Hari sudah semakin sore, Bang Karmin bermaksud untuk pulang dari pangkalan. Teman-temannya telah pulang sejak tadi. "Duh, Neng Fitri kemana sih? Apa besok aja ya bilangnya." Bang Karmin kemudian menyalakan mesin motor. Tiba-tiba ada sebuah suara memanggilnya. Suara yang sudah familiar sejak dulu. "Maaf ya, Bang. Aku ada matkul tambahan tadi," ujar Fitri yang sadar sudah menghambat tulang ojek itu untuk pulang. "Gak apa-apa, Neng. Lagian belum malam juga," ucap Bang Karmin saat menoleh ke asal suara yang memanggilnya."Oh ya, Bang. Gimana tadi hasil penyelidikannya?" tanya Fitri penasaran.Bang Karmin mematikan kembali motornya. Ia duduk di motor dengan menghadap Fitri yang duduk di kursi panjang pangkalan."Jadi, tadi saya kan ngikutin Bu Melvi tuh dari salon, dia pergi restoran. Cuma pas saya mau ikut masuk dicegat sama satpamnya soalnya restorannya mewah, Neng. Tahu sendiri dandanan saya kayak gini. Tuh satpam tahu saya gak bakal sanggup beli makanan di sana," cerita Bang Karmin
18Setibanya di rumah sakit, Qintan dan Farid langsung menuju ke ruangan rawat. Masih ada Fitri yang setia menemani ibunya di sana."Kamu bawa apa, Qin? Padahal gak usah segala dibawa. Besok juga Ibu pulang," tanya Bu Fatimah dengan suara parau. "Ini cuma baju ganti sama makanan, Bu. Kasihan Fitri sama Mas Farid belum makan," jawab Qintan sembari menyiapkan makanan di meja. Setelah makanan disiapkan, mereka pun makan bersama. Bu Fatimah hanya menatap sembari tersenyum samar. Ada kebahagiaan tersendiri di hatinya melihat anak dan menantunya akur. "Kak, ada yang mau aku bicarakan," ajak Fitri sembari berdiri. Farid mengangguk dan berdiri. "Ibu istirahat ya, aku mau keluar dulu sebentar," pinta Fitri sebelum keluar ruangan. Bu Fatimah mengangguk pelan. Wajahnya masih pucat pasi. Ia masih sangat lemas, meskipun ingin tahu. Fitri, Farid, dan Qintan keluar ruangan untuk memberi waktu istirahat. Mereka berdiri di pinggir koridor lantai dua. Terhampar pemandangan halaman rumah sakit di
Pak Burhan segera menghubungi anaknya untuk tahu kabar istri pertamanya itu. Fitri tidak menjawab, namun Farid langsung menjawab. Ia pun langsung menuju ke rumah sakit. Motornya membelah jalanan untuk sampai ke sana. Bagaimanapun juga, ada rasa khawatir di hatinya untuk Bu Fatimah. "Mana Ibu kalian?" tanya Pak Farid sembari nyelonong masuk ke dalam ruangan rawat. Fitri menatap sinis ayahnya yang datang. Padahal ia sengaja tadi tidak ingin memberitahu keberadaan ibunya. "Mau apa ayah ke sini? Cuma mau bikin Ibu tambah sakit?" tanya Fitri sengit. "Ayah mau nengok Ibu. Mana ada niatan jelek seperti itu," jawab Pak Burhan tanpa rasa bersalah. Ia mendekat ke arah bed hospital yang ditempati istrinya. Bu Fatimah terbaring lemah di sana. Namun, ia menatap suaminya dengan lembut. Senyumnya pun mengembang walau tipis. "Makasih ya, Mas," ucap Bu Fatimah lirih. "Sama-sama, Dek. Kamu sakit apa? Kok, sampai dirawat sih?" Pak Burhan bertanya sembari duduk di kursi yang ada di dekat sana."C
Pak Burhan terpaksa menghadapi penagih hutang itu sendiri. Walaupun ia tahu akan dimarahi habis-habisan. "Bang, mau ngopi dulu?" tanya Pak Burhan sok ramah. "Gak usah basa-basi. Mana cicilan hutangmu?" Bang Beri menadahkan tangannya. "Em ... gini, Bang. Toko lagi sepi, aku juga lagi ada masalah sama supplier jadi belum ada uangnya. Kasih waktu lagi ya, Bang." Pak Burhan berusaha memberikan alasan yang masuk akal. "Gak ada! Aku gak mau makan alasan, butuhnya duit, ngerti?!" Bang Beri naik pitam. Tak habis pikir dengan Pak Burhan yang bahkan enggan mencicil hutang padanya. "Ya ... mau gimana lagi, Bang." Pak Burhan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bang Berri melihat ke arah kedua bodyguard-nya yang berbadan besar. "Masuk, ambil barang berharga di dalam!" titahnya. "Siap, Bang!" Dua lelaki berbadan kekar itu langsung masuk dan menyingkirkan Pak Burhan dengan mudah. Pak Burhan hanya bisa pasrah. Toh, melawan pun tidak akan mungkin. Wajahnya saja masih sakit karena dipukuli an
"Sudahlah, Bu. Gak usah mikirin ayah lagi," jawab Fitri saat sang ibu mempertanyakan ayahnya yang tidak kunjung menjenguk. Bu Fatimah terdiam seketika. Ia mengerti dengan kekesalan anaknya pada Pak Burhan. Memang seharusnya seorang ayah bisa jadi contoh untuk putrinya. Bukan malah sebaliknya. Hari sudah kian sore, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Qintan segera bangkit dari duduknya. Ia bahkan sudah hafal dengan ketukan suaminya di pintu. "Sudah pulang, Mas." Qintan segera mencium tangan suaminya. Mereka pun masuk bersama. Farid langsung menyalami ibunya yang sedang duduk di sofa. Mereka pun kembali duduk bersama. Saat makan malam, mereka menuju ke ruang makan. Untungnya makanan sudah tersaji oleh Qintan. Ia senantiasa melakukan semua pekerjaan rumah di sana tanpa paksaan. "Eum, aku tahu ini masakan siapa," celetuk Fitri di tengah-tengah. "Emang siapa?" tanya Qintan penasaran. Ia sih rasanya sama saja antara masakannya san ibu mertuanya. "Mbak Qintan kalau ini. Punya ciri kha
Pak Burhan sedang menghabiskan waktu dengan mereguk surga dunianya. Ia seolah lupa kalau punya istri pertama yang kemarin masih di rumah sakit. Pak Burhan terkulai lemas setelah menuntaskan hasratnya. Rasanya dunia sedang berada di genggamannya saat ini. Saking nikmatnya yang dirasakan. "Gimana, Mas? Puas kan?" tanya Bu Melvi setelah mereka selesai."Selalu, Dek. Kamu memang yang terbaik! Pokoknya service Dek Melvi gak ada duanya. Sampai pinggang Mas pegel ini," puji Pak Burhan sembari mengacungkan jempolnya. "Iya dong. Aku emang paling jago muasin lelaki. Makanya, kalau mau terus sama-sama harus kasih setorannya yang banyak," celetuk Bu Melvi terdengar seperti menagih. Bu Melvi tersenyum lebar sembari memeluk Pak Burhan. Itulah jurus andalannya saat sang suami marah atau ingin meminta uang. "Iya, iya. Tar kalau udah ada biar Mas kasih lebih buat kamu, Dek," jawab Pak Burhan dengan sedikit kesal. Istri keduanya ini persis angkot. Tergantung setoran baru bisa melayani dengan baik
"Pak, ada ibu?" tanya seorang anak gadis yang baru masuk ke halaman rumah. Pak Burhan yang hendak masuk, kembali menoleh ke belakang. Ia menatap dan mengira-ngira siapa daun muda itu. Wajahnya agak mirip dengan Bu Melvi istrinya. Tapi, hidungnya lebih mancung dan kulitnya lebih cerah. Hanya saja untuk anak seusianya badannya agak bongsor atau boros."Ada, adek siapa ya?" tanya Pak Burhan seraya menghampiri gadis itu dengan tatapan beringas. Ia bagai menemukan mangsa baru.Gadis itu memandang tak suka pada Pak Burhan. "Saya Tiana, anaknya Bu Melvi," jelas Tiana membuat ayah tirinya kecewa.Pak Burhan hanya pernah melihat anak itu sekilas saat awal menikah. Jadi, tidak begitu hafal dengannya. Berbulan-bulan menikah, anak itu juga tidak pernah datang ke rumah. Wajar saja dirinya lupa. Tiana tinggal dengan ayahnya yang merupakan mantan suami Bu Melvi. Ia lebih betah di sana dibanding bersama ibunya."Ada, Dek, ayo masuk!" ajak Pak Burhan dengan semangat. Tiana mengikuti langkah Pak B
"Bu, Ayah sebenarnya punya nazar yang ingin ditunaikan," ucap Pak Burhan di pagi hari yang cerah.Ia sedang duduk santai di meja makan sembari menunggu teh. Istrinya sedang sibuk membuat teh manis kesukaannya. "Wah, nadzar apa, Yah? Kalau untuk kebaikan, nazar yang mendekatkan diri pada Allah tentu Ibu setuju." Bu Fatimah tersenyum. Tangannya mengaduk teh manis untuk sang suami. Rutinitas pagi yang selalu dilakukannya untuk lelaki yang sudah berusia kepala lima itu. Ia selalu mendukung segala hal baik yang dilakukan suaminya. Terlebih hal itu semakin mendekatkan suaminya pada Sang Pencipta. "Tentu, ini adalah sebuah kebaikan yang harus disegerakan. Ayah ingin membantu seseorang." Pak Burhan berkata dengan sumringah. "Memang Ayah nazar apa?" tanya Bu Fatimah sembari meletakan cangkir teh pada piring kecil untuk diserahkan pada suaminya. "Nazar jika Ayah sukses dan mapan akan berpoligami seperti sunnah Rasulullah. Gimana ? Baik kan?!" Pak Burhan berkata dengan begitu entengnya. P