Ratu Seraphina menelan salivanya. “Kau?” tanyanya tak bisa menyembunyikan rasa semburat penasaran sekaligus keterkejutannya. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Ana tanpa veil.
Bergegas, Ana menunduk dalam. Ia juga tak kalah terkejut melihat reaksi sang ratu. Sebaliknya, ia mengira Ratu Seraphina begitu jijik dan benci melihatnya.
‘Tak mungkin! Matanya mirip …’ batin sang ratu dengan perasaan yang berkecamuk.
Ratu Seraphina memangkas jarak di antara mereka. Tangannya terulur pada wajahnya namun segera ia menariknya kembali.
“Yang Mulia, dia gadis yang menggantikan Putri Clarissa,” lapor Duke Arvin dengan nada hati-hati. Ia sedikit menunduk, tahu betul bahwa kabar ini bukan hal sepele. Ia hanya ditugasi mencari gadis yang mirip dengan Putri Clarissa.
Berusaha menormalkan perasaannya, Ratu Seraphina berdiri membelakangi jendela besar aula timur, sorot matanya kosong menatap kebun mawar yang sedang mekar. Wajahnya tenang—hingga sulit ditebak apakah ia marah, sedih, atau curiga.
Ana duduk di atas sofa berlapis beludru yang mewah dengan perasaan yang berdebar-debar, menunggu apa yang ingin disampaikan sang ratu padanya.
“Hmm...” Ratu Seraphina berdehem, berusaha menetralkan desakan aneh dalam dadanya. “Ana, kau akan tinggal di istana. Tidak diizinkan lagi tidur di dapur bersama pelayan. Aku ingin kau menggantikan Putri Clarissa menjadi pengantin Pangeran Leonhart,”
Ana mengangkat mata, terkesiap. Mulutnya setengah terbuka, namun tak ada suara beberapa detik.
“Pengantin? Tapi … Yang Mulia, saya hanya seorang koki—”
Ratu Seraphina cepat menyela. Tatapannya menajam setajam belati. “Kau pikir, aku sembarang memilih? Ini bukan soal pantas atau tidak. Ini soal menyelamatkan kerajaan,”
Perintah itu jatuh seperti palu godam.
Glek,
Ana menelan salivanya yang terasa kecut. ‘Atas nama siapa saya harus berkorban? Kerajaan? Ambisi?’
Naasnya, kalimat itu hanya tersangkut di tenggorokannya.
“Jika kau berani membantah, maka mulai besok kau bukan lagi koki istana—kau akan jadi tahanan kerajaan karena pencemaran nama baik keluarga kerajaan. Atau … akan ada banyak kepala yang melayang dari dapur istana,”
Ancaman Ratu Seraphina tidak main-main. Sorot matanya menusuk hingga ke tulang belulang.
Tubuh Ana menggigil. Bagaimana caranya ia bisa lari dari situasi pelik itu? Kemanakah Putri Clarissa? Mengapa dia tega melarikan diri hingga menyeretnya dalam pusaran masalah istana?
Setelah Ana keluar dari ruangan, keheningan kembali menguasai ruangan megah itu. Tapi matanya tak lepas dari pintu yang tertutup pelan.
Ada sesuatu yang membuat hatinya tak tenang. Ana Merwin. Gadis itu... terlalu mirip seseorang.
Ratu Seraphina menarik napas dalam-dalam, lalu berkata. “Panggil Madam Mia ke ruang belakang. Sekarang.”
Tak lama, pelayan kepercayaan sang Ratu datang. Madam Mia—wanita tua bertubuh mungil, dengan rambut memutih yang disanggul rapi. Ia membungkuk dalam-dalam.
“Yang Mulia memanggil saya?”
“Kau yang membesarkan Ana Merwin?” tanya Ratu Seraphina langsung, dingin, tanpa basa-basi. Ia tak sabar menunggu jawaban. Ia menatap Madam Mia seperti hendak menggulitinya.
Madam Mia mengerjap. Lalu mengangkat matanya. Tubuhnya bergetar ketakutan. “Ana Merwin, anak yatim piatu dari wilayah Utara, Yang Mulia. Dia sudah bekerja di dapur istana selama tiga tahun. Dia salah satu koki berbakat.”
‘Yatim piatu?’
Ratu Seraphina mengangkat tangan. “Pergilah!”
Menghela nafas, Madam Mia akhirnya bisa pergi dari sana.
“Apa Anda mencurigainya sebagai mata-mata, Yang Mulia?” tanya Duke Arvin merasa khawatir. Ia menyelidik raut wajah sang ratu.
Sang Ratu terdiam beberapa saat. “Selidiki asal usulnya!”
Duke Arvin mengangguk pelan. “Baik, Yang Mulia,” katanya pamit pergi dari sana.
Tak lama ruangan itu sepi, Ratu Seraphina pergi ke kamar utama. Raja Alric memilih tidur di kamar sayap timur karena sedang sakit. Ia ingin tidur sendiri. Sudah hampir setahun ia menderita demam remiten.
Malam itu Ratu Seraphina dihantui mimpi buruk lagi. Seorang gadis berpakaian pelayan datang lalu menusuknya dengan pedang. Apakah gadis itu Ana Merwin? Seseorang yang datang dari masa lalu?
“Ada apa Yang Mulia? Anda bermimpi buruk lagi?” kata salah satu dayang sang ratu setelah mendengar suara jerit kecilnya saat tidur. Ia langsung menyodorkan cawan bertangkai berisi air minum untuk sang ratu. “Minumlah, Yang Mulia,”
Ratu Seraphina tertegun sesaat sebelum mengambil air minum itu. Ingatannya mendarat pada kenangan dua puluh tahun silam—yang ia berusaha kubur dalam-dalam.
“Yang Mulia,” kata dayang itu dengan lembut.
Ratu Seraphina lalu meneguk air minumnya perlahan. Nafasnya mulai stabil. Namun perasaannya masih tak karuan. Jika gadis itu datang dari masa lalunya, ia harus segera menyingkirkannya dari sana.
Kalau perlu pernikahan dengan pangeran Leonhart harus dipercepat.
Di istana Kerajaan Velmont, Ratu Seraphina berjalan bolak balik dengan gelisah. Ia sedang menunggu kabar dari kastil Pangeran Leonhart.“Bagaimana? Apa Pangeran Leonhart membatalkan pernikahan?” tanya Ratu Seraphina pada Duke Arvin yang baru saja menyambanginya.Duke Arvin membungkuk di hadapannya. “Maafkan hamba, Yang Mulia. Belum ada kabar apapun tentang hal itu. Hanya saja menurut informan, mereka baru saja tiba di kastil Pangeran Leonhart,” tukas Duke Arvin dengan hati-hati. Ratu Seraphina menghela nafas pelan. Perlahan ia kembali ke singgasananya. Ia duduk, menatap Arvin seperti menimbang hidupnya. “Leon pasti jijik melihatnya. Si pelayan buruk rupa itu pasti akan diusir, dan Velmont tidak akan punya alasan untuk menuntut balik mahar. Benar-benar ide gila. Tapi … apakah akan berhasil?”Duke Arvin tertawa pendek, pahit. “Rencanaku selalu berhasil, Yang Mulia. Kita tinggal tunggu saja waktunya. Tak mungkin Pangeran Leonhart menahan gadis itu lebih lama. Pilihannya … dia akan menge
Mendengar teriakan Madam Mia, Ana langsung mencari cermin rias. Matanya membulat dan bibirnya menganga saat melihat wajahnya di sana.“Apa yang terjadi pada wajahku?” gumam Ana dengan tak percaya.“Apa kau merusak wajahmu dengan sengaja Ana?” kata Madam Mia langsung mendekat. Ia menilik wajah Ana dari jarak sangat dekat. Bahkan ia menyentuh bagian pipi kanan dan kirinya bergantian.“Ough, gatal, Madam,” kata Ana dengan lenguhan pelan. Ia meringis kesakitan.Madam Mia menghela nafas berat, “Jika Baginda Ratu tahu, kau—”“Cepat obati dia dan rias!” Suara kharismatik terdengar. Baik Ana maupun Madam Mia langsung membungkukan badan mereka, menyapa sang ratu. Madam Mia mengangguk pelan seraya menjawab, “baik, Yang Mulia,”Ratu Seraphina menatap Ana sebentar dengan tatapan yang rumit lalu pergi begitu saja meninggalkan mereka. Aneh, reaksinya datar.“Ana, apa yang terjadi?” desak Madam Mia—masih kaget kenapa wajah Ana berubah mengerikan.Ana mencoba mengingat kejadian semalam. “Madam, sem
Malam itu, di kamar, Ana duduk memeluk lututnya di tepi ranjang. Tangan lentiknya menggenggam liontin berukiran bunga lily yang berkilauan indah. Ia bisa melihat pantulan wajah cantiknya dari sana.Oh, Tuhan, apa yang harus aku lakukan?Berbagai doa melangit. Berharap ada keajaiban datang.Mata Ana terasa panas. Ia tidak bisa membayangkan dirinya akan menikah dengan pangeran keji dan buruk rupa. Menikah dengannya sama seperti menggali kuburannya sendiri.Seketika ingatannya berlabuh pada hari di mana sebelum ia dipanggil pihak istana untuk datang. “Ana… kau punya hak untuk tahu ini.”Suara parau itu datang dari seorang wanita tua bersurai keperak-perakan yang tengah berdiri di bangku kayu dekat pintu dapur istana. Tangannya gemetar saat membawa sebuah kotak kayu berbahan walnut dengan pengait dari logam yang sudah berkarat tergerus waktu.Ana menoleh tatkala mendengar suaranya. Sontak, ia menghentikan pekerjaannya. Ditaruhnya periuk berisi sup daging yang baru saja diangkatnya. “B
Ratu Seraphina menelan salivanya. “Kau?” tanyanya tak bisa menyembunyikan rasa semburat penasaran sekaligus keterkejutannya. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Ana tanpa veil.Bergegas, Ana menunduk dalam. Ia juga tak kalah terkejut melihat reaksi sang ratu. Sebaliknya, ia mengira Ratu Seraphina begitu jijik dan benci melihatnya. ‘Tak mungkin! Matanya mirip …’ batin sang ratu dengan perasaan yang berkecamuk.Ratu Seraphina memangkas jarak di antara mereka. Tangannya terulur pada wajahnya namun segera ia menariknya kembali.“Yang Mulia, dia gadis yang menggantikan Putri Clarissa,” lapor Duke Arvin dengan nada hati-hati. Ia sedikit menunduk, tahu betul bahwa kabar ini bukan hal sepele. Ia hanya ditugasi mencari gadis yang mirip dengan Putri Clarissa.Berusaha menormalkan perasaannya, Ratu Seraphina berdiri membelakangi jendela besar aula timur, sorot matanya kosong menatap kebun mawar yang sedang mekar. Wajahnya tenang—hingga sulit ditebak apakah ia marah, sedih, atau curiga.Ana dud
Ana menunduk dalam-dalam saat pangeran itu mendekat. Sial, justru langkah pria bertubuh tinggi besar itu berhenti… tepat di hadapannya. Jarak mereka hanya beberapa jengkal. Ana bahkan bisa merasakan hembusan nafasnya yang beraroma mint campur rosemary. Aneh, katanya wangi nafasnya bau bawang putih dan telur busuk. Tapi aroma nafasnya harum. Apalagi … ciumannya. Beberapa detik Ana mengusik pikiran itu. “Angkat wajahmu,” suaranya dalam dan dingin.Ana mendongak—hanya setengah. Sungguh, mendadak ia diserbu rasa takut bercampur gugup yang tinggi. Ada banyak ketakutan yang menyelimuti dirinya. Bagaimana kalau ia ketahuan bukan Putri Clarissa? Mungkin jasadnya akan berakhir di balairung eksekusi kerajaan.Pangeran Leonhart menatap gadis itu seperti ingin menyelami isi kepalanya. “Lebih tinggi.”Dengan ragu, Ana menengadah, menatap matanya. Seketika keheningan turun. Ana bisa melihat jelas tatapan gelap milik pangeran itu. Manik matanya berwarna hitam pekat seperti batu obsidian. Indah na
“Jangan menatapnya terlalu lama. Kau bisa lupa siapa dirimu.”Ana mengangkat wajahnya dari cermin kecil di ruang rias. Suara itu datang dari pelayan tua di belakangnya—yang hari ini ditugaskan mendandani Putri Clarissa.Ana hanya menunduk dalam. Tangannya gemetar saat menyentuh bros emas yang tersemat di dada gaun birunya. Gaun itu bukan miliknya. Nama ini pun bukan miliknya. Tapi malam ini, ia akan melangkah ke tengah aula sebagai Putri Clarissa—dalam acara pertunangan politik yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.Semuanya demi sang Ratu. Ia merasa terjebak di sana. Padahal ia hanyalah seorang koki yang ditugasi untuk membuat kue tart ulang tahun untuk sang putri. Tak dinyana, tiba-tiba ia diseret masuk ke dalam ruang rias sang putri.Sebuah veil tipis menutupi wajahnya, menyamarkan identitas yang ia pinjam. Beberapa kali ia menghela nafas sesak. Ia tidak bisa melarikan diri seperti seekor kerbau yang dicucuk hidungnya. Takdir sedang mempermainkannya.“Yang Mulia menunggu di aula.