"Masih ada satu penjaga lagi yang harus kita lewati."Ucapan terakhir Lyra Nyx yang dingin dan datar itu menggantung di udara yang menyesakkan, membuat bulu kudukku yang baru saja sedikit tenang kembali berdiri tegak.Aku menatap gadis misterius di depanku ini. Jubah kulitnya yang gelap membuatnya nyaris menyatu dengan bayang-bayang pepohonan mati. Wajahnya yang pucat dan matanya yang ungu pekat tidak menunjukkan emosi apa pun. Tenang sekali, seolah baru saja mengajakku jalan-jalan sore di taman, bukan baru saja membobol penjara bawah tanah milik pasukan kegelapan."Tunggu dulu," kataku akhirnya, berusaha mengimbangi ketenangannya meskipun suaraku masih sedikit bergetar. "Sebelum kita lanjut ke 'penjaga' apa pun itu, setidaknya beri aku sedikit pencerahan. Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau menolongku? Dan bagaimana kau tahu semua jalan rahasia ini?"Lyra Nyx menoleh ke arahku, tatapan matanya yang tajam seolah menimbang-nimbang diriku."Pertanyaan yang bagus," jaw
"Namaku Lyra Nyx," bisiknya. "Waktu kita tidak banyak. Ikut aku jika kau ingin hidup, Penenun Takdir."Otakku yang tadinya sudah buntu karena panik dan putus asa kini serasa di-restart paksa. Lyra Nyx. Nama itu terdengar asing, namun juga kuat. Tatapan matanya yang berwarna ungu pekat itu begitu tajam dan fokus, sama sekali tidak ada keraguan di sana.Dia tidak sedang bertanya atau menawarkan. Dia memberi perintah.Aku masih terpaku, mencoba mencerna semua ini. Seorang gadis misterius tiba-tiba muncul dari balik dinding selku yang terkunci rapat? Di tengah-tengah markas Umbra? Ini lebih gila dari semua kegilaan yang sudah kualami.Melihatku hanya diam melongo seperti ikan mas koki, Lyra Nyx mendecakkan lidahnya pelan, sebuah suara ketidaksabaran yang halus namun menusuk."Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan," desisnya lagi, suaranya sangat pelan tapi setiap katanya begitu jelas. "Setiap detik kita di sini, kesempatan kita untuk keluar hidup-hidup semakin menipis. Kau mau tetap di
Kegelapan.Kegelapan total yang pekat, dingin, dan menyesakkan. Aku tidak bisa melihat tanganku sendiri meskipun sudah kuangkat tepat di depan wajahku. Suara langkah kaki Zarthus yang menjauh telah lenyap, meninggalkanku sendirian dalam keheningan yang begitu tebal hingga seolah bisa kuraba.Aku merosot ke lantai batu yang dingin dan lembap, memeluk lututku erat-erat. Air mata yang sejak tadi kutahan dengan susah payah akhirnya tumpah juga, mengalir tanpa suara di pipiku yang kotor. Aku menangis dalam diam. Menangisi kebodohanku, nasib sialku, dan yang paling menyakitkan, menangisi Riel dan Arista.Ini semua salahku.Seandainya aku tidak sok pahlawan. Seandainya aku terus berlari. Mungkin kami bertiga bisa lolos. Tapi tidak. Aku, Liora si gadis biasa, malah bertingkah seperti pahlawan kesiangan. Pahlawan macam apa yang berakhir meringkuk ketakutan seperti tikus di dalam sel musuh?Bagaimana keadaan Riel sekarang? Lukanya parah. Apakah Arista bisa merawatnya sendi
Sial. Sangat, sangat sial.Pemimpin patroli Umbra itu—aku akan memanggilnya Zarthus dalam hati, karena aku menolak untuk mati tanpa mengetahui nama penculikku—masih mencengkeram lenganku dengan kasar. Tawa rendahnya yang mengerikan seolah masih menggema di antara pepohonan mati di sekeliling kami.Ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya mulai berjalan, menyeretku dengan paksa. Setiap langkahnya mantap dan penuh tujuan, sementara aku hanya bisa terseok-seok di sampingnya, mencoba untuk tidak terjatuh di atas tanah yang lembap dan berbau busuk ini.Kami melangkah lebih dalam ke perbatasan Ngarai Bayangan.Dan tempat ini… adalah definisi dari mimpi buruk.Jika Perbatasan Senja terasa seperti hutan yang sedang tertidur, maka tempat ini adalah hutan yang telah mati dan kini arwahnya gentayangan penuh amarah. Pepohonannya kurus, hitam legam seperti arang, dahan-dahannya yang telanjang mencuat ke langit kelabu seperti cakar-cakar yang kurus, seolah mencoba menggapai cahaya yang tak akan p
Sial. Sangat, sangat sial.Tawa rendah yang serak dan mengerikan dari balik helm hitam itu terasa seperti paku-paku dingin yang menancap langsung di gendang telingaku. "Jadi… kau yang telah mengambilnya, Anak Manusia."Cengkeraman tangan berzirah di lenganku mengencang. Dinginnya logam menembus jubah dan kulitku, seolah ingin meremukkan tulangku. Aku mencoba meronta, tapi tenaganya luar biasa kuat, seperti mencoba melawan kekuatan batu gunung. Aku tak bisa bergerak. Aku benar-benar terperangkap."LIORA!"Teriakan panik Riel dan Arista terdengar dari kejauhan. Mereka berhenti, berbalik dengan gerakan patah-patah. Wajah mereka yang tadi sempat lega kini pucat pasi, dipenuhi horor dan keputusasaan."Lepaskan dia, makhluk kegelapan!" geram Riel, pedang peraknya kembali terang
Kami telah ditemukan.Lolongan serak dan penuh penderitaan dari serigala yang telah dirusak itu merobek keheningan malam, menjadi lonceng kematian bagi persembunyian kami. Seketika, patroli Umbra yang tadinya menyebar langsung berhenti serempak. Kepala-kepala berhelm hitam itu menoleh ke arah kami, mata di balik celah zirah mereka pasti sedang menyala penuh kemenangan."SIAPKAN SENJATA!"Suara Riel yang tegas menggema di ceruk batu kami, membuyarkan kepanikanku yang hampir membeku.Tidak ada waktu untuk lari. Tidak ada tempat untuk bersembunyi. Ini adalah pertarungan. Di sini. Sekarang juga.Dari balik pepohonan, para prajurit Umbra melangkah maju dengan gerakan serempak yang dingin, zirah hitam mereka seolah menyerap cahaya rembulan. Seperti bidak-bidak catur mematikan yang perlahan menutup semua jalan keluar. Di depan mereka, kawanan serigala yang matanya menyala merah buas itu menggeram rendah, siap menerkam begitu mendapat perintah."Arista, kau ambil sisi kiri! Aku kanan!" perint