Tubuh Anjani membeku di ambang pintu dengan mata berkaca. Sekali lagi hatinya diremas begitu kuat hingga menyisakan nyeri. Tangannya yang memegang handel pintu meremas benda itu kuat. Hatinya bergemuruh marah.
Celah sedikit yang ia ciptakan mampu melihat dengan jelas apa yang dilakukan Farhan di dalam sana. Pria itu sedang menciumi sebuah foto, entah itu foto siapa. Dan Anjani yakin itu adalah foto seorang wanita. "Aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak bisa menikahimu. Aku sangat menginginkanmu, tapi aku tidak bisa memilikimu.“ Suara Farhan di dalam sana menyayat hati Anjani begitu kejamnya. Tubuhnya lemas saat melihat Farhan membuka kemeja kerja dan celana panjangnya. Kakinya semakin lemas saat melihat adegan demi adegan saat Farhan mencumbu foto serta melakukan hal tak pantas lainnya. Pantas Farhan tak pernah menyentuhnya. Pantas Farhan selalu menolak sentuhannya. Ternyata lelaki itu mencintai wanita lain. Adegan demi adegan yang ia saksikan seperti tusukan belati yang menghujam hati serta jiwa. Perlahan ia kembali menutup pintu saat hatinya tak kuat menyaksikan lebih lama. Anjani berbalik dan berlari menuju kamarnya yang ada di lantai atas. Mengetahui fakta menyakitkan seperti itu membuat air matanya tak terkendali. Hatinya sungguh sesak, sakitnya menusuk sampai ulu hati. Sampai di dalam kamar Anjani langsung menutup pintu dan mengunci pintu tersebut. Tubuhnya luruh menyentuh lantai dingin. Tangannya memukul dada yang terasa sesak. Ketika ditolak hatinya memang sakit, tetapi jauh lebih sakit saat tadi menyaksikan perbuatan menyimpang suaminya. Bercumbu dengan sebuah foto? Anjani tertawa dalam tangisnya. Sehina itukah dirinya hingga suaminya tak sudi menyentuhnya? Farhan lebih memilih melepaskan hasratnya dengan sebuah foto dibandingkan dengannya? Anjani menangis dalam kepahitan yang ia rasa. "Siapa wanita itu, Mas?! Kalau kamu mencintai wanita lain, kenapa kamu menikahiku?” Semua pertanyaan berputar di otaknya seperti jarum yang silih berganti menusuk. Apa pria itu pikir ia tak punya hati? Apa Farhan pikir ia patung yang tak punya rasa? "Jahat sekali kamu, Mas!” Anjani meratapi nasib malangnya. Jika ia tahu mencintai akan sesakit ini, lebih baik tak pernah merasakannya. Empat tahun lamanya ia menunggu cinta lelaki itu. Tiga tahun cinta dalam diam. Satu tahun cinta sebagai istri yang terabaikan. Selama ini selalu sabar menunggu hati suaminya luluh. Ia terus mencoba dan berusaha, tapi semua berakhir penolakan. Dia seperti orang bodoh yang menunggu bintang berada dalam pangkuan. Seperti bulan yang merindukan matahari. "Allah, sakit sekali....” Dalam heningnya malam, Anjani kembali mengadu pada Sang Pencipta. Menumpahkan segala sesak dalam rasa. Mengiba agar hatinya di matikan dari yang namanya cinta. Pagi hari Anjani melakukan aktivitas seperti biasa meski hati terluka. Dia masih menyiapkan air hangat untuk Farhan mandi dan menyiapkan keperluan lainnya. Anjani juga membuat sarapan kesukaan Farhan, nasi goreng lengkap dengan teh madu hangat. Manik hitamnya melirik saat mendengar pintu kamar tamu terbuka, sosok tinggi tegap itu ke luar dari sana dengan wajah segar. Hati Anjani kembali nyeri. Tak ada gurat penyesalan atau rasa bersalah semalam sudah menyakitinya sedemikian rupa. Anjani tersenyum miris. 'Apa pentingnya aku baginya? Mana mungkin dia merasa bersalah!' gumamnya dalam hati. “Vana belum bangun?” Anjani hanya menggeleng, mulutnya terasa berat saat akan menjawab. “Bangunkan dia. Ajak sarapan. Jangan sampai telat makan.” Tangan Anjani meremas sendok yang ia pegang. "Iya.” Akhirnya dia menjawab dengan satu kata. "Kamu belum buatkan Vana susu hangat?” Suara Farhan membuat langkah Anjani terhenti. "Belum, nanti biar dia bikin sendiri.“ Farhan mendengkus kesal. Ia tatap wanita dengan penampilan rapi itu tajam. “Kamu Kakak iparnya. Harusnya kamu menyiapkan sarapan juga untuknya. Semalam dia bilang ingin makan bubur, kenapa kamu malah masak nasi goreng?!” Anjani memejamkan mata sejenak dengan helaan napas kesal sebelum berbalik dan berkata, “Vana sudah dewasa. Biarkan dia mengurusi dirinya sendiri. Aku gak sempat masak bubur untuknya.” Farhan mendengkus. “Itu bukan alasan! Kamu harus bisa mengurus Vana dengan baik. Bagaimanapun juga dia sudah menjadi adikmu.” Anjani mendengkus pelan. “Harusnya Mas bilang aku harus jadi istri yang baik. Bukan Kakak yang baik untuk Vana!“ Meskipun hubungannya dan Vana baik-baik saja, dan dia juga menyanyangi Adik iparnya itu, tapi ketika mendengar ucapan Farhan, entah mengapa ia kesal. "Mbak Anjani, Kak Farhan. Kenapa kalian bertengkar?“ Vana yang baru tiba di ruang makan harus mendengar pertengkaran kedua kakaknya. “Jangan bertengkar karena aku.” Vana menatap kakaknya-Farhan. "Kak, Mbak Anjani benar, aku sudah dewasa. Aku bisa urus diriku sendiri,“ tuturnya. Farhan tak menjawab, hanya menatap lekat adiknya yang pagi ini tampil sangat cantik, tapi tatapan itu berubah dingin saat melihat dres yang dikenakan Vana sangat pendek. "Vana, ganti bajumu!” perintah Farhan dengan nada dingin. Vana menatap bingung kakaknya lalu memperhatikan penampilannya. “Kenapa harus ganti baju? Aku nyaman pakai ini,“ sambungnya. "Kakak bilang ganti!” Suara Farhan terdengar pelan, ditekan. “Ih, Kakak! Apaansih! Aku nyaman pakai baju ini.” Vana tetap bersikukuh tidak ingin ganti baju. “Vana...!!” “Cih, iya. Iya! Cerewet banget!” gerutu Vana lalu kembali naik ke kamarnya untuk ganti baju. Interaksi keduanya menumbuhkan rasa iri pada hati Anjani. Farhan sangat perhatian pada adiknya itu, bahkan terkesan posesif. Namun, padanya yang sebagai istri, Farhan bersikap sangat dingin. "Mas, siapa wanita itu?” Tiba-tiba Anjani menanyakan perihal foto yang begitu di dambakan sang suami. Alis Farhan menyatu menghasilkan kerutan di kening. Ia menatap bingung istrinya, tapi detik berikutnya eskpresinya berubah datar. “Semalam kamu mengintipku?” Bibir Anjani tersenyum kecut, hatinya mencelos nyeri. "Apa kamu sangat mencintainya, Mas? kamu gak ngelak saat aku tanya.” “Ya, aku sangat mencintainya. Dan jangan lancang mengurusi urusan pribadiku!“ Kata mencintainya begitu mudah terucap dari bibir Farhan tanpa memikirkan hati Anjani. Pria itu tidak memperdulikan ekspresi kecewa yang tergambar jelas di wajah istrinya. “Lancang? Aku istrimu, Mas! Aku berhak tau urusan pribadimu! Apa setiap malam kamu melakukan itu dengan foto wanita lain Mas?“ Rahangnya mengeras, tatapannya menajam. Tanda ia tak suka pembahasan ini. “Ya! Dan aku akan tetap melakukan itu dengan foto wanita yang aku cintai!“ Farhan seperti menantang Anjani. Anjani tertawa getir mendengar ucapan Farhan yang seolah menegaskan bahwa dirinya bukan siapa-siapa. “Kamu gila, Mas! Kamu lebih milih melakukan itu dengan foto ketimbang dengan istrimu?“ "Anjani cukup! Jangan sampai Vana mendengar pembicaraan kita!” sentak Farhan penuh emosi. Anjani menggeleng tak habis pikir dengan suaminya ini. “Aku tanya sekali lagi, Mas. Apa kamu gak mau berubah demi rumah tangga ini, Mas?“ “Berubah seperti apa yang kamu mau, Anjani?! Jangan suka nuntut! Untuk saat ini aku masih mencintainya.“ Kini Anjani paham, jika pernikahannya sudah tidak bisa dipertahankan. Lelah rasanya berjuang sendirian. “Kalau kamu mencintainya, kenapa kamu gak menikah saja sama dia?! Kenapa malah menikahiku?” Suara Anjani bergetar. Kedua tangannya meremas ujung blazer yang ia kenakan. "Aku gak bisa menikahinya. Meskipun aku sangat mencintainya.” Anjani tertawa sumbang, tawa yang menyimpan berjuta luka. "Kenapa gak bisa?! Katakan Mas kenapa gak bisa?! Kamu nikah sama aku, tapi kamu cinta sama wanita lain! Kamu pikir aku apa, Mas?! pajangan?!” Wajah Farhan bertambah kesal. Ia membanting sendok hingga menciptakan dentingan keras. “Kamu tetap istriku!” Tawa Anjani semakin terdengar pilu. “Istri katamu? Istri macam apa yang gak pernah disentuh oleh suaminya? Istri macam apa yang kamu maksud? Kamu aja jijik sama aku, Mas!” “Aku gak pernah jijik sama kamu, Anjani! Itu cuma pemikiranmu sendiri!” sanggah Farhan tegas. “Apa namanya kalau bukan jijik? Satu tahun kamu selalu menolakku bukan?” “Aku gak nolak kamu! Aku hanya lelah.“ "Lelah?“ Anjani tersenyum sinis. "Oh, kamu gak jijik. Cuma muak, benar kan?!“ Anjani mengusap air mata yang jatuh. Ia menatap Farhan dengan dagu terangkat. “Aku ingin cerai. Ceraikan aku sekarang juga!” “Aku gak akan menceraikanmu sampai kapanpun, Anjani!“ “Apa gunanya aku di rumah ini, Mas?! Kamu gak pernah anggap aku istri. Kamu gak pernah mau aku sentuh! Bahkan di luar pun kamu gak ngakuin aku sebagai istri kamu, Mas. Lalu kenapa kamu gak mau menceraikan aku?!” Suara Anjani meninggi. Luka di hatinya semakin memgangga. “Dengar ini, Anjani! Sampai kapanpun aku gak akan pernah menceraikanmu!” “Kamu egois Mas!“ Anjani menyambar tas kerjanya dan pergi meninggalkan Farhan sendiri di meja makan. Lagi-lagi hanya luka yang ia dapatkan. *,*..Anjani menatap suaminya yang berdiri di depan lemari. Lelaki itu sudah lebih dari 15 menit berdiri di sana memilih baju. Baju yang ia pilihkan katanya sudah sering dipakai, jadi Farhan kembali memasukkan ke dalam lemari. "An, coba kamu lihat. Apa baju ini pas?” Suaminya itu mengenakan baju kaos polo warna biru langit. Anjani hanya bergumam pelan. Mendengar gumaman Anjani, Farhan kembali menatap dirinya di depan cermin lalu kembali melepas bajunya itu. “An, menurutmu aku harus pakai baju warna apa?“ "Kamu sudah seperti mau kencan, Mas!” Farhan langsung menoleh pada Anjani yang terlihat memasang wajah datar. “Aku harus tampil rapi. Kita mau makan malam dengan Ayah Ibu.” Anjani memutar bola mata, terlihat jengah melihat tingkah suaminya. “Mau makan malam saja seperti mau ketemu pacar! Apa wanita itu juga kamu undang?” Suaranya terdengar sinis begitupun wajahnya. Anjani sungguh muak. Farhan gelagapan dengan cepat ia kembali menghadap lemari. "Mana mungkin aku undang dia di
Pukul 22.15 WIB, Farhan dan Vana tiba di rumah, setelah mengantar Vana ke kamar Farhan langsung menuju kamarnya dengan wajah marah. Farhan membuka pintu kamar dengan dorongan keras. Anjani yang sedang duduk melamun menoleh ke sumber suara. Ia menatap datar kedatangan suaminya. "Semua karenamu! Jari Vana harus dijahit!” Anjani hanya menatap datar tanpa berminat menjawab. Biasanya jika suaminya marah, dia akan cepat-cepat meminta maaf, tapi kali ini dia hanya diam. Melihat Anjani hanya diam membuat Farhan tambah kesal. Berjalan cepat menghampiri kemudian menarik tangan Anjani kasar. “Aku bicara padamu!” “Aku gak ingin bicara sama kamu, Mas! Silahkan tidur di kamar tamu!” Anjani menarik tangannya kasar. Farhan menahan amarah mendengar ucapan Anjani. “Kamu ngusir aku?” “Aku gak usir kamu, Mas. Bukannya kalau kamu kesal sama aku, kamu akan tidur di kamar tamu?“ Farhan hanya mendengkus, ia berjalan menuju kamar mandi tanpa mengungkit lagi masalah Vana. Beberapa saat kemu
Anjani mengendari motor metic dengan kecepatan tinggi, air matanya sejak tadi terus membanjiri wajahnya. Bayangan semalam masih menari dalam ingatan, bagaimana Farhan melakukan hal itu dengan memandangi sebuah foto.“Kalau kamu gak mau cerai! Biar aku yang ajukan gugatannya, Mas!“ gumamnya pelan.Sampai di kantor tempatnya kerja, Anjani memarkirkan motornya di halaman parkir yang sudah disediakan perusahaan untuk kendaraan roda dua.Sebelum melepas helm, Anjani terlebih dulu membersihkan sisa air mata dan kembali merias wajahnya. Setelah selesai ia bergegas meninggalkan area parkir dan berjalan menuju gedung perusahaan.Anjani meniup napas pelan sebelum masuk ke dalam lobby kantor. “Semangat, Anjani!“ Tidak ada yang tahu jika dia adalah istri Farhan Adinata-Manager keuangan perusahaan. Jika dulu Anjani bisa terima dan maklum, tapi sekarang dia muak.“An, Pak Presdir mau pensiun. Katanya jabatannya mau dikasih sama anak sulungnya. Dengar-dengar beliau masih jomblo, ganteng pula.”Ba
Tubuh Anjani membeku di ambang pintu dengan mata berkaca. Sekali lagi hatinya diremas begitu kuat hingga menyisakan nyeri. Tangannya yang memegang handel pintu meremas benda itu kuat. Hatinya bergemuruh marah. Celah sedikit yang ia ciptakan mampu melihat dengan jelas apa yang dilakukan Farhan di dalam sana. Pria itu sedang menciumi sebuah foto, entah itu foto siapa. Dan Anjani yakin itu adalah foto seorang wanita. "Aku sangat mencintaimu, tapi aku tidak bisa menikahimu. Aku sangat menginginkanmu, tapi aku tidak bisa memilikimu.“ Suara Farhan di dalam sana menyayat hati Anjani begitu kejamnya. Tubuhnya lemas saat melihat Farhan membuka kemeja kerja dan celana panjangnya. Kakinya semakin lemas saat melihat adegan demi adegan saat Farhan mencumbu foto serta melakukan hal tak pantas lainnya. Pantas Farhan tak pernah menyentuhnya. Pantas Farhan selalu menolak sentuhannya. Ternyata lelaki itu mencintai wanita lain. Adegan demi adegan yang ia saksikan seperti tusukan belati yang menghu
Hal yang paling menyesakkan adalah menunggu cinta menghampiri. Meskipun tahu, cinta itu tak pernah ada. *,* Gaun putih tipis membalut tubuh indah Anjani Rahayu. Surai panjang nan hitam terurai indah. Aroma lembut dari parfum Night Dream menguar dari tubuhnya. Bibir tipisnya merah merekah, wajah putihnya sedikit diberi perona. Siapapun yang melihat penampilannya malam ini pastilah akan terpukau akan kecantikan wanita 25 tahun tersebut. “Bagaimana penampilanku?“ Anjani memutar tubuhnya. “Mbak Anjani sangat cantik, aku yakin kak Farhan gak akan bisa menolak.” Senyum tipis menghiasi wajah Vana-Adik iparnya. Kedua pipi Anjani merona, dia tersipu dengan senyum malu-malu. “Apa kau yakin? Kemarin aku juga dandan kayak gini, tapi Mas Farhan tetep nolak. Alasannya capek kerja,” keluhnya. Sudah satu tahun menikah dan mereka belum pernah melakukan malam pertama. Segala macam cara Anjani lakukan untuk menarik perhatian suaminya itu, tapi selalu berakhir kecewa. "Kali ini aku yakin ak