MasukAlis Nolan berkerut, saat melihat tubuh pelayan itu bergetar. Ntah kenapa intuisinya mengatakan jika pelayan itu adalah Alina istrinya.
Tiba-tiba suara berat Kai memecah suasana. "Cepat kalian bawa pelayan tidak berguna itu!! Dan suruh petugas kebersihan untuk membereskan kekacauan ini!" Kaiden adalah salah satu pemilik saham terbesar di klub ini, semua orang tahu termasuk para pelayan. Mereka dengan patuh langsung membawa Alina keluar dari ruangan itu. Alina sendiri hanya bisa pasrah, saat tubuhnya di seret keluar oleh beberapa pelayan yang lain. "Kamu mau bersenang-senang tanpa ku dan bayi kita ya ... " Ucapan Ghea masih terus berputar di otaknya. Hati Alina berusaha menyangkal fakta yang terjadi, tapi ingatannya masih memutarkan adegan saat suaminya menatap Ghea penuh cinta. "Nggak mungkin-kan kalau selama ini Nolan mengkhianati ku," gumam Alina yang sekarang ini sudah berada didalam kamar mandi. Hatinya sakit, seperti di tusuk-tusuk oleh pisau. Dia sudah beberapa kali mencuci wajahnya, tapi air matanya masih terus mengalir membasahi kedua pipinya. Tatapannya mengarah ke cermin, ia bisa melihat dengan jelas, betapa menyedihkannya wajahnya sekarang ini. Bayangan-bayangan masa indah bersama dengan Nolan berputar di dalam benaknya, suaminya pernah berjanji hanya akan mencintainya seumur hidup. Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, Ghea yang hamil sekitar 8 bulanan masuk. Ia menatap Alina dengan tatapan mengejek, lalu mengalihkan pandangannya untuk masuk ke dalam bilik kamar mandi. Alina yang tidak tahan mencekal lengan Ghea, "Siapa ayah dari bayi yang kamu kandung?" tanya Alina. Ghea menaikkan salah satu sudut alisnya, "Tentu saja suamiku. Memangnya ada urusan apa sama kamu?" "Suami?" Ulang Alina. Ghea mengangguk. "Suamiku adalah Nolan Anjasmara, pendiri sekaligus pemilik dari NG Grup." Tangan Alina yang sedang memegang pergelangan tangan Ghea pun terlepas. 'NG Grup bukankah perusahaan cabang milik Kaiden Grup.' "Nggak mungkin perusahaan itu milik Nolan?" Alina linglung dan berbicara sendiri. Ghea yang memang ingin buang air kecil, segera masuk ke dalam kamar mandi, tanpa memperdulikan Alina. Alina merasa separuh tenaganya sudah menghilang. Ia memilih segera keluar dari dalam kamar mandi klub, rasanya ia tidak sanggup lagi menerima fakta menyakitkan tentang suaminya, jika bertemu dengan Ghea. Pikirannya sekarang ini kacau. Dengan langkah terhuyung, akhirnya ia memesan taksi untuk pulang. Keesokan paginya, Alina terbangun saat merasakan sebuah pelukan hangat. "Nolan ... " Panggilnya, suaranya sedikit terkejut. "Kok kamu terkejut sih! Kamu nggak senang melihatku pulang," sahut Nolan dengan senyuman tipis. Alina menggeleng, pikirannya melayang saat semalam di klub. Tangannya tanpa sadar mencengkram seprai, sebelum bisa memastikan perselingkuhan suaminya dan mendapatkan bukti. Ia harus tetap bersikap seperti biasa, agar suaminya tidak curiga. Jadi diam-diam ia bisa mengambil bukti. Nolan mendekat, dan ingin mencium bibir Alina. Tapi Alina segera mendorong dada Nolan. Alis Nolan mengerut karena bingung dengan perubahan sikap istrinya, biasanya saat ia pulang Alina akan bersikap manis manja, bahkan selalu menempel padanya. Alina yang melihat kerutan di dahi suaminya lantas berkata, "Aku baru bangun tidur belum gosok gigi. Aku gosok gigi dulu!" Nolan mengangguk dan tidak menaruh curiga. Alina masuk ke dalam kamar mandi, tapi ia lupa kalau semalam ia menstruasi. Ia berniat keluar kamar mandi untuk mengambil pembalut, tapi sebelum benar-benar keluar kamar mandi. Ia malah mendengar percakapan suaminya dengan ibunya. "Sebulan lagi, Ghea melahirkan. Kamu harus segera menyelesaikan masalah warisan Alina. Lalu menceraikannya." Suara Rita dari ponsel Nolan terdengar jelas di telinga Alina. Kedua bola mata Alina membulat sempurna, ia merasa terkejut tentang ibu mertuanya yang ternyata mengenal Ghea. Kalau Rita mengenal Ghea, berati selama ini ibu mertuanya sudah tahu kalau suaminya berselingkuh, dan diam-diam malah memberikan dukungan. Walaupun Rita membencinya, apakah hal itu harus di benarkan? Air mata tak kuasa luruh dari kedua pelupuk mata Alina, tapi akhirnya ia menyadari, jika dirinya wanita yang tidak sempurna tidak bisa hamil dan melahirkan. Mengingat kekurangannya, Alina pun segera menghapus air matanya. Alina merasa sedikit bingung, saat ibu mertuanya menyinggung tentang warisannya pada suaminya. Seingatnya, waktu kecil ia tinggal di panti asuhan, lalu diadopsi oleh keluarga Nolan. Ia sama sekali tidak bisa mengingat apapun selain itu. "Ibu tenang saja! Beberapa hari lagi, urusan warisan keluarga Alina pasti sudah berpindah ke tanganku seluruhnya." Sahut Nolan dengan suara datar. "Baguslah kalau begitu. Tapi kamu jadi untuk menceraikannya bukan?" tanya Rita dari balik telepon. Nolan malah mengalihkan pembicaraan, "Kalau sudah tidak ada hal lagi yang ingin ibu bicarakan. Aku akan tutup teleponnya." Suara Rita dari balik telepon terdengar meninggi dan tidak senang, "Apakah kamu nggak ada niat untuk meninggalkan si mandul itu? Bagaimana pun juga, ayahnya Alina sudah membunuh ayah ... " Ucapan Rita terhenti, saat Nolan menyela ucapannya. "Baiklah aku tutup dulu teleponnya." Alina mengurungkan niatnya untuk mengambil pembalut, ia memilih segera mandi. Alina sedikit bingung, setelah mandi, ia merasa kalau darah menstruasinya berhenti. Biasanya hari pertama menstruasi, dia akan mengeluarkan banyak darah. Tapi kenapa sekarang ia merasa bagian intimnya terasa kering. Setelah keluar kamar mandi dengan menggunakan handuk, Alina masuk ke ruang ganti. Ia memilih tetap menggunakan pembalut. Setelah berpakaian rapi, ia turun ke bawah dan disana ia mendapati Nolan sudah duduk di ruang makan. Dari kejauhan, Alina tidak melihat ekspresi aneh suaminya. Suaminya bersikap normal seperti biasanya. Jantung Alina seperti di remas, "Apakah selama ini Nolan memang menipuku? Diam-diam, menyakitiku diluar sana." Alina mengambil napas dalam-dalam, lalu menghembuskan nya. Setelah bisa menyembunyikan emosinya, Alina berjalan ke arah meja makan. "Alina, aku memasakkan nasi goreng udang kesukaanmu!" titah Nolan dengan senyuman hangat, ia berjalan ke arah Alina, lalu menarik tangannya dengan lembut. Tak lupa menarik-kan kursi makan untuk istrinya penuh perhatian. Jika biasanya Alina begitu senang menerima perhatian suaminya seperti ini. Tapi sekarang ia merasa seperti ada duri yang menusuk hatinya, membayangkan suaminya selama ini berduaan dengan Ghea di ranjang sampai membuat wanita itu hamil. Rasa sakit menghujam dada Alina. "Kok nggak di makan!" tegur Nolan.Teman Risma, Freya menyahut, "Alina itu mandul. Pantas saja, kak Nolan memilih kak Ghea." Risma berkata dengan nada dingin, "Sebenarnya Alina itu nggak mandul. Kakakku selama ini selalu mencampurkan obat pencegah kehamilan pada minuman Alina setelah keduanya melakukan hubungan suami istri." Alina mengeratkan pegangannya pada tas ditangannya. Rasanya tubuh dan juga hatinya sakit, seperti di jatuhkan dari ketinggian. "Jadi selama ini Nolan sengaja membuatku nggak bisa hamil." Gumamnya, ia teringat beberapa cacian dan hinaan yang di lontarkan oleh keluarga besar suaminya tentang dirinya yang tak kunjung hamil. Hal itu sangat menyakitkannya, tapi beberapa kali Nolan membelanya didepan keluarga besarnya. "Nggak mungkin kalau Nolan selama ini memberikan obat padaku, pasti Risma bohong karena selama ini dia paling membenciku." gumam Alina dalam hatinya. "Risma, aku tahu kamu nggak mungkin bicara omong kosong. Tapi kenapa kakak mu nggak membiarkan Alina hamil anaknya?" tany
Kaiden tidak terkejut, saat melihat respon Alina. Karena tak sabar dengan langkah kaki Alina yang lambat seperti siput, lantas Kaiden pun menggendong Alina horizontal ke kamar yang ada di lantai atas. Setelah sampai kamar, Kaiden melemparkan Alina ke ranjang. Ia yang sudah di kuasai napsu sulit mengendalikan dirinya, ia langsung menindih tubuh Alina. Saat ingin membuka bajunya, Alina berkata dengan nada sedikit berteriak. "Tunggu, aku sedang datang bulan! Jadi aku nggak bisa melayani mu." Kaiden mengangkat satu alisnya, "Apakah kamu berniat membohongi ku?" Alina menggeleng, tapi ia tidak berani menatap Kaiden. "Aku tidak berani membohongi mu." Kaiden bangkit. Sementara Alina menghembuskan napas kasar, ada sedikit rasa lega. Karena hari ini ia tidak akan melayani napsu Kaiden yang gila. Baru saja bernapas lega dan bersiap bangkit, Kaiden malah menarik kedua kakinya, lalu menarik celana dalamnya. Tanpa rasa jijik dan hanya wajah datar sangar yang di tunjukkan,
Alina mendongakkan wajahnya, mata hazelnya beradu dengan bola mata hitam Nolan. Dari pada di tegur suaminya lagi, Alina memilih segera menyendok nasi goreng di depannya. Tangan kirinya tiba-tiba di genggam Nolan dengan lembut, "Kamu kurusan, kamu harus makan yang banyak." Alina mengangguk patuh, dan membiarkan tangannya di genggam suaminya. Walaupun ada rasa tidak nyaman yang menderanya. Suasana pun hening. Sebenarnya Nolan bisa merasakan perubahan kecil dalam diri istrinya, tapi teringat kalau istrinya selama ini sangat sibuk bekerja apalagi menjadi sekretaris Kaiden yang super sibuk. Nolan memilih untuk membuang pikirannya dan menganggap sikap aneh Alina sekarang ini, karena istrinya itu kecapean banyak bekerja. Semalam ia sempat mengira, kalau pelayan yang menjatuhkan minuman itu adalah Alina. Tapi sebelum pulang, ia mematikan dengan mendatangi HRD klub dan meminta identitas pelayan itu. Akhirnya ia bisa bernapas lega, kalau pelayan itu bukan istrinya yang meny
Alis Nolan berkerut, saat melihat tubuh pelayan itu bergetar. Ntah kenapa intuisinya mengatakan jika pelayan itu adalah Alina istrinya. Tiba-tiba suara berat Kai memecah suasana. "Cepat kalian bawa pelayan tidak berguna itu!! Dan suruh petugas kebersihan untuk membereskan kekacauan ini!" Kaiden adalah salah satu pemilik saham terbesar di klub ini, semua orang tahu termasuk para pelayan. Mereka dengan patuh langsung membawa Alina keluar dari ruangan itu. Alina sendiri hanya bisa pasrah, saat tubuhnya di seret keluar oleh beberapa pelayan yang lain. "Kamu mau bersenang-senang tanpa ku dan bayi kita ya ... " Ucapan Ghea masih terus berputar di otaknya. Hati Alina berusaha menyangkal fakta yang terjadi, tapi ingatannya masih memutarkan adegan saat suaminya menatap Ghea penuh cinta. "Nggak mungkin-kan kalau selama ini Nolan mengkhianati ku," gumam Alina yang sekarang ini sudah berada didalam kamar mandi. Hatinya sakit, seperti di tusuk-tusuk oleh pisau. Dia sudah beb
Alina menggelengkan kepalanya, "Nggak mungkin. Anda pasti bohong!" Kai malah mencium bibirnya dan membisikkan sesuatu padanya. "Menurutmu apa untungnya aku membohongimu?" Setelah itu, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Alina, keduanya saling bertatapan. Alina menyadari, jika ucapan Kai ada benarnya. Atasannya itu memang tidak akan mendapatkan keuntungan apapun setelah memberitahunya tentang perselingkuhan suaminya. Kai yang melihat Alina sudah mempercayai ucapannya, lantas mengeluarkan senyuman tipis. "Apakah kamu ingin melihatnya sendiri?" Pertanyaan dari Kai barusan hampir saja membuat tubuh Alina jatuh, bagaimana tidak. Tiba-tiba ingatan Alina memutarkan saat suaminya Nolan membantunya memasak dan berkebun di rumah. Bahkan suaminya selalu bertanya padanya, "Alina apakah kamu bahagia?" Setelah mengingat semua momen bahagia itu, Alina yakin kalau Kai membohonginya. "Iya aku ingin tahu, karena aku sama sekali nggak mempercayai ucapanmu!" ujarnya dengan wajah yakin,
Alina Nigel membuka matanya, ia terkejut saat mendapati dirinya berada di tempat asing. Kepalanya berdenyut, ia berusaha melihat dengan jelas siapa pria yang sekarang ini menindihnya, mengingat suaminya Nolan Anjasmara tidak pernah menggunakan parfum beraroma kayu yang manis. "Presdir Kai ... " celetuk Alina, setelah dirinya bisa melihat dengan jelas, tampang pria yang menindihnya. "Kenapa? Bukankah semalam kamu memintaku untuk memuaskan mu beberapa kali?" ujar Kai dengan senyuman ambigu. Alina memegang kepalanya, sontak ingatan semalam terus berputar di kepalanya. "Nggak mungkin ... " ujar Alina, tapi suaranya berganti dengan suara desahan, karena Kai dengan semangat menciumi lehernya. "Pak Presdir, tolong berhenti. Tindakan kita berdua itu salah, saya sudah punya suami dan anda sudah punya tunangan," pinta Alina dengan suara polos. Kai tersenyum tipis mendengar ucapan Alina, tak kuasa menahan geli. Dengan lembut, ia mengangkat rambut Alina, ingin memastikan ta







