LOGIN"I'm ok!”
Lirih suara itu tak mampu membuat Kellan percaya, Kiara yang kini sedang menyandarkan kepalanya lemah pun masih kesulitan bernapas dalam gendongan Kellan. Kellan acuh dan tak mendengarkan sepatah katapun yang keluar dari bibir Kiara karena ia merasa bersalah.
"Turunkan aku!”
“Kita harus ke rumah sakit.”
“I’m ok.”
“Aku akan meminta petugas hotel memanggil dokter dan memeriksa keadaanmu.”
Kiara memejamkan kedua matanya karena kedua matanya yang terasa pedas, bersandar kepada pria yang hampir membuatnya mati sekaligus menyelamatkannya. Kiara tak lagi memiliki banyak kekuatan bahkan untuk berjalan kembali ke kamarnya, ia hampir saja mati beberapa menit yang lalu dan ia masih kehilangan sebagian jiwanya yang hilang di kolam.
Ting!
Pintu lift terbuka, Kellan berusaha tetap bersikap cool meskipun beberapa orang yang memasuki lift kini menatapnya heran. Bagaimana tidak, di saat semua tamu hotel berpakaian rapi, hanya Kiara dan Kellan yang tampak berantakan dengan tubuh dan pakaian basah.
"Lantai berapa?" Bisik Kellan pada Kiara yang terpejam dalam gendonganya, tidak ada jawaban sementara Kellan sendiri tidak tahu di kamar mana Kiara menginap.
Ia tak punya pilihan selain membawa wanita itu ke presidential suite miliknya, Kiara perlu memulihkan kondisi tubuh sebelum wanita itu menggigil kedinginan karena pakaian basah yang ia kenakan.
"Send me female officers, please! Now!" ucapnya di telepon dengan nada memerintah, ia menatap Kiara yang sedang berbaring di ranjangnya, masih dengan pakaian basah dan keadaan yang berantakan. Jujur saja Kellan ketakutan setengah mati melihat keadaan Kiara, ia merasa bersalah atas apa yang ia lakukan, terutama saat melihat wanita itu tenggelam dan sekarang terbaring di ranjangnya.
Tapi kenyataannya Kiara juga sering mencari gara-gara.
"Sepatunya memang membawa sial." Kellan mengomel sembari mengeringkan tubuh dan mengganti pakaianya di depan cermin. "Seandainya kau tidak melemparku dengan sepatu sialan itu, harga diriku tidak akan terluka sampai aku melakukan hal kekanakan seperti ini.”
Suara rintihan kecil Kiara nyatanya sampai ke telinga Kellan dan membuatnya terkejut, bertanya-tanya apakah mungkin Kiara mendengar apa yang baru saja ia katakan. Mengendap ia mencoba melihat keadaan Kiara yang tadinya tertidur dengan tenang kini mulai merintih dan bergidik. Wanita itu kedinginan karena masih menggunakan pakaian basah di dalam selimut.
"Oh sial!" Ia mengumpat karena petugas wanita yang ia minta tak kunjung datang. “Damn fuck!”
Ia berusaha membuka hoodie Kiara yang berat itu dan menyisakan pakaian dalam Kiara yang tak sanggup Kellan buka, Kiara yang tampank menggigil membuat Kellan merangsak naik ke atas ranjang dan segera memeluk Kiara tanpa berfikir panjang, menyelimuti tubuhnya dan Kiara dengan harapan ia bisa membantu menghagatkan tubuh kurus yang masih menggigil itu. Ia pikir mungkin dengan sebuah pelukan bisa membuat Kiara membaik. Di saat itu ia diam-diam menatap wajah Kiara yang tenggelam dalam selimut putihnya, memeluk erat dan sesekali kembali merapatkan selimut mereka.
"Nat—” Kellan mendekatkan ketelinganya ke wajah Kiara, hingga ia mendengar rintihan wanita itu. "Nathan—”
Nathan, adalah apa yang Kellan dengar, "He's not here."
Lagi-lagi Kiara tak bergeming, hanya menyisakan wajah terpejam di dalam pelukan nyaman Kellan yang sesekali memperhatikan. Hingga suara bell kamar membuyarkan semua tatapan Kellan yang tadinya hanya terkunci pada Kiara.
*****
NEW YORKAlunan indah instrumen piano di malam hari itu menggugah hati Vivian yang sedang menikmati waktunya seorang diri di kamar. Ia tak bisa tertidur setelah terbangun di tengah malam dan nyatanya hal itu juga yang Nathan rasakan.
Senyum tersemat di wajah cantik Vivian saat ia membayangkan siapa sosok yang saat ini sedang meneduhkan hatinya dengan alunan indah piano yang mengisi rumah itu. Ya, Nathan pria yang membuatnya tak bisa berhenti tersenyum bahkan saat ia menatap bagaimana jari-jari pria itu bermain di atas tuts piano. Vivian merapatkan jubah tidurnya sebelum menghampiri Nathan yang sedang menikmati waktunya seorang diri dengan senyuman lebar. Entah apa yang dulu Vivian perbuat sampai ia diizinkan untuk bisa menatap wajah sempurna Nathan yang begitu ia kagumi, wajah yang selalu tersenyum hangat saat kedua matanya menemukan sosok Vivian.
"Kau terbangun, Baby?”
"Clair de lune, i knew this song sejak kau menekan tuts pertamamu.” Vivian duduk tepat di samping Nathan.
“Maaf aku membangunkanmu.”
"Tidak sama sekali, senang bisa mendengarmu memainkan lagu ini, karena instrumen ini sangat indah.”
"Kau pernah mendengarnya?" Vivian mengangguk.
"Clair de Lune memiliki makna yang begitu dalam, seperti manis dan pahit kehidupan. Selain tentang
sebuah cinta dan penantian, kesetiaan juga kepercayaan tercurah dalam kisah dibalik Clair de Lune."
"Seseorang yang bahagia dan selalu merindukan sinar rembulanya." tutur Nathan.
Vivian tersenyum."Aku tidak tahu banyak tentang musik klasik, tapi aku menyukai instrumen ini." tambah Nathan.
"Mendengarmu memainkan piano, membuatku berfikir tentang pernikahan kita. Kurasa akan sangat indah saat kita memainkan instrumen piano di hari pernikahan kita."
“Aku bisa memainkannya dan kau akan menari di sana. That will be greet.”
"Kita bisa memasukanya dalam wedding plan kita, banyak hal yang ingin aku urus setelah menyelesaikan pertunjukanku bulan depan.” Vivian mulai merangkul lengan pria itu lembut, menyadarkan kepalanya nyaman pada pundak yang kini menjadi miliknya, dan hanya miliknya. "Meskipun masih tahun depan, aku berharap waktu itu segera datang Nathan. Aku tidak sabar menyandang nama Lee dibelakang namaku."
"Ketika nama Lee menjadi milikmu, kau akan menjadi wanita sederhana setelah itu, bukan lagi seorang tuan putri Wang dan hanya seorang istri dari dokter bedah New York Presbyterian."
"Kinnda hot, i love it, kau tahu seberapa besar keinginanku untuk menghabiskan sisa hidupku denganmu?” Nathan terdiman, menatap dalam kedua mata Vivian yang sedang menatapnya.
"Kau orang yang aku pilih Nathan.”
Nathan tersenyum merasakan ketulusan dari ucapan Vivian yang menyentuh hatinya."New York dan San Fransisco memiliki jarak yang sangat jauh, seperti dua kutub magnet yang membuat kita sulit untuk bertemu tapi aku akan mengusahakan apapun agar kita bisa selalu bertemu."
"Bulan depan, aku berencana mengunjungi de Young Museum di California untuk melihat pameran karya seni Umbereto Boccioni.”
"Sungguh?" Nathan mengangguk "Maka luangkan sedikit waktumu untuk menonton pertunjukanku.”
"Tentu, that’s the main course, Baby." Nathan mencubit kecil hidung Vivian yang tersenyum bahagia. Kembali ia bersandar di pundak Nathan untuk menutupi wajahnya yang tersipu malu, keduanya tersenyum bersama menikmati kehangatan malam yang begitu mereka rindukan.
"Aku akan menyiapkan tempat yang bagus untukmu, tempat dimana aku bisa dengan mudah menemukanmu karena hanya kau satu-satunya orang yang ingin kulihat saat aku sedang melakukan hal yang paling aku cintai. Semua itu mengingatkanku dengan pertemuan pertama kita."
Pertemuanya dengan Vivian dua tahun lalu memang berawal dari pertunjukan ballet Vivian di San Fransisco saat wanita itu menjadi salah satu tokoh penting dalam pertunjukan Swan Lake, dan untuk kesekian kalinya ia kembali menonton pertunjukan ballet Vivian.
"Kali ini aku menjadi tokoh utama dalam pertunjukan The Sleeping Beauty.”
Nathan mencium kening Vivian yang membuat wanita itu mulai menatapnya dalam."Such a honor Princess Aurora, peran itu sangat cocok untukmu."
"Really?" Nathan mengangguk, "That's why, kau harus menontonya."
Dekat kedua mata Nathan menatap kedua mata jernih Vivian yang menatapnya teduh, mematung karena ia terus menemukan ketulusan di dalam kedua mata Vivian yang membuatnya tak bisa untuk nenyakiti wanita itu. Terlebih saat Vivian mulai mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir Nathan sekilas, ia tak bisa untuk menolak untuk membas ciuman itu lebih lama. Menggiring wanita itu untuk naik dan duduk ke pangkuannya sehingga ia mampu memberikan pelukan di tubuh kekasihnya yang mengalungkan kedua tangannya pada leher Nathan.
Ciuman yang semakin dalam, yang sesekali terjeda dengan senyuman mengantarkan mereka pada pemikiran tentang bagaimana mereka akan mengakhiri keintiman malam itu. Nathan meraih tubuh wanitanya, mengangkat sosok Vivian dalam gendongan kokoh dan membawanya ke kamar Vivian yang tersenyum senang. Dengan sedikit ciuman dan decap gairah Nathan meletakan tubuh wanita yang dicintainya itu di ranjang, membuka pakaiannya dan menindih wanita itu dengan kecupan di leher Vivian. Lenguh napas Vivian seperti membawanya terbang jauh ke awan, ia begitu menyukainya. Napas dan bibir itu membuatnya gila dan menginginkan lebih.
“Ah! Nath, you made me feel like i’m the happiest girl in the world.”
Nathan kembali mencium bibir Vivian lembut, sampai sebuah panggilan yang membuat sakunya terus bergetar berakhir membuat mereka melepaskan tautan intim bibir mereka. Meraih ponselnya dari saku dan melihat siapa yang dini hari itu membuat panggilan.
"It’s Lilly, Kiara’s best friend, aku harus mengangkatnya.”
Vivian tersenyum kecewa, sebelum akhirnya memberi izin untuk Nathan pergi meninggalkanya dan lagi-lagi ia kembali menatap punggung Nathan menjauh dengan hasrat melayang di atas kepala.
******
Kiara tertidur melintang mengisi kedua sisi tempat tidur dengan kepalanya yang menggantung di sisi ranjang. Ia terbangun saat ia merasa seseorang seperti sedang menendang tempat tidurnya cukup keras. Ia membuka kedua matanya malas, meliat kedua kaki dengan celana bahan berwarna abu-abu tepat di hadapannya sebelum suara tak asing menyadarkannya begitu saja.“Morning, sleepy head! I Though you're dead."Kiara terduduk kaget di ranjang saat menyadari senyuman dan tatapan jahil Kellan.“How was your sleep?”“This isn’t my room.”“True, this is my room. Again! Kau berakhir di kamarku setelah tidak sadarkan diri.”“Me? Tentu bukan aku kan yang berjalan sendiri ke sini?"“Absolutely. Jangan bilang lupa dengan apa yang terjadi semalam?”Kiara mencoba mengingat, namun yang ia ingat hanya ia pergi berpesta dan ia bersama Nathan. Ia bahkan tidak ingat bahwa ia melihat Kellan.“Wait! Aku pergi ke acara after party bersama Nathan. Then why did I end up with you? You’re not even there.”“Kau lupa?”
Ting tung ting tung ting tungSatu ikat bunga peony memenuhi tangan Nathan yang kini sedang menunggu dengan gusar di depan pintu. Kegelisahan seperti memenuhi pikirannya tak kala Vivian yang biasanya begitu cepat membukakan pintu, kini harus membuatnya menunggu. Semua karena rasa bersalahnya, ia mengakui kesalahannya dan ia ingin menyelesaikan semuanya. Sekali lagi Nathan menekan bel yang membuat sosok di balik pintu itu membuka pintunya dengan senyuman kecut."Kau belum tidur?"Vivian lagi-lagi tersenyum seraya menggeleng. Senyum yang bahkan bisa Nathan artikan dengan baik."Aku tidak bisa tidur, masuklah," tutur Vivian yang berusaha bersikap sewajarnya seolah ia tak marah dan baik-baik saja. "Apa ini bunga Peonyku?"Anggukan Nathan membuat Vivian menunduk memeluk bunga miliknya, menatap bunga yang ia yakini sudah pria itu siapkan sejak tadi karena bunga yang terlihat sedikit layu."Kurasa tidak ada toko bunga yang buka selarut ini.""Aku sudah membelinya tadi siang, aku berencana dat
Suara musik berdentum begitu keras di telinga Nathan, ia tidak pernah tahu jika acara after party akan dikemas dengan cara seperti ini, cukup liar. After party yang lebih terlihat seperti sebuah pesta club malam dimana semua orang berpesta dan bersenang-senang seolah hanya hidup hanya untuk hari itu saja. Nathan menolak segala macam minuman karena kedua matanya terus menatap Kiara yang terlihat menikmati pesta, menari di lantai dansa bersama dengan para model pria dan wanita sembari membawa segelas minuman. Beberapa orang berpesta di kolam dengan bikini bahkan tak jarang ada beberapa orang yang sedang bermesraan sembari menghisap rokok bergantian. Suasana yang tidak nyaman bagi seorang Jonathan Carringtoon Lee yang merasa semua itu bukan dunianya. Dunianya terlalu tenang dibandingkan keadaan malam itu.Beberapa wanita terlihat mendekati Nathan karena memang pria itu begitu tampan dan menarik perhatian. Namun mentah-mentah Nathan menolak dan meminta para wanita yang mendekatinya untuk p
Degup jantung yang memburu membuat Vivian merasa panik karena gugup, udara yang mendadak terasa dingin membuat tubuhnya juga ikut terasa kaku. Berusaha mengatasi rasa gugupnya ia berjalan kesana-kemari untuk mengurangi semua ketegangan meskipun riasan telah menghiasi wajah sempurna Vivian malam itu, sangat cantik meskipun ia tak dapat tersenyum merasakan malam itu yang tak sesuai dengan harapan. Sesekali ia menatap deretan kursi penonton dari balik tirai, memastikan bahwa tempat yang ia pesan telah terisi dan tak lagi kosong."Get ready in ten minute!"Kedua jari-jari Vivian saling bertaut dan ia mulai terpejam untuk memohon banyak hal, hanya sepuluh menit yang terasa begitu cepat berlalu karena Nathan tak kunjung datang."Please please please Nathan please." Vivian terus berharap bahwa Nathan akan datang di menit-menit terakhir sebelum pertunjukannya dimulai."In five minute!"Vivian membuka kedua matanya dan kembali nenatap kursi kosong yang tak juga terisi oleh pemiliknya. Vivian m
De Young Museum, adalah tempat yang paling Nathan ingin kunjungi selama di San Francisco, tujuannya adalah untuk menghadiri pameran koleksi graphic art Anderson dan membeli sebuah lukisan karya Umbereto Boccioni yang nantinya akan ia letakan di ruang makan. Ia berkeliling dan melihat satu per satu karya seni yang saat itu dipamerkan hingga hatinya tertarik kepada satu karya yang ia rasa mampu bersinergi dengan ruang makannya. Kepuasan tergambar di wajah tampan yang selalu tersenyum dengan kedua mata yang berbinar, ia jatuh cinta, jatuh cinta kepada sebuah karya seni yang membuatnya terbang ribuan mil hanya untuk menjemputnya dan membawanya pulang.Kegiatanya hari itu berakhir saat ia sudah membeli lukisan yang ia inginkan, ia memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi museum yang berdiri sejak tahun 1894 itu sembari menunggu jadwal selanjutnya yaitu menonton pertunjukkan Vivian. Banyak hal yang ia kagumi selama mengelilingi museum yang luas itu, bagaimana bagunannya yang terkesan un
Makan malam yang memuaskan itu berakhir membuat Vivian kekenyangan karena masakan Nathan yang sangat enak, berkali-kali Vivian memuji calon suaminya yang sangat lihai di dapur dan membuat makanan enak. Kini keduanya memutuskan untuk menikmati malam bersama di apartemen Vivian yang sengaja ayah Vivian beli untuk Vivian yang tinggal di San Fransisco.Dua gelas berkaki panjang berisi wine menjadi pendamping kedua orang yang sedang duduk di ruang santai sembari menatap langit malam dari jendela yang terbuka lebar. Mengobrol sembari bersandar di sofa berwarna biru muda yang nyaman dan cukup luas. Nathan yang tiba-tiba meletakan gelas wine-nya dan beranjak kembali dengan satu kotak obat yang membuat Vivian merasa tersentuh. Pria itu duduk di samping Vivian sebelum akhirnya merain kedua kaki Vivian untuk ia letakan di pangkuannya.“Aku tidak sengaja melihatnya.”Vivian hanya bisa tersenyum senang menerima perlakuan manis Nathan.“Terlihat sangat menyakitkan. Kau tidak melapisinya dengan toe p







