda melempar dalaman saya sih, Pak?” gerutu Erika tidak menemukan segitiga pengamannya. “Mana kutahu. Tadi aku asal lempar saja,” balas Kaisar ikut kelimpungan mencari kain kecil menyebalkan itu. Sebenarnya kejadian ini tidak semenyebalkan itu, tapi di situasi seperti saat ini tentu jadi menyebalkan. Bisa-bisanya benda itu menghilang dari pandangan mereka. “Lupakan saja dulu benda itu. Pergilah membuka kunci pintu sebelum Flora sampai,” Kaisar menggeram sambil terus mencari benda menyebalkan itu. Bisa gawat kalau ada yang melihatnya. Erika segera bergerak sesuai perintah bosnya. Dia berjalan cepat ke arah pintu dan memutar kunci yang terpasang pada tempatnya dua kali. Sedetik setelahnya, gagang pintu itu bergoyang. “Selamat siang, Nyonya.” Erika refleks membungkuk melihat perempuan yang masuk ke dalam ruangan yang cukup besar itu. Erika yang masih sedikit kehabisan napas, terpaksa menahan napasnya. Peluh dipelipisnya saja belum menghilang, tapi Nyonya sudah datang. Dia jadi tak punya waktu lagi untuk mengusap wajahnya dan hanya bisa berharap tidak ketahuan. “Apa sih yang kau cari?” Flora bertanya pada suaminya, setelah menepuk pelan pundak Erika. Tanda agar sekretaris itu sudah bisa menegakkan punggungnya. Walau sudah diberi kode, Erika menegakkan diri dengan perlahan. Dia menunggu Nyonya Bos dua langkah di depannya barulah dia mengusap pelan pelipisnya. “Tidak tadi sepertinya aku menjatuhkan pulpen,” jawab Kaisar tentu saja bohong. Yang bertanya hanya menaikkan sebelah alisnya. Jawaban itu terasa sangat aneh karena biasanya Kaisar akan meminta Erika untuk melakukan hal paling sederhana sekali pun. “Biar saya carikan, Pak.” Erika yang menyadari itu, langsung maju. Berpura-pura mencari pulpen imajiner yang disebutkan bosnya. “Good. Kalau begitu ayo kita pergi.” “No. Aku harus pergi rapat,” Kaisar segera menolak. “Tapi baiklah, berikan aku waktu lima menit untuk memberitahu semua orang kalau rapatnya diundur.” Dengan ekspresi kesal minta ampun karena tidak bisa menolak permintaan istrinya, Kaisar terpaksa mengiyakan. Dia bisa kehilangan investasi jika menolak, apalagi tatapan istrinya sangat memaksa. Kaisar yang tadinya berdiri di depan meja kerjanya kini berbalik. Dia perlu mengambil ponsel yang tadi dia lempar sembarang ke atas meja. Untung saja benda itu tidak rusak. “Tunggu dulu. Kenapa kantong celana bagian belakangmu terlihat lebih menggembung dari biasanya?” tanya Flora dengan mata memicing. “Hah?” Kaisar dengan bingung merogoh kantong celana yang dimaksud. Begitu tangannya meraba tekstur kain katun, mata Kaisar membesar dan ekspreisnya berubah jadi pucat. Dia melirik Erika dan hanya dibalas dengan tatapan bingung sekretarisnya itu. “Apa sih yang ada di dalam kantongmu itu? Coba perlihatkan padaku.” Suara ketus Flora membuat Kaisar makin panik. Kenapa juga kain kecil yang sedari tadi mereka cari ada di dalam kantongnya? Mana Flora sadar dengan keberadaan benda itu lagi. Mana Erika tidak kunjung sadar dan tidak bisa membantu lagi. “Kenapa lama banget sih? Coba keluarin isi kantongnya.” ***To Be Continued***“Jadi untuk proyek berikutnya mungkin akan lebih baik kita ambil yang minuman kesehatan ini,” Kaisar berbicara sembari membandingkan dua berkas yang tadi diberikan Erika. Setelah tertunda beberapa saat, akhirnya rapat bisa dilaksanakan. Kaisar merasa beruntung karena Flora hanya menyita waktunya sebentar saja. Dan merasa beruntung karena tadi bisa lolos karena perempuan itu menerima panggilan telepon. “Saya minta sampel produknya bisa segera dibuat ya. Kalau bisa sebelum akhir bulan barangnya sudah ada.” Kaisar merasa sangat lega karena sebenarnya ini rapat yang cukup penting yang akan membahas produk baru perusahaan. Apalagi di situasi seperti sekarang ini. Perusahaan keluarga Kaisar bergerak dalam bidang farmasi dan mereka baru saja merangkak naik dari jurang kebangkrutan. Ini membuat Kaisar perlu memutar otak untuk mempertahankan perusahaannya, bahkan membuatnya lebih maju lagi. Yah, walau sebenarnya di sini Kaisar lah yang paling rugi karena harus merelakan masa mudanya. Se
Kaisar menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Dia yang baru pulang dari kantor, tidak langsung masuk ke dalam rumahnya. Dia butuh untuk mengosongkan pikiran dengan cara merokok. Pria itu bukan perokok, tapi dia kadang melakukannya untuk mengosongkan pikiran atau menemani temannya merokok. “Ck. Sialan banget sih. Kenapa juga sih aku harus nikah sama dia,” geram Kaisar menendang puntung rokok yang baru saja dia buang ke rumput di taman. “Hah.” Helaan napas Kaisar terdengar. Pria itu menatap rumah yang sudah dia tinggali selama kurang lebih dua bulan terakhir. Rumah yang dibelikan oleh mertua dan membuat ego Kaisar sebagai lelaki sangat tersentil. “Kalau bukan demi uang investasi, aku pasti gak akan menikah dengan si bodoh itu,” geramnya benar-benar kesal. “Kalau begini, rasanya lebih baik menghabiskan waktu dengan si murahan Erika,” gumamnya lagi dengan wajah marah. Yes, dia merasa marah. Marah karena pada akhirnya Kaisar lebih memilih menyalahi prisip hidupnya dan menjalin hu
Kaisar memijat pangkal hidungnya. Kepalanya yang sudah penuh dengan pekerjaan, kini harus ditambah bebannya. Membuat kepalanya nyaris pecah.“Argh.” Geraman kesal Kaisar menyentak seisi ruang rapat. Mereka sontak menatap pimpinan tertinggi perusahaan itu, bertanya dengan tatapan mata apa yang salah. Terutama pembawa materi yang sudah terlihat pucat. “Lanjutkan saja,” hardik Kaisar terlihat tak sabaran. Hembusan napas lelah terdengar setelahnya dan Erika yang melihat itu bisa menebak apa yang terjadi. Erika sudah menyampaikan keinginan sang nyonya dan Kaisar tentu menolak ide itu. Padahal Kaisar sudah berusaha menahan diri. Padahal dia sudah berjanji tak akan termakan omongan Erika lagi. Tapi kalau istrinya yang selalu berusaha mendekatkan mereka walau tidak sengaja, lama-lama dia bisa terjebak lagi. Istrinya yang bodoh itu meminta Erika ikut dalam acara bulan madu. Luar biasa kan? “Sialan.” “Kenapa, Pak?” Seseorang yang mendengar gumaman itu bertanya sepelan mungkin.“Tidak ad
Kaisar mengumpat kesal. Lagi-lagi dia baru saja bertengkar dengan istrinya. Dan coba tebak, ini semua gara-gara dia menolak ide bulan madu ramai-ramai. Yeah. Ramai-ramai. Rupanya bukan cuma Erika saja yang diajak, tapi juga beberapa orang teman dan keluarga. Tentu saja ini terasa menyebalkan bagi Kaisar. Mana ada bulan madu rombongan seperti itu? “Kenapa pintunya lama sekali baru dibuka sih?” Kaisar bergumam kesal, sembari terus menekan bel. Lelaki itu menatap pintu unit penthouse mewah di depannya dengan tatapan bimbang. Haruskah dia pergi saja atau haruskah dia menerobos masuk saja? “Masa bodoh. Aku sedang tidak ingin tidur di rumah.” Akhirnya Kaisar memutuskan masuk menggunakan pin yang sudah dia tahu sebelumnya. Dan ya, itu adalah rumah Erika. Sesungguhnya Kaisar punya apartemen sendiri, tapi letaknya lebih jauh. Dia pun pernah dua kali datang ke unit Erika ini. Sekali datang bersama sang adik, sekali ketika akhirnya dia menerima ajakan perempuan itu. Dan ya, dia diberitahu
“Aku bertengkar dengan Kai.” Erika meringis mendengar penuturan Flora. Perempuan blasteran yang menjadi istri dari bosnya di kantor, sekaligus juga bisa dikatakan sebagai sahabatnya. “Dia pergi meninggalkan rumah dan aku tak tahu apa dia sudah baca chatku atau tidak, tapi dia tidak membalas.” Ringisan Erika makin menjadi mendengar hal itu. Dia tahu kalau Kaisar sudah membaca pesan Flora. Hanya saja pria itu menonaktifkan fitur laporan dibaca, sehingga tanda centang dua yang ada pada chat tak akan berubah biru walau sudah dibaca. “Mungkin Pak Kaisar menginap di apartemennya. Dan mungkin saja sekarang dia sudah tidur,” jawab Erika mencoba menenangkan. “Tapi gimana kalau dia malah pergi cari perempuan di klub?” “Ehm... aku rasa tidak. Hari ini kami lembur, jadi beliau pasti lelah dan tak punya tenaga lagi pergi ke tempat seperti itu.” Tentu saja sebagian besar dari kalimat Erika itu bohong. Buktinya Kaisr tadi sempat ada di rumahnya, walau pria itu segera diusir setelah Flora men
“Ngapain sih si Kai pakai acara kabur dari rumah segala?” Erika meringis mendengar pria tinggi di sebelahnya. Dia adalah adik kandung dari Kaisar. Radja Bima Jayantaka. Pria yang berprofesi sebagai model itu, katanya ada yang ingin dia bicarakan dengan kakaknya. Dan di sini lah mereka berada. Di lobi hotel yang tiba-tiba saja dijadikan sebagai tempat menginap Kaisar. Erika tadi sempat menghubungi Kaisar, agar pria itu segera berpindah ke hotel yang tak jauh dari rumahnya dengan sang istri. Ini tentu saja agar Bima tidak curiga. “Saya juga kurang tahu, tapi Nyonya ada di rumah saya,” jawab Erika setengah berbohong. “Oh ya? Kok bisa?” Bima terlihat cukup terkejut. “Sepertinya ini soal bulan madu yang tertunda itu. Mereka sepertinya tidak sejalan soal itu,” jawab Erika kali ini jujur. “Ah, pasti karena Flora mau mengajak banyak orang kan ya? Dia mengajakku juga.” Erika mengangkat kedua alisnya. Mengajak satu orang saja Kaisar sudah menolak, apalagi mengajak lebih dari satu orang.
Suara ketukan jari terdengar sangat jelas karena Kaisar melakukannya dengan sengaja. Pria itu mengetukkan jemarinya di atas meja rapat untuk memperlihatkan benda yang terpasang di sana pada lawan bicaranya. Perempuan yang menjadi klien hari ini, terus-terusan menatapnya dengan intens. Dan itu jelas saja membuat Kaisar risih. Dia tak pernah suka dengan perempuan jenis seperti ini. Teman perempuan itu saja mengernyit sebal, apalagi Kaisar yang diperlakukan seperti ini sejak kemarin. Klien yang ditemui Kaisar setelah bertemu sang adik kemarin pun sama ganjennya. Dan itu menyebalkan. “Maaf, Bu. Apa penjelasannya sudah bisa dimengerti?” Erika bertanya dengan nada kesal. Erika sangat pantas merasa kesal karena penjelasannya sedari tadi tidak didengar. Perempuan yang mewakili salah satu distributor obat terbesar itu, hanya memandang Kaisar dan hanya mendengar ketika pria itu bicara. Terlalu menyebalkan. “Oh, apa kau baru saja mengatakan sesuatu?” tanya perempuan itu menoleh sebentar pa
“Astaga Flora. Apa kau pikir ini ring tinju?” Kaisar memekik keras diikuti bantingan pintu ruangannya. Pria itu baru saja melerai pertengkaran istrinya dengan wakil dari distributor. Tak tanggung-tanggung, Flofa tidak hanya menampar, tapi juga menjambak rambut perempuan itu. “Salahkan saja dia yang menggodamu duluan.” Kening Kaisar berkerut mendengar pernyataan istrinya itu. Dia kemudian langsung memandang ke arah pintu yang baru saja menutup karena Erika baru saja masuk. Dan dengan mudah Kaisar mengetahui kalau ini adalah ulah sekretarisnya. Ya. Pasti seperti itu. Erika pasti mengerjainya lagii, seperti kala itu. Ketika dia dengan sengaja memberi cap lipstik pada cangkir yang dipakainya. Kaisar sampai harus menghadapi kemarahan semua orang karena Flora menemukannya dan ngambek. “Maaf, Pak. Nyonya sepertinya tidak sengaja mendengar percakapan saya tadi ketika turund ari lift,” Erika menjelaskan tanpa meminta. “Dan untuk apa juga kau mengantar perempuan itu sampai di lobi,” hard