Ivy bangun sebelum Daniel, sang gadis buru-buru ke kamar mandi, membersihkan bekas percintaan mereka semalam. Ia menatap pada kaca di wastafel, merasa malu saat menyadari Daniel meninggalkan begitu banyak jejak merah di leher dan dadanya.Ivy menggigit bibir, bagian bawahnya masih terasa basah, setiap kali mengingat bagaimana benda perkasa Daniel menerobos ke sana. Ternyata sex dengan pria itu tak semenakutkan saat pertama kali.Tangan Ivy menyentuh area pribadinya malu-malu. Kedua pahanya terasa pegal dan inti tubuhnya sedikit perih, mungkin karena gesekan terus menerus dalam jangka waktu lama.Ivy menggeleng, mengambil tisu dan membersihkan area bawahnya. Setelah itu ia memilih pakaian yang dibelikan Daniel di walk in closet. Ia mematut dirinya di kaca besar, pakaiannya sangat anggun, khas old money. Ternyata selera Daniel seperti ini. Tak buruk juga, bentuk tubuh Ivy yang indah membuat tampilan pakaian semakin mewah.Ivy kemudian memoles wajahnya dengan skincare dan make up tipis.
Ivy menatap pelayan yang berdiri tegak di hadapannya, keningnya seketika mengernyit. Wanita cantik itu berbicara dengan suara yang mencoba tenang. "Apa maksudmu? Daniel tidak pernah memberitahuku hal seperti itu." Ivy mendekat, tapi pelayan tetap berdiri di pintu dengan ekspresi yang tidak bisa dia baca. Matanya terlihat cemas, seolah ada sesuatu yang mengancam jika Ivy melanggar aturan itu. Si pelayan berbicara dengan nada khawatir, tapi tegas. "Tuan Daniel tidak suka Nyonya keluar tanpa pengawasan. Itu perintah langsung dari Tuan." Ivy merasa mulutnya kering. Matanya berkeliling mencari jalan keluar, tapi semua pintu tampak terkunci rapat. Ia mencoba mengingat kembali bagaimana Daniel selalu menunjukkan perhatiannya, mengingatkan bahwa dia selalu ingin berada di dekatnya—tapi perintah semacam ini, yang datang tanpa penjelasan lebih lanjut, membuat Ivy merasa seperti terkurung dalam sangkar emas. Ivy berusaha menyembunyikan kecemasannya. "Aku hanya ingin bertemu dengan temanku
Ivy menatap Priskilla tak berkedip. "Style ini ...." Matanya kembali menilik ke arah ibu tiri Daniel.Benar! Kenapa gaya fashion mereka terlihat mirip, bahkan perhiasan yang dibelikan Daniel, tas tangan, sampai model sepatu boots.Apa memang semua wanita di keluarga Forrester harus berpakaian seperti itu? Tunggu dulu, Priskilla jelas tampil berbeda. Berwarna. Tak seperti yang Daniel katakan kalau keluarganya tak suka pakaian berwarna.Mrs. Forrester tertawa canggung. "Priskilla, jangan membuat Ivy jadi tak enak. Kebetulan saja style kami sama."Mr. Forrester mengangguk setuju. "Di dunia ini memang banyak hal bisa kebetulan."Ivy tersenyum gugup, di bawah meja Daniel meremas pahanya, seolah memintanya tak mengatakan apa pun."Sudah saatnya kami pulang." Daniel menarik lenganku berdiri."Tinggallah malam ini, Daniel. Kau sudah lama tak menginap." Mrs. Forrester berdiri terburu-buru dan memegang lengan Daniel untuk menghentikannya."Tidak! Besok aku masih ada rapat, jika berangkat dari s
Klak!Pintu terbuka perlahan, Ivy dengan tangan gemetar mendorongnya lebih lebar. Ivy mengintip sekeliling ruang kerja Mr. Forrester yang terlihat sangat rapi dan teratur. Dindingnya dipenuhi dengan rak buku dan beberapa lukisan mahal. Tak ada apa pun yang mencurigakan. Semua tampak normal seperti ruang kerja biasa.Apa Priskilla sengaja menjebaknya ke kamar ini? Tidak! Mereka baru berkenalan hari ini, untuk apa gadis itu menipunya. Ivy menelusuri rak buku. Saat dia berjalan mendekati meja kerja, matanya menangkap sebuah lekukan kecil di dinding yang tampaknya tidak biasa. "Apa ini?" gumamnya heran. Dengan jantung berdebar, Ivy mencoba menekan lekukan tersebut dan tiba-tiba sebuah panel di dinding bergeser, membuka sebuah pintu rahasia.Langkahnya terhenti sejenak, napasnya tercekat. Dia melangkah masuk ke dalam ruangan rahasia itu dengan perasaan penasaran yang bercampur takut. Ruangan itu dipenuhi dengan berbagai macam alat elektronik dan layar monitor yang menunjukkan berbagai r
"Da-Daniel, a-aku tadi mencarimu." Kakinya berdenyut-denyut. "Oh, aku ...." Daniel mengusap rambutnya yang basah. Melihat sebuah alasan datang, Ivy langsung berucap. "Kenapa kau basah?" Mendekat untuk menyentuh rambut Daniel.Daniel menepis lengan istrinya. "Bukan apa-apa, aku tadi mandi dan belum sempat mengeringkan rambut. "Oh." Ivy berpura-pura percaya. "Sini, biar kukeringkan." Dia menarik lengan Daniel dengan hati berkecamuk. Sampai di kamar, Ivy pergi ke kamar mandi, sengaja berlama-lama di sana dengan alasan mengambil handuk. Ia bernapas cepat, menatap wajahnya di kaca wastafel. Ingatan Ivy kembali memutar adegan dia menemukan kamar di bawah tanah di mansion Forrester. Jangan-jangan, Daniel juga menggunakan tempat itu sebagai praktik masokis. Mengingat Ivy melihat rantai, baby oil, juga cairan asing yang entah apa isinya.Bleh!Ivy muntah ketakutan. "Ada apa, Iv?" Daniel mendengar suara wanita itu dari luar kamar."Ti-tidak! Aku merasa tak enak badan.""Oh." Mata Daniel
"Iv, kau minta aku tak tidur dengan wanita lain, tapi aku ... aku masih tak bisa lepas dari kecanduan ini. Please, aku sedang berusaha menjadi suami yang baik untukmu, tak bisakah kau membantuku?"Sebagai istri yang baik, Ivy tahu dia tak punya pilihan lain. Lagipula Daniel berjanji, jika dia tak suka, Ivy bisa memintanya berhenti.Ragu-ragu Ivy menganggukkan kepala. Senyum Daniel langsung merekah, dia peluk istrinya penuh kasih dan melabuhkan kecupan lembut ke kedua belah pipi wanita itu."Ayo! Ayah dan ibu sudah menunggu kita di meja makan. Sarapan dulu sebelum kita pulang.""Ok."Daniel mengulurkan tangannya, menggandeng lengan Ivy menuju meja makan."Ivy, bagaimana tidurmu selama? Nyenyak?" Mrs. Forrester bertanya sewaktu melihat menantunya datang."Ya," jawab Ivy singkat, tak bisa mengenyahkan bayangan Mrs. Forrester semalam sewaktu melihat wanita cantik itu."Syukurlah. Ayo makan dulu sebelum berangkat." Mr. Forrester meminta pelayan membawakan mereka sarapan.Semua makan dengan
Ivy mendorong pintu sampai terbuka lebar, matanya menatap dinding-dinding tebal dan kokoh yang terbuat dari batu bata kelabu, jelas kedap suara, menciptakan suasana hening yang menakutkan. Tidak ada jendela di ruangan ini, hanya lampu redup yang menggantung di langit-langit, menyinari sudut-sudut gelap dengan cahaya yang suram. Udara di dalamnya lembap dan dingin, menggigit setiap inci kulit yang terpapar. Di tengah ruangan terdapat sebuah sel yang terbuat dari besi tua dengan karat yang merambat di setiap sisi jeruji. Ivy berjalan mendekat. Pintu besi tersebut mengeluarkan suara gemerincing setiap kali tersentuh, suara yang bergema menembus kesunyian ruangan. Di dalam sel, terdapat sebuah ranjang logam sederhana dengan matras tipis yang tampak sudah lusuh dan kotor. Di sampingnya, sebuah toilet logam yang sudah berkarat menambah kesan muram pada sel yang sempit ini. Di dinding ruangan, tergantung beberapa rantai besi yang telah berkarat. Ivy terkejut mendengar suara erangan di po
Ivy mengenakan bathrobe, dibaliknya gadis itu sudah memakai lingerie yang Daniel belikan.Ia merasa risi, mematut dirinya di kaca besar di walk in closet. Betapa vulgar penampilannya saat ini. Tok! Tok!"Nyonya, boleh saya masuk?" Suara Jenna terdengar."Ya, masuklah!" jawab Ivy, dia berjalan keluar dari walk in closet.Jenna datang dengan membawa nampan berisi segelas air dah satu tablet obat."Apa itu?" tanya Ivy curiga."Tuan minta Nyonya minum vitamin dulu untuk menjaga kesehatan tubuh.""Vitamin? Vitamin apa?" Ivy meraih obat, tak menemukan tulisan apa pun."Tidak tahu Nyonya, ini pesan langsung dari Tuan." Jenna menunduk dalam, menyembunyikan ekspresinya."Aku akan telepon Daniel dulu." Ivy meletakkan obatnya kembali di nampan, sebelum gadis itu meraih ponsel, teleponnya sudah berdering.Ivy terkesiap, ia melihat nama Daniel tertera di sana. Kebetulan sekali. "Hallo!""Sayang, tadi sudah kupesan Jenna membawakan vitamin untukmu, jangan lupa diminum ya. Aku tak mau kau kecapean
Tak pernah terpikirkan dalam benak Ivy sebelumnya, kalau dia akan berakhir di tangan Christian. Baginya, Christian berbeda dari pria yang selama ini mendekati Ivy. Pria itu selalu sopan. Siapa yang menyangka, justru Christian menyembunyikan watak aslinya dengan sangat baik. Mengkhianati bosnya, menjebak Nicolas, dan sekarang memerangkap Ivy dalam nafsu butanya. Semua pakaian Ivy sudah berserakan di lantai. Christian menindihnya dengan buas, memasuki Ivy tanpa pemanasan sama sekali. Ivy hanya bisa menutup matanya, menggigit bibir sampai berdarah. Berusaha menahan kesakitan. Semua akan berakhir, dia terus mengulang satu kalimat yang sama.Namun nyatanya, air mata terus bergulir membasahi wajah cantik wanita itu. "Jangan menangis. Aku akan memberikan semua padamu, Iv. Kau hanya perlu berperan sebagai seorang istri. Seperti kau melayani Daniel."Tidak akan sama bagi Ivy, hatinya mencintai Daniel, tapi tidak dengan Christian. Ia tak pernah jatuh hati pada pria ini."Iv. Cinta akan tum
Ivy sedang menikmati kesendiriannya di ruang tamu, ketika tiba-tiba suara mobil memasuki halaman mansion. Dengan cepat, dia melangkah menuju pintu depan, berharap melihat suami yang ditunggu-tunggu akhirnya pulang.Namun, ketika pintu terbuka, bukan wajah Daniel yang dilihat, melainkan Christian. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan senyum yang agak canggung. "Christian? Kamu ... bagaimana kamu bisa ada di sini?" tanya Ivy dengan nada terkejut dan bingung. Wajahnya yang semula cerah seketika berubah pucat. Matanya melebar, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Maaf, Ivy, aku tahu ini mengejutkan," ujar Christian, melangkah masuk sambil melihat sekeliling. "Ada hal penting yang perlu kita bicarakan tentang suamimu."Ivy merasa jantungnya berdetak lebih kencang, tangannya gemetar. "Apa maksudmu, Christ? Dia baik-baik saja, 'kan?" tanya Ivy, suaranya terdengar lirih dan khawatir. Christian menghela napas, matanya menunjukkan keberatannya untuk menyampaikan kabar yang dibawanya
Peluru melesat mengenai kepala anak buah Christian, tepat di tengah kening. Pria itu jatuh ke lantai dengan percikan darah mengenai Christian."Serang!" teriak Daniel.Sayangnya, tak ada yang bergerak. Semua anak buahnya malah berkecak pinggang, menatapnya dengan ekspresi penuh cemooh."Apa yang kalian lakukan?!"Christian tertawa kecil. "Dia kira, dia masih bosnya."Semua senjata terarah pada Daniel, tanpa terkecuali. "Kalian semua!" Daniel menggertakkan gigi, tak menyangka jika Christian berhasil mempengaruhi semua anak buahnya."Satu jentikan jari dariku saja, kau akan mati Daniel." Christian mengangkat tangan ke atas.Jantung Daniel berdetak kencang, matanya awas melihat sekeliling, jika dia menembak Christian pun tak ada kesempatan karena peluru dari anak buah pria itu akan menembus tubuhnya. Daniel hanya ingin pulang ke pangkuan Ivy. Dia tak ingin mati sebelum bertemu langsung dengan putranya."Akan kuberikan semuanya, beri aku kesempatan bertemu putraku sebelum kau membunuhku.
"Tidak! Tidak! Berapa kali harus kukatakan, bukan aku pelakunya!" teriak Amy marah di ruang interogasi."Lalu kenapa Mrs. Forrester harus berangkat hari ini? Jelas tiket baru dibeli hari ini." Sang penyidik melampirkan kertas berisi informasi pembelian tiketnya. Pengacara Amy berusaha menjelaskan dengan singkat, bahwa ini sebenarnya bukan mendadak, tapi Amy lupa membeli tiket. Alibi yang sungguh buruk. Amy mengusap wajahnya lelah. Siapa yang membunuh suaminya?"Ini juga ditemukan di kamarmu." Tumpukan berkas ditaruh di meja, menampilkan aset atas nama Amy. "Nyonya, kau mengincar harta suamimu bukan?""Tidak!" Astaga, jangan katakan kalau dia sudah ditipu oleh Christian. Apa Christian yang telah membunuh Mr. Forrester? Kenapa? Bukankah hubungan mereka terlihat baik. "Oh tidak! Tidak! Kalian!" Amy berdiri tiba-tiba, menarik tangan salah satu petugas. "Cepat! Kalian harus menyelamatkan Daniel Forrester!""Tenanglah Nyonya. Kami sudah memeriksa Daniel Forrester, dia baik-baik saja. Alibi
Puri Forrester, jam 9 pagi,Sinar matahari pagi menyinari garasi mewah milik Mr. Forrester. Di dalamnya, sebuah sedan hitam mengilap terparkir rapi. Seorang pria berpakaian teknisi, salah satu anak buah Christian, masuk dengan langkah tenang. Ia membawa tas peralatan dan berpura-pura memeriksa kendaraan.Dengan cekatan, ia memasang sebuah Under Vehicle Improvised Explosive Device (UVIED) di bawah kursi pengemudi. Bom ini dilengkapi dengan tilt fuse, sebuah tabung kecil berisi merkuri yang akan mengalir dan menutup sirkuit listrik saat kendaraan bergerak, memicu detonasi."Sudah selesai." Pria itu tersenyum, mengangguk pada bodyguard yang mengira pria teknisi ini adalah orang suruhan Mr. Forrester."Beri tahu Tuanmu untuk hati-hati lain kali, biayanya bisa dua kali lipat."Bodyguard terkekeh. "Bos punya banyak uang," ucapnya sombong."Ya, tapi kalau mogok di jalan lagi, dia harus mengganti mobil baru ini dengan yang lain.""Mobil mahal memang hanya tampilannya saja yang keren, isinya b
Cinta, benci, kecewa, marah, semua berpadu dalam hormoni bernama rumah tangga. Ivy sudah merasakan semua itu. Setiap orang bisa mengatakan bahwa dia bodoh. Ya! Dia bodoh, dia sangat bodoh karena ingin kembali bersama pria yang sudah mengkhianatinya. Tak hanya sekali, tidak ... berkali-kali.Namun, satu hal juga yang Ivy pahami, dia juga sang pendosa. Apa haknya menghakimi Daniel. Dia juga berkhianat walaupun bukan inginnya. Bersama Nicolas selama beberapa waktu membuatnya merasa nyaman. Bukankah itu juga bentuk pengkhianatan? Ketika suaminya mencarinya setengah mati, dia malah menikmati hidup.Jika Ivy hanya melihat dari perspektifnya, tentu saja ego yang akan berbicara. Ya. Bagaimana dia bisa bersama pria yang sudah membuahi wanita lain. Bahkan mereka sudah memiliki anak.Akan tetapi, hidup dalam kesendirian membuat Ivy menjadi pengamat. Dia selalu menempatkan dirinya di belakang, melihat melalui kacamata orang lain. Hal terakhir yang bisa wanita baik itu lakukan adalah menghakimi o
Mobil Christian sampai di puri. Kepala pelayan yang mengenali pria itu langsung mempersilakannya untuk masuk.Amy duduk di sofa mewahnya, mengenakan gaun satin berwarna merah anggur. Di tangannya, secangkir teh hangat berkilauan di bawah cahaya lampu gantung. Ketukan pelan di pintu membuatnya menoleh."Masuk saja, pintunya tidak dikunci."Pintu terbuka, menampilkan Christian yang berdiri dengan ekspresi datar, tapi matanya menyimpan bara."Kau sendirian saja, mana Mr. Forrester?"Amy tersenyum tipis, menepuk sofa di sebelahnya. "Duduklah. Aku yakin kita punya banyak hal untuk dibicarakan."Christian melangkah masuk, tapi tidak duduk. Ia berdiri tegak, menatap Amy dengan tajam. "Langsung saja. Aku tahu kau yang mengirim orang-orang itu ke rumah Ivy."Amy tertawa pelan, mengangkat alisnya. "Tuduhan yang serius. Apa buktimu?"Christian mendekatkan wajahnya, ia mengecup bibir Amy. "Di antara kita, apa masih perlu bukti?""Kau menganggapku seperti penjahat, Christ." Amy meletakkan cangkir
"Jika bukan kau, Amy ....""Apa yang sebenarnya terjadi?" Nicolas masih tak mengerti jelas dengan tingkah aneh Christian. Dia kira Christian merebut Ivy darinya dan diserahkan pada Daniel, tapi pria itu malah datang mencarinya dengan raut penuh kekhawatiran.Christian menatapnya sejenak. Mungkin bisa menjadikan Nicolas sebagai rekan lagi. Dia sudah cukup menoleransi sikap gila Amy, kali tak akan lagi. Christian merasa sudah melakukan bagiannya dalam menebus rasa bersalahnya."Ada darah di rumah yang ditempati Ivy, tapi aku belum pasti darah siapa?""Apa?! Oh tidak, tidak! Bagaimana dengan Dean?" Nicolas panik, tangannya mencengkeram ujung baju, sedikit gemetar."Entahlah, aku tak tahu." Christian sama sekali tak peduli dengan nasib Dean, dia hanya khawatir dengan nasib Ivy."Aku akan meminta bantuan Mr. Sean. Apa kau yakin Amy pelakunya? Siapa tahu Daniel yang sudah menculik Ivy.""Mungkin saja, tapi Daniel tak akan pernah melukai Ivy.""Kau yakin sekali. Mungkin saja dia dendam karen
Ivy membekap mulutnya tak percaya, antara lega dan takjub. Daniel berhasil menahan serangan pria itu dan malah membalikkan serangan dengan memuntir lengan si pria hingga menusuk dirinya sendiri.Temannya tak tinggal diam, ia langsung menyerang Daniel menggunakan pisau dapur."Daniel awas!" teriak Ivy histeris.Satu hal yang mereka tak tahu, Daniel bukan orang sembarangan. Dia sudah terbiasa dengan kerasnya dunia hitam hingga mempelajari banyak jenis beladiri.Buk! Prak!Pria satunya lagi terkapar di lantai dengan tangan kanan patah. Keduanya mengaduh kesakitan.Daniel berjongkok, menjambak rambut pria yang ia patahkan lengannya. "Siapa yang menyuruhmu?"Pria itu membungkam mulutnya, tapi matanya jelas memperlihatkan ketakutan mencekam."Oh, jadi kau memilih mati daripada berbicara?" Dengan kasar, Daniel mengambil pisau dan menggores lengan pria itu.Si pria mengerang semakin keras. "Le-lepaskan kami! Kami hanya orang suruhan!" Keningnya sudah banjir oleh keringat."Siapa yang menyuruh