Share

Ayo Sepakat Tentang Kita

Bahana menatap Nayaka yang sedang berdiam di dekat jendela. Perempuan yang ingin sekali direngkuhnya.

“Sudah siap?” tanya Bahana membuat Nayaka kaget dan mengangguk.

“Aku yang menyetir,” kata Nayaka sambil meraih kunci yang dipegang Bahana.

“Up to you my lady,” desis Bahana seraya menyeringai.

Mereka menyusuri jalanan lenggang di persawahan menuju Ubud. Nayaka sengaja mencari jalan yang tak ramai.

“Apakah perutmu baik-baik saja?” tanya Nayaka setelah mereka berdiam diri.

“I'm fine Ka. I’m always fine if I’m with you,” kata Bahana membuat Nayaka tergelak.

“Kamu selalu saja gombal,” desisnya.

“Ka, aku serius tentang, ayo menikah,” kata Bahana membuat Nayaka jengah.

“Aku juga serius untuk menurunkanmu sekarang,” Nayaka melirik Bahana yang memandanginya.

“Ini mobilku, Nona.” Bahana terkekeh mengingat ancaman Nayaka.

Mereka telah sampai di Ubud. Seketika Nayaka ingat kalau mereka harus berjalan lumayan jauh ke dalam kalau ingin makan di Pomegranate, dan mengingat luka Bahana yang belum sembuh, akhirnya Nayaka menyadari kebodohannya.

“Kita makan di kafe pinggir jalan saja,” kata Nayaka melajukan mobilnya ke deretan kafe yang berjajar sepanjang jalan.

 “Kita tetap bisa makan di Pome kalau kamu mau, Ka.” Bahana masih menatap Nayaka.

“Lukamu akan terbuka jika kita berjalan jauh,” sergah Nayaka.

“Baiklah, kita bisa makan di mana saja,” jawab Bahana tak ingin berbantah.

Akhirnya Nayaka memarkir mobil di sebuah kafe yang tak terlalu ramai.

Membantu Bahana untuk turun. Kemudian mereka memilih tempat duduk di halaman belakang kafe yang menghadap area sawah. Nayaka menghela napasnya, menghirup sebanyak mungkin oksigen untuk mengisi paru-parunya yang terasa sesak karena terintimidasi saat bertemu dengan Sangka.

“Apakah kamu masih memikirkan perkataan Sangka tadi?” tanya Bahana seraya menarik tangan Nayaka yang mulai memilin ujung bajunya.

“Kenapa kamu bilang aku kekasihmu?”

“Ya karena kamu kekasihku.” Bahana menatap tajam Nayaka.

“Tapi apakah dia akan menerimanya?”

“Dia akan lebih tidak menerima jika melihatmu bersamaku tanpa status apa pun. Dengan mengetahui hubungan kita, dia kan diam, setidaknya sekarang,” kata Bahana.

“Tapi aku belum siap untuk berhadapan dengan masa lalumu,” desis Nayaka, karena masa lalunya sendiri bahkan kini harus dia hadapi lagi.

“Lihat aku, aku akan melindungimu dari keduanya,” kata Bahana seolah tahu ketakutan Nayaka akan Sangka dan Doni.

“Tapi kamu terluka karenaku,” desis Nayaka.

“Aku tak mengeluhkan hal itu,” kata Bahana lalu menarik tangan Nayaka untuk meraba luka di perutnya.

“Ini hanya luka fisik yang akan sembuh. Kita, memiliki luka jiwa yang sama susahnya untuk disembuhkan, lalu kenapa harus saling menghindar?” tanya Bahana.

Nayaka masih menelusuri luka berbalut plester di perut Bahana yang tertutup baju itu. Tangannya mengelus tak sengaja, karena luka itu didapatkan Bahana saat melindunginya dari Doni.

“Buat luka ini tak menjadi sia-sia,” kata Bahana membuat Nayaka semakin tertunduk.

Pesanan mereka datang, membuat Nayaka sejenak mengalihkan perhatiannya.

Mereka memakan makanan dalam diam. Mencoba untuk meredam setiap emosi yang mereka rasakan. Bahana dengan pemikirannya untuk melupakan Sangka, memiliki Nayaka seutuhnya, entah sejak kapan dia mulai terobsesi dengan Nayaka. Ingin melindunginya, dengan segenap yang dia miliki. Hal itulah yang membuatnya mengambil keputusan untuk menjaga Nayaka dekat dengannya, di rumahnya. Alasan lukanya memerlukan perhatian lebih, adalah hal yang membuat Nayaka mengiyakan tindakan nekatnya itu.

 Dering ponsel memecah keheningan mereka, sendok dan piring yang beradu terhenti sejenak.

“Ya, ada apa?” tanya Bahana.

“Besok? Baiklah, aku akan datang menjadi saksi,” lanjut Bahana membuat Nayaka menatapnya.

“Pradnya yang menelepon. Besok, kasus akan disidangkan untuk pertama kalinya, aku harus datang sebagai saksi dan korban. Aku sudah memberi tahu Pradnya untuk menjauhkanmu dari kasus ini.” Bahana menatap sendu ke arah Nayaka.

“Aku bisa menjadi saksi,” desis Nayaka.

“Tapi aku tak mau. Saat melihatnya, semua keyakinanmu akan goyah, seiring dengan deraan ketakutan, dan mungkin kamu akan meninggalkanku karena merasa bersalah. Aku tak mengizinkan hal itu,” kata Bahana tegas.

“Bukankah dengan caramu yang seperti ini, kamu jadi terlihat seperti dia?” desis Nayaka mulai merasakan kegamangan.

“Seperti Doni? Lalu, apakah aku harus membiarkanmu sendirian? Kita sudah sepakat akan melalui ini bersama,” elak Bahana tak ingin mengakui obsesinya yang terlihat berlebihan.

“Bukan seperti Doni. Tapi kamu membuatku takut dengan segala preventifmu, takut karena nanti aku tak bisa melepasmu, bila aku tak sanggup lagi menerima semuanya,” kata Nayaka lirih. Tangannya mulai memilin lagi ujung bajunya.

Bahana mendesah, meninggalkan makannya dan menarik Nayaka pergi. Setelah membayar, Bahana mengambil kunci dari tangan Nayaka yang bersikukuh untuk menyetir.

“Aku tak akan membiarkanmu menyetir dalam keadaan seperti ini,” desis Bahana.

“Tapi lukamu,” jawab Nayaka.

“I'm okay, Ka. Trust me.” Tatapan Bahana mengatakan itu kepada Nayaka.

 Nayaka mengalah, hatinya memang sedang tak baik-baik saja untuk menyetir.

Sepanjang jalan, mereka masih berdiam dalam pikiran masing-masing. Sesekali Bahana meringis karena lukanya terasa nyeri.

“Sakitkah?” tanya Nayaka yang akhirnya menyadari kesakitan Bahana.

“It’s okay. I can endure this,” elak Bahana.

“Aku akan mengganti perbannya setelah sampai di rumah,” kata Nayaka membuat Bahana tersenyum.

“Do your job,” goda Bahana membuat Nayaka mencebik.

Raka membukakan gerbang saat mereka tiba di rumah.

“Mas Gama tadi dari sini, Mas,” kata Raka begitu Bahana turun dari mobil.

“Sendirian?” tanya Bahana.

Raka mengangguk. “Katanya, Mas Bahana lusa disuruh ke kantor.”

Bahana mendesah dan mengulurkan kunci mobil ke arah Raka.

Nayaka berlalu ke dalam rumah dan menyiapkan peralatan untuk merawat luka Bahana.

“Duduklah, aku akan mengganti perbannya,” perintah Nayaka.

“Bukankah lebih nyaman bagiku bila aku rebahan?” goda Bahana membuat Nayaka mendelik.

Sambil tertawa Bahana duduk di samping Nayaka.

“See, I told you. It’s better I lay on my back,” protes Bahana saat Nayaka kesulitan untuk membuka plester itu dari samping.

Tanpa menunggu persetujuan Nayaka, dia merebahkan tubuhnya di kursi. Nayaka akhirnya duduk di lantai dan mulai membuka plester itu. Ada sedikit noda darah di sana. Masih merah. Berarti luka itu masih terbuka.

Terlihat beberapa jahitan di sana, walau tak dalam, tapi luka goresan mengangga itu sudah cukup bagi Nayaka untuk merasa bersalah.

“Pelan-pelan, Ka,” desis Bahana.

“Maaf,” jawab Nayaka sambil berusaha menahan air matanya.

“Hei, jangan menangis,” kata Bahana berusaha bangkit, tapi Nayaka menekan dadanya untuk tetap berbaring.

Yang bisa dilakukannya hanya mengusapkan jemarinya ke pipi Nayaka dan mengusap air mata yang mengalir di sana.

“Jadi, will you marry me?” goda Bahana membuat Nayaka menekan dengan kuat luka itu karena kesal. Bisa-bisanya dia mengucapkan kata itu lagi.

“Aw, sakit!” Bahana kaget dengan reaksi lucu dari Nayaka.

“Jangan menggodaku makanya,” desis Nayaka dengan wajah cemberut.

Bahana tertawa dan mengelus rambutnya dengan lembut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status