LOGINMalam itu, di kamar, Ana duduk memeluk lututnya di tepi ranjang. Tangan lentiknya menggenggam liontin berukiran bunga lily yang berkilauan indah. Ia bisa melihat pantulan wajah cantiknya dari sana.
Oh, Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
Berbagai doa melangit. Berharap ada keajaiban datang.
Mata Ana terasa panas. Ia tidak bisa membayangkan dirinya akan menikah dengan pangeran keji dan buruk rupa. Menikah dengannya sama seperti menggali kuburannya sendiri.
Seketika ingatannya berlabuh pada hari di mana sebelum ia dipanggil pihak istana untuk datang.
“Ana, kau punya hak untuk tahu ini.”
Suara parau itu datang dari seorang wanita tua bersurai keperak-perakan yang tengah berdiri di bangku kayu dekat pintu dapur istana.
Tangannya gemetar saat membawa sebuah kotak kayu berbahan walnut dengan pengait dari logam yang sudah berkarat tergerus waktu.
Ana menoleh tatkala mendengar suaranya. Sontak, ia menghentikan pekerjaannya. Ditaruhnya periuk berisi sup daging yang baru saja diangkatnya.
“Bibi Martha?” Ana menyipitkan mata. “Mengapa Anda di sini?”
Wanita berusia setengah abad itu mengulum senyum. Wajahnya dipenuhi keriput, tubuhnya dibalut mantel rajut yang lusuh, tetapi matanya seperti danau yang menyimpan rahasia.
“Aku sengaja datang dari panti Westmere,” katanya pelan. “Tempat kau dulu ditemukan.”
Hati Ana mencelos. Nama Panti Westmere selalu membawa memori yang emosional dalam pikirannya. “Aku tak mengerti, Bibi,”
“Ibu pengurusmu dulu, Nyonya Elia, menitipkan ini padaku. Ia sakit parah dan tidak sempat memberikannya padamu sebelum meninggal sebulan yang lalu,” paparnya seraya mengangsurkan sebuah kotak itu pada Ana.
Netra Ana berkaca-kaca saat mendengar kabar duka itu. Helaan nafas berat lolos dari bibirnya. Tak berselang lama ia menerima kotak itu dengan perasaan yang berkecamuk.
Ana perlahan duduk dengan pundak yang luruh, tangan gemetar saat menyentuh kotak kayu itu. Ukirannya sederhana, tapi di tengahnya terpatri lambang bunga lily berkelopak lima.
Bibir Ana bergetar lalu bersuara lirih. “Kenapa tidak ada yang memberitahuku? Sebulan yang lalu, aku keluar istana, Bibi. Andai aku tahu itu hari terakhir Bu Elia, pasti aku sempat mengucapkan selamat tinggal untuk beliau—”
Ada rasa getir menyelinap di hati wanita itu tatkala melihat Ana yang terlihat bersedih hati. Bagaimanapun, Bu Elia sudah ia anggap ibunya sendiri. Ia tidak akan pernah melupakan semua kasih sayang dan perhatiannya.
Ana memang sudah meninggalkan panti tiga tahun lamanya. Ia sudah menjadi koki istana semenjak ia bekerja di restoran wilayah Utara kerajaan Velmont.
Tatapan Bibi Martha terpacak pada kotak itu. “Dia bilang, ini milikmu sejak bayi. Diselipkan dalam selimutmu saat kau ditinggalkan di gerbang panti.” Ada helaan nafas berat di ujung kalimatnya.
Mengusap air matanya yang lancang luruh begitu saja, Ana membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya ada sebuah liontin batu hijau jamrud berukir lambang bunga lily dan sepotong kertas tua dengan tinta yang hampir pudar.
Ana memegang liontin itu dengan perasaan getir. Rasa dingin menjalar di telapak tangannya, tetapi ada sesuatu yang aneh, rasa familiar. Seperti pernah merasakannya, jauh sebelum ia bisa mengingat apa pun.
“Kau mungkin bukan hanya gadis panti biasa, Ana,” gumam Bibi Martha. “Dan lambang itu, aku pernah melihatnya disulam di pakaian-pakaian kerajaan.”
Ana menatapnya, ternganga. “Apa maksud Bibi?”
Bibi Martha menghela nafas. “Entahlah, Ana. Aku tidak tahu menahu banyak hal tentang dunia apalagi istana. Anak-anak tak dibuang dengan benda seperti itu, kecuali ada sesuatu yang ingin disembunyikan.”
Ana memejamkan mata sejenak. Suara kayu bakar berderak pelan menjelma Dejavu yang memaksanya untuk menggali ingatan sewaktu ia masih kecil.
“Kenapa baru sekarang?” bisiknya seraya membuka matanya, menatap dunia yang kini tak lagi sama.
“Karena dunia ini tak selalu memberi kita waktu yang tepat,” jawab Bibi Martha. “Mungkin sudah saatnya kau tahu siapa dirimu sebenarnya.”
Ana memandangi liontin itu dalam. Mungkin, liontin itu adalah salah satu kunci baginya untuk menemukan identitas aslinya.
“Apakah ke dua orang tuaku bangsawan di kerajaan Velmont?” gumam Ana dengan bibir yang gemetar.
.
.
.
Waktu pernikahan Putri Clarissa dan Pangeran Leonhart dipercepat atas titah sang ratu. Sejak Raja Alric dilanda sakit, tanggung jawab atas roda pemerintahan sebagian besar beralih ke tangan Ratu Seraphina.
Semua pelayan terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Kepala pelayan membacakan gulungan perkamen berisi daftar tamu undangan. Sementara itu para koki dapur sibuk menyiapkan bahan makanan yang akan dihidangkan saat acara berlangsung; daging rusa, angsa, gandum dan bahan mentah lainnya.
Dari balkon kamarnya, sang ratu mengawasi mereka semua dengan seksama. Tidak boleh ada yang terlewat sedikitpun. Ini demi reputasi kerajaan.
Sisi lain, Ana tersenyum getir di balik jendela kamar pelayan di lantai atas. Ia bahkan dikurung, tak diijinkan keluar kamar. Ia tidak lagi bekerja sebagai koki dapur. Ia adalah calon permaisuri Pangeran Leonhart. Tanpa sadar air matanya luruh tatkala melihat pemandangan itu di balik jendela kayu.
Namun saat ia menatap liontin yang dipasang di kalungnya, senyum samar terbit di wajahnya. Ada secercah harapan di hatinya, mungkin ketika ia masuk ke dalam keluarga kerajaan, ia bisa mencari tahu asal usulnya. Sesaat perasaan tenang menyelimuti hatinya yang gusar.
Hari yang dinantikan tiba. Esok adalah hari pernikahan Putri Clarissa dan Pangeran Leonhart. Malam hari, Ana tidak bisa tidur nyenyak. Ia hanya berguling di atas dipan ke kanan dan ke kiri.
Suara derit pintu terdengar. Ana menoleh dengan mata yang memicing kaget bercampur takut. Gegas, ia berdiri saat melihat bayangan hitam orang bertubuh tinggi melesak masuk ke dalam kamarnya.
Salah satu pria mendekat saat melihat ternyata Ana bangun. Saat Ana hendak berteriak minta tolong, pria itu membekap mulutnya dengan tangannya.
“Mmmmph,” gumam Ana tak terdengar. Matanya perih. Tubuhnya berusaha meronta saat ke dua tangannya dikunci oleh ke dua pria lain.
“Cepat, oleskan!” kata salah satu pria ke pria berjubah hitam di depannya.
Ana berusaha sekuat tenaga melawan. Namun ia tak berdaya saat pria itu membungkam mulutnya dengan sapu tangan. Saat kesadarannya mulai menurun ia bisa merasakan cairan dingin dan berbau tajam menyapu wajahnya.
Keesokan harinya, kepala pelayan mendatangi kamar Ana untuk merias wajahnya. Madam Mia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat wajah Ana Merwin!
“Ana, kenapa dengan wajahmu?”
Ana akan meminta penjelasan pada Leon malam ini. Sayangnya, Leon pulang larut malam, Ana sudah lebih dulu tidur. Keesokan harinnya, Leon menghela napas pelan melihat pemandangan setiap pagi hari. Seperti biasa, Ana bangun dan duduk di sofa yang berada tak jauh dari ranjang besar milik mereka. Wajahnya pucat, rambutnya berantakan dan tubuhnya terlihat lesu. Ia menggenggam tepi meja dengan keras, tubuhnya membungkuk saat merasakan gelombang mual dari perutnya. Namun ia tampak berusaha mengendalikan dirinya. Di depannya semangkuk bubur gandum dan air minum sudah tersedia. Ana kini lebih sering sarapan di kamar karena kondisinya tak memungkinkan jika berbaur di aula makan bersama Raja Edric. Bubur kesukaannya itu tampak tidak menggugah selera. Baunya tak sedap. Dan, sialnya, bau itu justru mengundang rasa mual yang ditahannya sedari tadi. “Kenapa?” Leon menghampirinya, melihat Ana yang sama sekali tidak terlihat ketertarikan pada bubur gandum dengan kaldu ayam itu. Ia meringis dan m
Malam itu, hutan Blackwood tampak mencekam. Tidak hanya karena binatang buas yang berkeliaran di sana. Namun ada hal yang lebih berbahaya dan mengancam. Pasukan Dragoria yang terkenal karena kekejamannya sedang mencari seorang putri dari Velmont Raya yang tengah melarikan diri. Clarissa kini menjadi target buruan, setelah ia nekat memutuskan kabur dari upacara pernikahannya. Setiap langkahnya di hutan dipantau bayangan, dan para penjaga kerajaan mulai menyebar untuk mencarinya.Beruntung Lord Cedric menjalankan tugasnya, ia berhasil menyelamatkan Clarissa sementara. Pertama dari aksi binatang buas. Lalu ke dua, pasukan Dragoria. Lord Cedric berhasil membawa Clarissa bersamanya. Sesaat, Clarissa mendapat perlindungan. Di tengah hutan Blackwood Lord Cedric berlari ringan dan hati-hati melewati pepohonan sembari menggendong Clarissa. Ia tidak mengalami kesulitan saat menggendongnya sebab gadis itu tampak mungil di matanya. Mungkin baju zirah lebih berat dari bobot gadis itu. Hembusan
Malam itu suasana balairung istana Velmont tampak sangat indah. Tempat itu sudah disulap menjadi tempat upacara pernikahan Clarissa dengan pangeran Thorian dari kerajaan Dragoria.Dekorasi bebungaan berwarna-warni memenuhi setiap sudut ruangan, sedangkan bunga lili yang merupakan lambang resmi Velmont Raya ditata indah di sepanjang lorong dan pilar marmer.Di atasnya, ribuan lilin yang menyala dalam chandelier kristal menggantung anggun. Cahaya temaramnya memantul pada dinding dan lantai batu, memberikan kilau hangat yang menyoroti podium tempat upacara agung itu akan dilangsungkan.Di kamar pengantin, Clarissa sudah tampak cantik dalam gaun berwarna putih yang menampilkan siluet tubuhnya yang sempurna. Rambutnya juga sudah ditata, disanggul model Braided Crown. Rambutnya dikepang melingkar seperti mahkota di
Sore itu Mary merasa aneh kenapa dia tidak bisa bertemu dengan Ana. Padahal ia ingin berpamitan padanya. “Ibu, kenapa melamun?” tanya Isabella melihat ibunya diam menatap keluar jendela di balik tirai kereta—yang membawa mereka pulang hari itu. Mary memang tidak berniat untuk menginap setelah melihat reaksi kakak sepupunya–Raja Edric yang terlihat dingin pada mereka. Apalagi reaksi Leon yang jelas menolak kehadiran putrinya. Mendengar suara putrinya, Mary menoleh. “Ibu tidak bisa berpamitan dengan Lady Ana. Mungkin dia masih marah padamu,”Isabella mendengus pelan, tatapannya menajam tertuju pada ibunya. “Kenapa Ibu cari muka di depan Raja Edric dan Leon? Sudah jelas Leon tidak suka kedatangan kita. Aku menyesal datang.”Mary mencondongkan tubuhnya, mengamati wajah putrinya yang seolah tanpa dosa. “Kau pikir Ibu cari muka? Kau memang harus mencuci hatimu dengan air suci! Kepalamu diisi dengan pikiran buruk,” Wanita itu mengibaskan kipasnya, menatap kembali pada jendela kereta. Sem
Raja Edric mengangguk pelan setelah mendengar permintaan maaf Lady Isabella. Permintaan maaf itu mudah dilakukan oleh siapapun. Namun pertanyaannya adalah permintaan maaf itu tulus dari hati terdalam ataukah hanyalah semacam formalitas demi menjaga hubungan yang baik dengan keluarga kerajaan?Suara Lady Isabella pecah, gemetar seperti badai. Ia menatap Raja Edric dengan tatapan yang berkaca-kaca, penuh penyesalan. “Yang Mulia, saya memohon maaf sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekhilapan yang telah saya lakukan pada Pangeran Leon. Sungguh, saya menyesalinya.”Lady Isabella menunduk dalam. Air matanya jatuh tanpa diundang. Lady Mary mengusap punggung putrinya dengan lembut, memberikan dorongan kekuatan. Semoga saja ia bisa belajar dari kesalahannya di masa lampau dan mulai memperbaikinya. “Permintaan maafmu telah kudengar, Lady Isabella,” imbuh Raja Edric tenang. Nada suaranya sopan tetapi dingin. Namun jika orang sadar sikap dingin tapi tenang itu sangat berbahaya.Raja Edric mem
Sebuah kereta dengan ornamen emas bermotif lilitan bunga mawar tiba di halaman istana Ravensel. Seorang wanita berambut keperak-perakan disanggul turun dibantu oleh seorang pengawal. Ia membetulkan syal yang melilit lehernya tepat kakinya baru mengayun beberapa langkah di halaman istana Ravensel.Ia bergumam sembari menyebarkan pandangannya ke segala sudut. Helaan napas ringan lolos dari bibirnya saat tatapannya terpaku pada pilar-pilar istana Ravensel yang megah dan raksasa. Ia merasa seperti seekor kelinci melihat betapa besar kekuasaan Ravensel di negeri Barat. “Sudah enam kali musim panas aku tak datang kemari,” gumamnya lirih, senyum tipis tergurat di wajahnya. Ia menyerahkan tas kecil yang ditentengnya kepada dayang setianya. Lalu ia menoleh ke arah belakang. Dahinya berkerut membentuk lipatan kertas. “Bella belum turun?” tanyanya pada dayang setianya. Dayang mengangguk lalu menjawab pelan. “Belum Nyonya.”Lady Mary, wanita berusia enam puluh lima tahun itu mendecak pelan. Ia







