Malam sudah semakin larut. Perut keroncongan, badan sudah begitu lelah dan bau apek bermandikan keringat, tapi Ibu belum juga membuka pintu rumah."Kita sewa kontrakan sekarang saja, Mas. Keluargamu, tidak akan mau membukakan pintu." desah Hella dengan suara parau dan mata berkaca-kaca.Aku meremas rambut dengan geram mengingat uang di dompet hanya ada buat beli bahan bakar saja. Isi atm ku, pasti sudah habis di kuras, Rissa. Dasar istri bodoh bisanya menyusahkan saja!"Mas ..." Hella menatap nanar, menyenderkan tubuh disisi tembok. Hamdan sudah tertidur pulas didalam dekapannya."Hamdan belum makan malam, aku takut dia masuk angin." keluh Hella sambil membelai rambut Hamdan. Tak lama tubuhnya bergetar, air mata kembali mengalir dipipinya.Ah, cengeng sekali perempuan ini. Nangis terus, bukan membantu menyesaikan masalah, malah menambah beban."Gimana, Mas. Aku capek." Hella menyusut ingus, pandangannya kosong menghadap jalan.Huh! Mengapa jadi serumit ini sih. Coba saja Rissa bisa me
Suara grasa-grusu mengusik mimpi, berkali aku mengubah posisi tidur agar terasa nyaman.Samar aku dengar suara Hella meminta maaf, juga suara Ibu yang terdengar ketus ditelinga."Pergi, jangan sentuh apapun. Bikin kotor saja!""Buk, sudah ... masih pagi lho. Tidak baik marah-maran." suara Bapak ikut terdengar juga."Lagian bikin emosi saja. Pagi-pagi sudah bikin kesal. Sanah pergi, kemasi barang-barangmu. Aku tidak mau menampung kotoran dirumah ini!""Ma--af."Jantung berdegup kencang, aku langsung terlonjak saat mendengar bantingan pintu dengan keras.Ya Tuhan ... ini bukan mimpi. Aku pikir aku sedang dialam bawah sadar."Sudah, Bu. Kamu itu pagi-pagi nyari masalah saja!""Bapak diam. Ibu paling muak sama perempuan penggoda suami orang!" Ibu menuding wajah Bapak dengan geram."Bu ....""Lihat dia. Mengikuti jejak kotormu!" Bapak meringis, menggaruk rambut belakangnya."Aku tidak mau tahu. Pagi ini juga perempuan gatal itu harus pergi dari rumahku!" Ibu mendengkus marah, berjalan deng
"Aww!" Rissa tersungkur memekik kesakitan, memegangi sudut bibir yang mengeluarkan darah."Kau memang harus dididik dengan tegas!" geramku dengan nafas terengah-engah.Sorot Rissa yang meremehkanku, membuat kemurkaan semakin menguasai otak. Tanpa sadar kaki melayang kearahnya."Aaargh!"Rissa kembali memekik lebih keras saat tendangan mendarat tepat mengenai perutnya."Uhuk-uhuk ..." darah segar berhamburan dari mulutnya, Rissa meringis kesakitan.Mampus kau, sia-lan!Bisa aku lihat tubuh Rissa bergetar hebat, memandangku ketakutan.Rasakan itu istri durjana. Setelah ini aku yakin Rissa akan mematuhi ucapanku."Ya Alloh, Mbak Rissa!""Astagfirulloh ...."Baru saja kaki melangkah ingin kembali menendang wajahnya, Pak Rt memegangi tanganku, menahan gerakanku."Sabar, Pak sabar. Jangan kasar begini." ucap Pak Rt sambil memegangi tubuhku."Pak Rudi benar-benar keterlaluan. Kasihan Mbak Risa, Pak. Ya Alloh ..." Bu Inggit yang sejak tadi hanya menyimak ikut bersuara, matanya menatapku nanar
Pov LarissaGegas aku masuk kedalam mobil, dimana sudah ada Bik Narti dan Dila didalamnya."Neng tidak apa-apa?" Bik Narti memandang cemas, memegangi tanganku. "Bibir Neng Rissa membengkak, kita kerumah sakit ya?" mata tua itu berkaca-kaca, merasakan kesakitanku.Hati dan sekujur tubuh menjalar perih, mataku memanas dengan kabut yang semakin tebal. Tubuh masih terguncang, air mata menetes tanpa persetujuan.Ohh ... betapa terhinanya raga ini. Dianggap racun, dan selalu di tempatkan pada posisi yang salah.Membuka resleting tas, mengambil gawai lalu merekam wajah babak belurku saat ini.Astaga, aku bahkan ngeri melihat wajah sendiri.Astagfirullohaladzim ....Ya Alloh, ya Rabb. Sekejam ini kamu padaku, Mas. Sampai hati, kau memukul istrimu sendiri.Tak ingatkah segala pengorbananku selama ini? Mengapa kau begitu keji padaku.Menyeka wajah dengan kasar, aku hirup oksigen sebanyak-banyaknya, melonggarkan kerah kemeja lalu melajukan mobil secara perlahan.Hening tak ada satu pun yang bica
Sebelum keluar dari mobil, aku memakai kacamata hitam besar yang tersimpan di dalam dashboard. Mengenakai selendang biru, untuk menutupi rambut dan wajahku.Aku mantapkan hati, tak mengapa menguras waktu. Yang penting masalah ini cepat selesai. Dan yang paling penting, membuat dua manusia tak waras itu sedikit jera."Ada yang bisa kami bantu, Buk?" petugas resepsionis menatap ramah. Aku menyunggingkan senyum, melonggarkan sedikit kacamata."Saya mau melakukan visum, Dokter mana yang bisa menangani ini." aku menunjuk luka di sudut bibir. Perempuan berwajah manis itu sedikit terkejut, lalu menyerahkan selembar kertas untukku."Diisi dulu biodata pasiennya, Bu. Setelah itu Ibu akan saja arahkan ke Dokter specialis forensik." jawabnya lugas.Aku hanya menurut, karna jujur saja aku belum memahami tentang visum. Setelah mengisi data, aku kembali duduk dikursi jejer khas rumah sakit.Hari ini pengunjung lumayan ramai, sudah hampir dua puluh menit menunggu namaku belum dipanggil juga."Ibu La
"Mas! Kok diam aja sih!" sentak Hella mengagetkan."Terus aku harus gimana?" suaraku naik satu oktaf. Kesal sih boleh aja, tapi tidak harus membentakku juga kan. Dia pikir aku babunya!Rissa saja tidak pernah membentakku.Aaarghhh sial! Kenapa aku harus mengingat kebaikan istri durjana itu!"Haduh! Bisa mati berdiri kalau begini terus. Duit tidak punya, makanan tidak ada." seloroh Hella sambil berkacak pinggang.Aku hanya berdecak, malas menyahut ucapannya. Pikirnya hanya dia yang sakit kepala memikirkan semua ini. Kepalaku bahkan hampir pecah.Emang sialan si Rissa. Pergi dari rumah, malah merampok semua yang ada. Gila!"Tidak ada yang bisa dijual apa, Mas!" tanya Hella dengan bibir mencucut."Apa yang mau dijual? Kasur bau pesing?" cibirku."Ya kamu mikir dong. Tidak bisakan cuma diam begini aja." cecar Hella."Ya mau gimana lagi!" sahutku tak acuh."Argh sial!" Hella memukul meja makan, wajahnya memerah menandakan benar-benar sedang marah.Dengan kasar dia mengambil gelas yang terg
"Kami dari ke Polisian, apa benar ini kediaman rumah Saudara, Rudi ...."Aku dan Bapak saling berpandangan, hati mendadak gusar saat mata melihat dengan jelas dua sosok tegap memakai seragam coklat berdiri di balik pagar."Ada apa ya?" wajah Bapak berubah cemas, pun dengan diriku."Benar ini rumah, Rudi Sanjaya?" ulang Polisi berbadan tinggi besar itu."I--ya benar. Ini rumah Rudi, anak saya." jawab Bapak sambil melirikku."Ada apa ya, Pak?""Bisa di buka pintu pagarnya, atau bicara disini saja?" tanya, Polisi berwajah oriental itu."Eh, iya. Maaf ..." gegas Bapak membuka pintu pagar, memberi jalan masuk dua petugas ke Polisian tersebut."Masuk, Pak." ucap Bapak dengan raut tegang. "Ke dalam saja," Bapak melewati petugas membuka pintu rumah dan menarikku masuk kedalam."Jadi siapa yang bernama, Rudi Sanjaya?" tanya Polisi."Ini, anak saya, Pak." jawab Bapak sambil meremas pundakku."Ada perlu apa ya?" tanyaku dengan perasaan was-was. Bagaimana tidak, untuk apa dua Polisi ini mencariku
Entah mengapa, hati ini pilu melihatnya diperlakukan kasar pada Bapak. Aku tak terima wanita yang masih bergelar menjadi istriku di perlakukan semena-mena oleh orangtuaku sendiri.Tidak ada yang boleh melukainya, hanya aku, hanya aku yang pantas mendidiknya."Bangun! Cepat cabut laporanmu!" teriak Bapak dengan mata menyalang. Aku meneguk saliva, memandang cemas pada Rissa yang kesusahan untuk berdiri. Dia memegangi perutnya, membuat rasa bersalah semakin menjalar di hatiku.Rissa tersenyum tipis, menatap Bapak dengan tatapan lurus. "Bapak mau saya penjarakan juga?"Aku terperangah pun dengan Bapak."Ku-rang ajar!" geram Bapak semakin murka."Jangan menatap saya seperti itu, saya tidak melakukan kesalahan apapun. Saya hanya menegakkan keadilan untuk diri saya sendiri." tegas Rissa dengan tatapan menantang."Tapi jangan begini perlakuanmu, memenjarakan Rudi. Kalau kau tidak suka, cerai saja. Jangan menikam dari belakang!" bantah Bapak."Jaga sikap. Seharusnya Bapak sadar bahwa tindakan