Kensky memeluknya. "Berarti kau memang sudah ditakdirkan untuk hidup bahagia selamanya."
Dean balas memeluknya. "Hidupku akan lebih bahagia jika sudah memilikimu seutuhnya."
Kensky mendongak menatap Dean. "Aku mencintaimu."
Pria itu memunduk kemudian melumat bibir Kensky. Mereka berciuman. Ciuman yang panas dan membawa mereka ke atas ranjang.
Dean perlahan melepaskan gaun tidurnya, sementara Kensky dengan penuh cinta menatap pria itu dengan mata sayu akibat gairah yang bergolak. "Kau mencintaiku?" tanya Kensky.
"Sangat. Aku sangat mencintaimu."
Kensky mengalungkan kedua tangan di lehernya. "Kalau kau mencintaiku, apa kau akan menuruti semua kemauanku?"
Dean mengecup dahinya. "Apapun. Apapun itu akan kuberikan. Aku bahkan rela mati jika itu yang kau inginkan."
Wanita itu tertawa. "Aku tidak ingin kamu mati, kalau kau mati aku juga bisa mati. Aku hanya ingin satu hal darimu malam ini."
Dean menunduk untuk menjilat
Wah, gawat kalau begini.
Rebecca tak bisa berkata apa-apa. Keputusan Soraya sudah bulat dan itu artinya gadis itu rela melakukan apa saja demi mendapatkan Dean. "Soraya, kau tenang dulu. Nanti kalau Bernar sudah pulang dari Jerman, biar Mama yang akan bicara padanya." Soraya menatapnya. "Selama ini aku lihat Mama tidak ada pergerakan sama sekali. Mama terlalu takut pada Bernar, padahal bukti semuanya ada pada Mama. Harusnya Mama bisa mengambil keputusan sendiri dengan memanfaatkan semua bukti-bukti yang ada, bukannya ingin bertemu dan mendiskusikannya dengan dia. Buang-buang waktu itu namanya." Rebecca tersinggung. "Apa maksudmu, Soraya?" "Mulai sekarang urusan pernikahan adalah urusanku. Biar aku yang akan mencari cara bagaimana dia mau menikahiku. Mama urus saja urusan Mama sendiri." Soraya berlalu dan meninggalkan Rebecca sendiri di ruang makan. "Soraya! Soraya!" *** B
Kensky segera memutuskan panggilan. Tak ingin menunda waktu lagi karena memikirkan kondisi sang ayah, Kensky segera mencari kontak Dean dan menghubunginya. Dengan posisi yang masih sama ia menatap dinding sambil menunggu panggilannya terhubung. "Halo, Sayang?" sapa Dean dari balik telepon. Kensky tersenyum sayang. "Apa kabar? Apa aku mengganggumu?" "Kabarku buruk." Ekspresi Kensky mendadak berubah. "Kenapa, Sayang? Apa ada masalah di kantor?" Terdengar Dean tertawa. "Aku merindukanmu." Kensky mengendus. "Aku pikir kenapa." "Kamu sendiri sedang apa? Apa kau merindukanku?" "Aku sangat merindukanmu. Hari-hariku rasanya berat tanpamu, Dean." "Kalau begitu besok aku ke sana saja, bagaimana?" Kensky terkejut. "Jangan, Dean. Tidak usah. Justru aku yang mungkin akan ke sana." "Kau tidak perlu ke sini, Sayang. Biar aku saja yang ke sana." "Tidak, Dean. Aku ingin minta ijin padamu beberapa
Beberapa hari pun berlalu. Dengan bias cahaya terang akibat cuaca yang begitu cerah pagi itu, Dean sekarang sudah berada di dalam apartemennya dengan suasana hati yang tidak secerah langit. Ia sedang duduk sambil menatap layar laptop dengan wajah garang bagaikan hewan buas siap menerkam mangsa yang berani melewatinya."Hubungi Mr. Bla, Matt. Katakan aku ingin bicara," kata Dean tanpa menatap pria yang kini berdiri di hadapannya dengan setelan jas rapi."Baik, Bos."Dengan cepat pria itu merogoh ponsel dari saku jas dan mencari kontak Mr. Bla. Dan begitu panggilannya terhubung, Matt segera memberikan benda pipih itu kepada Dean."Ini, Bos."Dean meraihnya. "Halo?""Iya, Bos?""Apa Eduardus bersamamu?""Dia sedang istirahat, Bos.""Bagus. Jangan sampai dia mendengar pembicaraan kita," Dean beranjak dari kursi dan berdiri di depan jendela kaca, "Apa dia menanyakan alasan kenapa kau menculiknya?""Ada, Bos. Tapi aku m
Kensky terkejut. "Kenapa papi melakukan itu?" Airmatanya merebak.Soraya yang melihatnya pun berpura-pura baik dan membawa Kensky untuk duduk di sofa."Aku dan mama juga sempat kaget, Sky. Tapi kau tahu kan kondisi ayah seperti apa? Jadi begitu kami mengeluarkan ayah dari bak air, aku langsung menghubungi dokter, sedangkan mama melakukan segala cara agar ayah kembali sadar. Tapi belum sempat dokter datang, ayah sudah tidak ada. Ayah meninggal malam itu juga."Kensky semakin menangis. "Ya, ampun. Kenapa kalian tidak langsung menghubungiku? Kalau tahu akan jadi begini, malam itu juga aku langsung terbang ke sini.""Kami panik, Kensky. Kami juga sedikit takut memberitahukanmu, karena tidak ingin terjadi sesuatu padamu."Kensky terus menangis, sedangkan Soraya yang kini menatap adik tirinya tersenyum samar karena gadis itu termakan kebohongannya.Rebecca pun demikian. Meski dalam posisi sedang berpura-pura menangis, ia sesekali melirik Kensky da
Setelah berpamitan di atas pusara yang bertuliskan nama Eduardus Oxley, Kensky mengajak Soraya untuk kembali ke rumah. Sambil berjalan pelan mereka bercerita."Kau yakin ingin menikah dengan orang itu?" Soraya memulai.Kensky tersenyum sambil menatap kaki yang langkahnya menginjak rumput gajah mini. "Aku yakin. Aku sangat yakin dengan pilihan orangtuaku. Jika bagi mereka dia adalah sosok yang baik, berarti buatku juga dia pasti yang terbaik.""Kalau aku ... pasti aku tidak akan mau.""Kenapa?" tanya Kensky."Menikah dengan orang yang belum kita kenal itu berisiko, Sky. Apalagi kita sama sekali tidak memiliki rasa pada orang itu. Sama saja kita beli kucing dalam karung."Kensky tersenyum lagi. "Tapi kan cinta itu bisa tumbuh dengan sendirinya. Lagi pula aku tidak akan langsung menikah, aku ingin menjalaninya dulu. Saat ini pak Dean sudah menugaskanku di Jerman, dan beliau mempercayakanku untuk memonitor segala operasional di sana. Jadi, ada b
"Rebecca benar-benar kelewatan," geram Dean, "Hubungi Mr. Pay. Aku harus bicara dengannya."Tanpa menunggu lagi Matt langsung mencari nama Mr. Pay dalam kontak kemudian menghubunginya."Ini, Bos," kata Matt seraya memberikan ponsel itu pada Dean."Halo, Mr. Pay?" sapa Dean."Halo, Pak Dean.""Maaf telah mengganggu Anda. Ada hal penting yang harus saja sampaikan kepada Anda, Mr. Pay.""Tidak apa-apa, Pak Dean. Eh, kalau boleh tahu hal penting apa ya, Pak?"Dean mendudukan dirinya di kursi. "Soal Rebecca, dia telah membuat kuburan di belakang rumah dengan pusara yang bertuliskan nama Eduardus Oxley.""Apa? Anda tahu mana, Pak Dean?" Nada Mr. Pay terdengar kaget."Aku telah menyuruh orang untuk mematai-matai rumahnya. Sebenarnya aku tidak ingin melakukannya, tapi karena Kensky minta cuti untuk pulang karena ayahnya sekarat, aku menyuruh seseorang untuk memantau Rebecca dan anak perempuannya. Mungkin kalau aku tidak tahu mas
Di dalam kamarnya yang selalu ia rindukan selama berada di Eropa, Kensky tampak cantik dengan balutan gaun putih panjang bertali satu. Karena tahu Dean suka dengan warna putih, ia sengaja memilih gaun itu untuk pertemuannya kali ini.Meski hampir setiap hari mereka bertemu, tapi Kensky ingin sesuatu yang beda di pertemuan mereka kali ini. Apalagi malam ini mereka akan bertemu layaknya pasangan yang sudah dijodohkan. Jadi Kensky berusaha sebaik mungkin agar tidak kelihatan seperti karyawan Dean.Dan begitu pikirannya teringat pada lelaki itu, saat itulah Kensky meraih ponsel dan menghubunginya. Dengan senyum manis ia menempelkan ponsel ke telinga sambil menatap diri di cermin."Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan, cobalah___"Tut! Tut!Kensky memutuskan panggilan. "Kok ponselnya tidak aktif?" katanya pelan. Ia mencoba lagi. Jika tadi wajahnya tersenyum saat menatap cermin, kini wajah cantik itu berkerut saat balasan
Kensky ternganga. Ia menatap Rebecca dan Soraya secara bergantian. "Aku tak menyangka kalian setega ini padaku," katanya dengan suara parau."Sky, mama bisa menjelaskannya. Ini semua mama lakukan ada alasannya, Sky."Kensky menggeleng. "Apa pun alasannya Mama tetap jahat. Aku tak menyangka ternyata Mama sangat kejam daripada iblis. Selama ini Mama pura-pura baik, tapi ternyata___""Sky," sergah Rebecca. Wajahnya pucat dan nyaris menangis, "Mama tidak bermaksud melakukan ini, Nak. Ini semua ide Soraya."Mendengar namanya disebut membuat Soraya panas. "Apa-apaan Mama, hah? Bukannya Mama sendiri yang ingin menjadikan Dr. Harvey sebagai lelaki yang dijodohkan ayah pada Kensky? Kenapa sekarang malah aku yang dituduh?" Soraya menatap Kensky, "Aku memang berniat ingin mencomblangkanmu dengan Dr. Harvey, tapi ide untuk membuat Dr. Harvey sebagai lelaki yang dijodohkan oleh ayah itu idenya mama, bukan aku."Rebecca tak bisa menjawab. Dengan keadaan terpaksa