Tadi pagi Ayasya pergi kerja tanpa berpamitan dengan Xaba, baik secara langsung maupun melalui pesan singkat.'Makan malam telah saya sediakan dan juga pakaian Mas untuk besok. Mohon maaf, besok pagi saya tidak bisa datang ke unit Mas, pagi-pagi saya berangkat karena ingin menyiapkan laporan untuk restoran.'Demikian pesan tertulis Ayasya di meja makan, ditemukan Xaba sepulang syuting. Xaba meremukkan lembar kertas kecil berisi tulisan Ayasya. Xaba menghubungi Ayasya melalui ponsel, sayangnya telepon Ayasya tidak aktif.Sambil menunggu ponsel Ayasya kembali aktif, Xaba membersihkan diri ke kamar kecil lalu menikmati menu yang telah dihidang oleh Ayasya.Pria itu mencoba kembali menghubungi Ayasya, hasilnya tetaplah sama. Ponsel Ayasya tidak aktif.Disertai gerutuan, Xaba menghampiri unit Ayasya. Ia memencet bel di dekat pintu, tetap saja tidak ada tanda-tanda Ayasya membukakan pintu untuknya. Terpaksa Xaba mengetuk hingga menggedor pintu Ayasya dengan kencang."Hei, berisik! Anda me
"Bagaimana kabar Ayasya?" Batari menghubungi Xaba melalui telepon."Ibu kalau menanyakan kabar Ayas seharusnya menghubungi orangnya."Batari terkekeh mendengar jawaban Xaba yang terkesan tidak peduli, tidak sesuai dengan pertanyaan."Kenapa? Lagi berantem?"Xaba mendengus begitu Batari meneruskan topik tentang Ayasya. "Sulit ditaklukkan, Bu," ungkapnya dengan nada rendah.Gelak tawa Xabier terdengar dari seberang."Papa menguping?" terka Xaba merasa heran Xabier bersama Batari di jam kerja. "Papa tidak ke restoran?""Ini pakai pengeras suara. Jadi, Papa kamu bisa dengar cerita kita. Ibu sedang di restoran pusat menemani papa kamu," terang Batari."Oh."Xaba telah menceritakan bagaimana perasaan dirinya terhadap Ayasya pada Batari, ia mendukung ide Xaba sewaktu meminta Ayasya ikut bersamanya ke Jakarta dengan alasan mengurusi kebutuhan Xaba paska peristiwa penembakan."Xaba, Ibu kamu juga dulu begitu, sulit takluk, maunya jauh dari Papa, padahal rindu berat." Tawa Xabier menyusul meng
"Siapa yang menemani perjalanan kamu ke restoran cabang?" tanya Xaba sewaktu mereka sarapan bersama di unit pria itu."Ada empat orang, Mas. Pemilik resto namanya Bu Sastri, saya, asisten perempuan, dan satu lagi driver," jawab Ayasya sembari menikmati masakannya sendiri.Pagi ini Ayasya menyediakan ketupat sayur."Ada laki-laki?"Suapan Ayasya terhenti di udara. "Ada. Driver laki-laki.""Oh.""Memangnya kenapa, Mas?" tanya Ayasya menyelidik."Tidak kenapa-napa." Xaba menyembunyikan alasan mengapa ia menanyakan siapa saja yang ikut serta dalam perjalanan ke restoran cabang.Ponsel Ayasya berbunyi di ruang tamu, percakapan mereka terjeda, bukan notifikasi pesan, melainkan panggilan."Ya, Bu, semua telah saya siapkan. Kita tinggal berangkat. Oh, saya dijemput? Tidak ke restoran?""......""Baik, Bu." Ayasya menyampaikan alamat apartemen yang ditinggalinya."Siapa menelepon?""Bu Sastri, pemilik restoran, Mas. Si Ibu ingin memperluas cabang, tapi beliau mau mengecek dulu keadaan cabang r
Tiga hari mengurus restoran cabang di Banten, Ayasya dan teman kerjanya beranjak ke Depok, tempat terakhir perjalanan."Cabang di sini tidak bermasalah, banyak pelanggan yang datang," ucap Ayasya memberitahu fakta.Ayasya sebenarnya agak heran cabang Depok diminta Sastri untuk dimasukkan menjadi daftar yang harus dikunjungi.Sastri mengangguk membenarkan kalimat Ayasya. "Tempatnya strategis, ya. Lalu lintas juga lancar," ucap Sastri.Kini, Ayasya yang mengangguk. Nah, Ayasya belum tahu alasan mengapa masih harus mengunjungi restoran cabang ini?"Selamat siang, Tante."Sapaan seorang pria dari balik punggung Ayasya membuat dirinya terhenyak."Eh, hei, Elang, sudah datang. Mari duduk." Sastri menepuk meja di samping kirinya.Ayasya tidak habis pikir, ada Elang di sini bersama mereka. Beberapa bulan mereka sama sekali tidak pernah berjumpa, semenjak Wulan masuk rumah sakit, mantan bosnya, lantaran berusaha mengakhiri hidup."Ayas, kenalin ini ponakan saya, Elang Dewandaru."Perlahan ta
Ayasya tiba sore hari di unit apartemennya. Usai membereskan pakaian kotor dan membasuh diri, Ayasya gegas melaksanakan tugas sebagai asisten rumah tangga di unit Xaba.Dengan akses masuk yang telah diberikan oleh Xaba, Ayasya bebas meruyup menuju dapur."Sudah pulang?" Ayasya terkejut mendengar suara Xaba dari jarak beberapa meter. Pria itu menenteng kaus biru, sepertinya baru selesai mandi. Kepalanya masih basah."Ah, iya, Mas. Mas pakai bajunya," pinta Ayasya merasa tidak nyaman melihat penampakan Xaba tanpa pakaian atas.Xaba memalingkan tubuh untuk mengenakan baju kaos. Ia berjalan menuju tempat favoritnya, depan televisi.Saluran televisi bergonta-ganti ditonton Xaba dengan suara cukup besar hingga terdengar oleh Ayasya yang sedang menyusun makanan di meja makan.Kadang saluran musik, berita, film, Ayasya mendengar suara televisi tidak menyambung satu dengan lainnya."Mas, makan malamnya sudah siap." Ayasya keluar dari dapur.Xaba menoleh pada Ayasya. "Aku tidak makan," sahutny
Ayasya bangkit dari tempat tidurnya saat pagi menjelang. Ia mempersiapkan diri terlebih dulu lalu melangkah menuju unit Xaba.Mengejutkan baginya, akses yang biasa digunakan telah nonaktif sehingga dirinya tidak berhasil masuk ke unit Xaba.Ayasya mengetuk beberapa kali, sayangnya Xaba tak kunjung keluar.Kembali masuk ke unit sebelah lalu menelepon Xaba."Halo....""Mas, tadi saya mau masuk, tapi tidak berhasil, bisakah --""Ini masih terlalu pagi untuk menyediakan sarapan, Ayas. Kamu tidak perlu repot lagi mengurusku, aku bisa menggunakan jasa orang lain. Dulu juga begitu."Merosot rasanya semangat Ayasya pagi ini mendengar sambutan dingin Xaba."Mas...," lirihnya. Ponsel Xaba terputus, entah karena sinyal yang buruk atau Xaba mengakhiri panggilan.Hari ini Ayasya diminta hadir di restoran sebelum buka pukul delapan pagi. Ia melirik jam di ponsel yang telah menunjukkan pukul tujuh.Tidak terasa Ayasya jatuh dalam lamunan cukup lama.Butuh waktu tiga puluh menit menggunakan transpor
Ayasya segera datang ke rumah sakit, bermodal informasi dari Candra ia berhasil menemukan kamar rawat Xaba.Tiba di ruangan dengan napas terengah-engah, Ayasya menemukan Xaba masih terlelap tenang, tanpa tahu kedatangan Ayasya. Hati bersalah Ayasya mendadak mengundang linangan air mata di pipi."Kenapa Mas Xaba bisa seperti ini? Semalam masih baik-baik saja," ucapnya khawatir, menatap pada Candra yang berdiri dari bangku duduk.Pria itu pun bingung sejak jam berapa penyakit Xaba kambuh. Lebih heran lagi, ternyata Ayasya tidak mengenal penyakit Xaba."Kamu tidak tahu Xaba punya alergi? Sudah selama ini saling mengenal?"Bagai dihantam benda berat, Ayasya menggeleng lemah."Xaba mengalami syok anafilaktik, reaksi alergi berat. Ini bisa sampai mengancam nyawa, kalau aku tidak datang, mungkin Xaba bisa lebih parah." Candra tidak melanjutkan perkataannya melihat paras keterkejutan disertai derasnya air mata Ayasya."Syukurnya dokter bilang kategorinya masih ringan." Candra mencoba menerapk
Kepanikan berkecamuk dalam diri Batari usai mendapat kabar pagi ini dari Ayasya. Putranya dirawat lantaran reaksi alergi berat"Kita harus ke Jakarta, Pak," pinta Batari mengguncang lengan suaminya."Aku paham ibu cemas, duduk dulu." Xabier merangkul istrinya ke sofa di ruang keluarga. Hari ini Xabier tidak punya agenda khusus keluar rumah."Saya tidak tenang, apa jangan-jangan yang mengirimkan surat kaleng tempo hari melakukan hal buruk pada Xaba? Xaba baru saja lepas dari kejadian buruk enam bulan lalu, sekarang kejadian apa lagi ini, Pak?"Batari merengek seperti seorang anak kecil. Ia memegang kepala yang mendadak pusing, hatinya gelisah. Paranoid menyerang."Bukan, Bu. Ayas tadi bilang Xaba mengalami syok anafilaktik, berarti Xaba mengonsumsi pantangan."Batari kembali pada kenyataan, ia terlalu berlebihan menanggapi kecemasan sebagai seorang ibu."Duh, apa Ayas tidak mengurusi makanan Xaba? Ibu sungkan bertanya.""Ya, di telepon sebaiknya tidak membahas hal itu. Aku akan minta b