Jevandro menggelengkan kepalanya pelan. Pastilah ini hanya halusinasi semata. Mungkin karena ia kurang tidur semalam, pikirannya menjadi terlalu liar, menciptakan kesamaan yang seharusnya tidak ada. Gadis muda ini—dengan rambut panjang yang tergerai lembut dan wajah yang menyimpan keheningan mendalam—mungkin hanya sekadar orang asing. Tidak ada hubungannya dengan mimpinya. Jevandro menarik napas panjang, lalu dengan cepat melepaskan genggamannya dari lengan gadis itu. Ia harus kembali fokus. Urusan perusahaan jauh lebih penting daripada memikirkan hal yang tak masuk akal.Tanpa menoleh lagi, ia memanggil Mateo, asisten kepercayaannya. “Mateo, kemari!”Mateo segera melangkah mendekat dengan sigap, sedikit bingung dengan perubahan ekspresi bosnya. “Ya, Tuan Jevandro?”Jevandro mengarahkan dagunya ke arah gadis itu. “Tanyakan apa keperluannya di Verdant Group. Pastikan dia mendapatkan bantuan yang dibutuhkan.”Mateo mengangguk, meski di dalam benaknya muncul berbagai pertanyaan. Men
"Silakan duduk," kata Bu Marisa, membimbing Serin dengan lembut ke kursi yang berhadapan dengannya."Apakah Anda membawa berkas lamaran?"Serin menggelengkan kepala. "Tidak, Bu. Saya langsung datang ke kantor tanpa sempat mampir ke rumah."Bu Marisa mengangguk mengerti. "Tidak masalah. Saya sudah membuka file lamaran Anda di laptop."Telinga Serin mendengar jari-jemari Bu Marisa yang mengetik di atas keyboard, disertai suara gesekan lembut mouse yang digerakkan. "Saya membaca di sini bahwa Anda adalah lulusan terbaik di SMA, dan menguasai tiga bahasa asing. Itu adalah pencapaian yang bagus.Serin menahan senyum. Ia jarang mendapatkan pujian, sebab sebagian besar orang lebih sering menyoroti keterbatasannya dibandingkan prestasinya.“Kenapa Anda tidak melanjutkan ke universitas?” tanya Bu Marisa ingin tahu.“Karena … saya mengalami kecelakaan dan kehilangan penglihatan, Bu. Saya sudah diterima di jurusan bisnis, tetapi saya mengundurkan diri,” ungkap Serin apa adanya. Bahu gadis itu s
Di ruang CEO, Kenan duduk di balik meja kerjanya yang tertata rapi. Tumpukan berkas laporan tersusun di satu sisi, sementara laptopnya terbuka, menampilkan angka-angka serta grafik yang menjadi bagian dari laporan keuangan proyek yang sedang ia periksa. Alis lelaki itu sedikit berkerut, matanya yang tajam menelusuri setiap detail laporan dengan penuh konsentrasi. Sesekali, jemari Kenan mengetuk pelan permukaan meja, sebuah kebiasaan yang sering muncul saat pikirannya sibuk menganalisis sesuatu. Saat itu, notifikasi email berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Kenan sekilas melirik layar laptopnya dan membaca subjek email yang baru saja ia terima: "Kandidat Sekretaris"Pesan itu dari Gavin. Namun, Kenan mengabaikannya.Ia masih tenggelam dalam pekerjaan, memeriksa laporan yang tak kunjung habis. Bagi Kenan, urusan sekretaris baru bukanlah prioritas utama saat ini. Beberapa menit kemudian, suara ketukan terdengar di pintu ruangannya. Kenan tidak perlu bertanya siapa itu. Ia sudah
Serin duduk dengan tenang di dalam sebuah taksi yang melaju di antara hiruk-pikuk kota. Di sebelahnya, seorang bocah laki-laki duduk sambil memainkan botol air mineral, sesekali ia melihat ke luar jendela dengan tatapan polos. Tristan, keponakannya, baru saja dijemput dari sekolah setelah ia menyelesaikan wawancara di Verdant Group. Serin menoleh ke arah Tristan. Meski matanya tidak bisa melihat, ia bisa merasakan kehadiran bocah itu dengan sangat jelas—aroma khas anak-anak yang masih segar, suara napasnya yang tenang, dan gerakan kecil yang selalu membuatnya merasa nyaman. “Tristan, boleh Tante bertanya sesuatu?” tanya Serin memegang tangan kecil sang keponakan.Tristan menoleh, suaranya lembut dan penuh rasa ingin tahu. “Apa, Tante?”Serin menggigit bibirnya, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. “Jika suatu hari nanti… Tante mengajakmu pindah ke rumah yang lebih sederhana, apakah kamu mau?”Tristan terdiam sejenak, lalu tanpa ragu mengangguk. “Mau, Tante. Aku akan ikut
Jevandro tengah bersiap-siap di dalam kamarnya. Pagi ini, ia mengenakan kaus lengan panjang yang membalut tubuh tegapnya, dipadukan dengan celana jeans hitam. Ia terlihat sangat berbeda dari penampilannya yang biasa, ketika sedang menjadi CEO perusahaan. Setelah dirinya siap, Jevandro mengambil kunci mobil dan beranjak keluar dari kamar. Saat menuruni tangga menuju ruang makan, ia mendapati kedua orang tuanya baru saja keluar dari kamar. Langkah Suri terhenti begitu melihat putranya duduk lebih dahulu di meja makan. “Jevan, pagi-pagi begini kamu mau ke mana?” tanyanya dengan nada heran. “Aku sedang cuti, Ma. Aku akan mengantar Liora ke yayasan. Hari ini, dia akan berangkat bersama timnya ke luar kota," jawab Jevandro seraya menuang jus jeruk ke dalam gelas.Suri mengangguk paham, lalu tersenyum lembut. “Mama hampir lupa. Kalau begitu, tunggu sebentar. Mama sudah menyiapkan satu tas penuh kue untuk Liora dan teman-temannya.”“Terima kasih, Ma,” ucap Jevandro,Romeo, yang sejak tad
Jevandro berdiri sendirian di terminal kedatangan. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, sementara matanya terus mengawasi pintu otomatis yang sesekali terbuka, memperlihatkan para penumpang yang baru saja turun dari pesawat. Suasana bandara pagi ini cukup ramai. Orang-orang berlalu lalang dengan koper mereka, beberapa di antaranya bertemu keluarga yang menyambut dengan pelukan hangat.Jevandro menghela napas perlahan. Sudah hampir satu tahun sejak terakhir kali ia melihat adiknya, Rakyan. Waktu itu, mereka hanya bertemu sebentar ketika Rakyan kembali ke kota ini. untuk menghadiri ulang tahun pernikahan orang tua mereka. Ia melirik arlojinya. Setengah jam hampir berlalu, tetapi Rakyan belum juga muncul.Dan tepat pada saat itu, di antara kerumunan yang keluar dari pintu kedatangan, Jevandro menangkap sosok yang begitu familiar.Seorang pria muda tampan dengan jaket cokelat dan kacamata hitam, berjalan santai sambil mendorong koper hitam. Rambut tebalnya sedikit berantakan, teta
Di balik kemudi, Jevandro melirik adiknya yang duduk di kursi penumpang. Rakyan terlihat tidak sabar, sesekali menoleh ke luar jendela, matanya berbinar seperti anak kecil yang akhirnya pulang ke rumah setelah lama merantau. Di luar, matahari semakin meninggi, membingkai cahaya menyilaukan yang terpantul di kaca jendela mobil.Begitu mobil mendekati gerbang besar mansion keluarga Albantara, para penjaga segera bergerak. Salah seorang dari mereka mengenali mobil Jevandro, dan langsung memberi tanda kepada rekannya. Gerbang tinggi itu perlahan bergerak, menciptakan derit lembut yang seolah menyambut kedatangan dua putra keluarga Albantara.Rakyan tersenyum lebar. Matanya menelusuri bangunan megah di depan sana, halaman luas yang rindang dengan ari mancur kecil, tanaman hias dan bunga-bunga yang telah menjadi bagian dari masa kecilnya."Akhirnya, aku pulang juga," gumam Rakyan, lebih kepada dirinya sendiri. Sedangkan, Jevandro yang mendengar hanya tersenyum simpul. Mobil itu terparkir
Jeandra melajukan mobilnya perlahan, saat gerbang Pradipta Group tampak di hadapannya. Gedung berlantai sepuluh yang berdiri di tengah pusat bisnis itu, menjulang tinggi dengan struktur beton yang kokoh. Pintu gerbangnya dijaga ketat oleh beberapa petugas keamanan berseragam hitam, menunjukkan bahwa tempat ini bukanlah perusahaan sembarangan. Ketika mobilnya mendekat, salah seorang petugas keamanan melangkah maju, mengangkat satu tangan untuk memberi isyarat agar Jeandra berhenti. "Selamat pagi, Nona. Siapa nama Anda dan ada keperluan apa?" tanya petugas itu. Buru-buru, Jeandra meraih kacamata tebal berbingkai hitam yang sudah ia siapkan sebelumnya. Sekali lagi, ia memastikan bahwa rambutnya tetap rapi dalam kuncir ekor kuda sederhana.Perlahan, ia menurunkan kaca jendela dan menampilkan senyumnya yang ramah. “Saya Jeandra. Kandidat sekretaris yang akan mengikuti wawancara hari ini.”Sambil berkata demikian, Jeandra menyerahkan kartu identitas yang telah dipersiapkan. Petugas ke
Tepat pukul dua belas siang, Jeandra berjalan keluar dari ruang rapat dengan langkah tegap. Ia lebih dulu melangkah menuju lift, tak ingin menoleh ke belakang meski ia tahu dua pria itu—Kenan dan Gavin—masih tertinggal.Jeandra berdiri di dalam lift, merapikan setelan kerja yang tadi sempat kusut karena duduk terlalu lama. Namun, ketika pintu mulai menutup, Kenan dan Gavin masuk menyusul.Jantung Jeandra berdetak lebih kencang ketika Kenan memilih berdiri di sisinya, begitu dekat hingga ia bisa mencium parfum mahal yang biasa digunakan pria itu. Diam-diam, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hatinya yang mulai resah.Setiba di lantai kantor eksekutif, Jeandra buru-buru menuju meja kerjanya. Tangannya bergerak membuka wadah makan siangnya, yang sudah disiapkan oleh pelayan mansion sejak pagi. Namun, ia sengaja belum menyentuhnya, menunggu kemungkinan Kenan dan Gavin keluar lagi untuk makan bersama. Tak disangka, hanya Gavin yang keluar—dengan senyum simpul dan ekspresi
Sinar matahari yang mulai condong ke barat, mengiringi langkah Serin keluar dari rumah sakit. Gadis itu memakai pakaian sederhana dan scarf tipis yang menutupi lehernya. Tubuhnya masih sedikit lemah, tetapi rona pucat di pipinya mulai tergantikan dengan semburat lembut kehidupan. Di sisinya, berdiri Jevandro—dengan tatapan penuh kewaspadaan. Gerakan tangan lelaki itu sigap dan kokoh, memberikan semacam ketenangan yang sulit dijelaskan.Jevandro sempat melirik ke arah jalanan, memastikan bahwa mobil yang dikemudikan sopir pribadinya sudah terparkir tepat di depan lobi. Ia menggamit lembut tangan Serin, membimbingnya menuju mobil hitam berkelas yang pintunya telah dibukakan sopir.Sesaat setelah keduanya duduk di dalam mobil, Jevandro memerintahkan sopir untuk menjalankan kendaraan. Namun, baru beberapa blok meninggalkan rumah sakit, pria itu tiba-tiba mengangkat tangan, memberi isyarat kepada sopirnya.“Berhenti di toko buah di depan,” titahnya tegas.Serin menoleh ke arah Jevandro de
Hampir satu jam setelah kejadian memalukan tadi pagi, Jeandra duduk dengan tenang di balik meja kerjanya. Ia berusaha menenggelamkan diri dalam laporan-laporan dan data pendukung untuk meeting.Ia merasa sedikit lega—paling tidak Kenan belum juga memanggilnya. Tidak ada perintah, tidak ada ketukan pintu, dan tidak ada suara panggilan lewat interkom. Kedamaian itu memberi ruang bagi Jeandra untuk menata kembali hati dan pikiran. Namun, ketika jarum jam menunjukkan pukul sepuluh lewat lima menit, Jeandra mendengar derap langkah kaki yang mendekat, membuatnya mengangkat wajah.Pintu ruang CEO terbuka lebar, dan keluarlah Kenan dengan penampilan rapi dan ekspersi tenang, diikuti Gavin yang berjalan setengah langkah di belakangnya. Tanpa menoleh, Kenan langsung memberi perintah, nadanya pendek tetapi tegas.“Jeandra, ikut saya ke ruang meeting.”Jeandra pun segera berdiri, mengangguk sopan. “Baik, Pak.”Dengan cekatan, ia mengambil iPad-nya, dua berkas presentasi, pena digital, dan buku a
Tubuh Jeandra tersentak saat menyadari posisinya—ia masih duduk di pangkuan Kenan. Dalam satu gerakan panik, Jeandra segera beranjak dari pangkuan pria itu, berdiri tegak dengan kedua tangan merapikan blazernya.Lekas saja Jeandra menundukkan kepala, enggan bertemu dengan tatapan Gavin yang masih terpaku di ambang pintu. Alhasil, pandangan Gavin beralih pada Kenan, berharap ada penjelasan yang masuk akal dari atasan sekaligus sahabatnya itu. Kenan, dengan sedikit canggung, berdehem pelan sambil pura-pura membetulkan letak dasi yang dipasangkan oleh Jeandra. Ia menggeser kursinya, lalu menatap Gavin dengan wajah datar. “Jangan berpikiran macam-macam,” sangkalnya. “Aku hanya meminta bantuan Jeandra untuk memasangkan dasi. Dia terjatuh karena mendengar kau membuka pintu tiba-tiba.”Nada suaranya seolah ingin mengakhiri spekulasi yang mungkin terlanjur muncul di kepala Gavin.Jeandra mengangguk cepat, membenarkan ucapan Kenan. Kemudian, ia mencari kesempatan untuk bisa pergi dari ruanga
Di mansion keluarga Albantara, langkah Jeandra terdengar tergesa menuruni tangga. Gaun formal berlapis blazer merah yang ia kenakan, berayun ringan mengikuti gerakan tubuhnya. Wajah cantiknya masih segar, siap untuk kembali menjalani harinya sebagai sekretaris Kenan—dengan identitas palsu yang harus terus dijaga.Begitu tiba di ruang makan, Jeandra melihat kedua orang tuanya sudah duduk di meja panjang, ditemani Rakyan yang tengah sibuk menyendokkan sereal ke dalam mangkuk. Aroma roti panggang memenuhi udara, menambah kehangatan pagi itu.Jeandra segera duduk di kursi, mengambil segelas jus jeruk. Namun, belum sempat ia menyeruputnya, suara Suri menggema di ruangan itu."Serin masuk rumah sakit semalam, Jeandra."Gelas di tangan Jeandra nyaris terjatuh. Ia mendongak dengan sorot mata terkejut. "Apa?" tanyanya buru-buru, menatap sang ibu. "Serin sakit apa, Ma?"Suri menatap putrinya, sambil menyodorkan sepotong sandwich dan semangkuk salad segar.“Jevan bilang mata Serin nyeri dan kep
Pukul tujuh tepat, Serin terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya yang berat bergetar, sebelum akhirnya terbuka perlahan.Sekilas, Serin melihat bias matahari pagi yang menerobos lewat sela-sela tirai. Di tengah kesadarannya yang masih kabur, ia mendengar suara berat yang familiar—suara Jevandro—tengah berbicara melalui telepon di sudut ruangan.Suaranya terdengar tenang, tetapi dari kata-kata yang meluncur, Serin bisa menebak bahwa pria itu sedang berbicara dengan orangtuanya. Pastilah mereka sedang bertanya mengenai kondisinya di rumah sakit.Serin terdiam sesaat, sengaja tidak bergerak hingga Jevandro selesai berbicara. Namun, pintu kamar rawat itu mendadak terbuka, memperlihatkan seorang petugas rumah sakit yang datang dengan senyum ramah. Ia mendorong troli kecil berisi sarapan pagi. Aroma nasi goreng hangat, serta setangkup roti panggang dengan selai stroberi menyeruak memenuhi udara. Membuat perut Serin yang kosong langsung mengerut lapar.Jevandro segera mengakhiri teleponnya
Dalam keheningan kamar VIP, perlahan-lahan kelopak mata Serin mulai bergetar, seakan berusaha menembus kabut kesadaran yang berat. Dengan napas yang masih lemah, ia membuka mata, beradu dengan cahaya menyilaukan yang menyambutnya.Dunia yang awalnya samar-samar menjadi kian jelas di hadapannya. Aroma antiseptik serta rasa berat pada tangan kirinya, segera memberi petunjuk pada Serin bahwa ia tidak lagi berada di kamar apartemen.Kesadarannya yang telah pulih, membawa Serin pada sebuah pemandangan yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bagaimana tidak.Di sampingnya, dalam pelukan yang masih erat, seorang pria terlelap dengan napas teratur.Jevandro Albantara.Pria itu tampak berbeda dari sosok CEO dingin dan dominan yang biasa ia kenal di kantor. Kini wajahnya terlihat damai, tenang, bahkan hampir mengundang rasa kasihan, dengan jejak kelelahan yang membayang di garis rahangnya yang kokoh.Serin membeku beberapa detik, tubuhnya kaku antara rasa malu dan terkejut.Dengan gerakan seh
Di kamarnya yang sunyi, Jevandro masih menempelkan ponsel di telinga, memanggil-manggil nama Serin dengan suara cemas. Namun dari seberang, hanya hening yang ia dapatkan. Tak ada jawaban, tak ada suara, hanya desis samar napas yang akhirnya menghilang. Merasakan firasat buruk yang mencengkeram hatinya, Jevandro segera mengakhiri panggilan. Ia melirik sekilas ke jam di layar ponsel—pukul setengah sebelas malam. Tak ingin menunda sedetik pun, Jevandro menyambar jaket yang tergantung di sandaran kursi, lalu meraih kunci mobil. Dengan langkah lebar penuh kegelisahan, ia meninggalkan kamar.Suasana mansion telah sunyi, hanya sesekali terdengar derit angin malam menerpa pepohonan di taman. Semua penghuni telah terlelap dalam damai, kecuali Jevandro yang kini bergegas menuruni tangga. Ia membuka pintu depan, mengabaikan dinginnya udara yang menerpa kulit. Tanpa ragu, Jevandro menyalakan mesin mobil, suara raungannya memenuhi halaman mansion. Dalam sekejap, mobil itu melesat membelah malam
Jeandra menaiki tangga mansion yang sunyi, membiarkan waktu melambat di bawah langkahnya. Di depan pintu kamar Jevandro, ia mengetuk pelan. Hanya sekali, seolah memberitahu bahwa ia datang bukan untuk bertengkar, melainkan untuk berbicara dari hati ke hati.Tak berapa lama, pintu itu berderit terbuka, memperlihatkan wajah Jevandro yang diterpa cahaya lampu kamar. "Masuklah," ujar Jevandro datar.Jeandra mengangguk, lalu memilih duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Sementara Jevandro mengambil tempat di tepi ranjang, membiarkan kedua sikunya bertumpu pada lutut.Mata Jeandra tanpa sadar melirik ke arah nakas, di mana sebuah bingkai foto berhias ukiran halus menampilkan wajah manis Liora. Bahkan di dinding kamar, tergantung potret besar Liora yang menatap dunia dengan mata cerah penuh kehidupan.Hatinya tercubit perih — terlalu jelas, terlalu nyata, bahwa cinta Jevandro pada sang kekasih sangatlah besar."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Jevandro, suaranya sedikit serak.Jeandra