Rere tersenyum saat melihat Dewa yang ada di dalam mobil sedang menunggunya dengan wajah penuh kesal.
"Bisa cepat nggak, sih?!" Tanya Dewa dengan kening mengkerut dan terus saja menggerutu, saat Rere sudah duduk di sampingnya.
Rere terdiam, sepertinya tak ada niat untuk menjawab, dengan meletakkan kedua tangan di atas tas yang ia letakkan di atas pangkuannya. Rere merobohkan punggung ke sandaran jok, kemudian memandang ke luar mobil dengan arah yang berlawanan dari posisi Dewa.
Membiarkan Dewa terus saja menggerutu tak karuan, hingga akhirnya diam dengan sendirinya, mungkin sudah capek. Dan itu membuat Rere bersorak dalam hatinya.
Hingga sampai ke tempat yang mereka tuju, keduanya masih menunjukkan sikap saling tak perduli, saling diam antara satu dengan yang lainnya.
Rere membiarkan Dewa keluar dan langsung melangkah tanpa menoleh ke arahnya.
"Makasih, pak T
"Kamu, serius kenal Elang, Dew?" Tanya Dewa saat mereka berdua sudah di dalam mobil, perjalanan kembali ke kantor. Tampaknya dia penasaran banget pada hubungan Rere dengan Elang."Iya ... emangnya kenapa? Kepo!" Rere menjawab pertanyaan Dewa dengan nada datar tapi ketus, matanya menatap Dewa dengan wajah selidik.Dengan menarik nafas panjang dan membuang muka ke arah luar jendela mobil, Dewa tak menjawab apa yang Rere katakan tadi. Entah kenapa ada yang sakit di gumpalan sudut hatinya. Nyeri tapi tak berdarah.Kini pandangan berbeda di dapati di dalam mobil, Rere yang sedang memainkan ponselnya tampak bahagia dengan senyum menghiasi bibir sedangkan Dewa yang sesekali melirik Rere, menunjukkan muka kesal."Kita langsung balik, pak Dewa?" Tanya pak Tik dengan ramah walau tak menolehkan wajahnya ke belakang, karena sedang fokus dengan kemudi."Iya!" Jawab Rere."Tidak!" Sahut Dewa.Mereka
"Ayo kita pergi!" Rere yang sudah siap keluar dari ruangannya, langsung mengajak Ina tanpa menghentikan langkahnya.Sesuai dengan apa yang tadi Rere ucapkan pada sekretarisnya itu, siang ini, ia ingin mengajak Ina ke suatu tempat untuk lebih menjalin kedekatan antara atasan dengan sekretarisnya."Mau kemana, Bu?" Tanya Ina yang rupanya sudah siap juga, dirinya langsung berdiri dengan tas menggantung di bahu kiri."Jangan banyak tanya, yang penting kamu ikut aja, Ayo!" Ujar Rere terdengar ketus.Ciut nyali Ina saat mendengar jawaban yang tak pernah ia duga sebelumnya dari si boss, sambil melirik penuh tanda tanya, Ina mengikuti arah langkah bossnya."Na, kamu duduk di depan saja." Suruh Rere, saat mereka sudah berada di samping mobil yang dikendarai si Udin."Din ... tolong antar ke mall yang kemarin, ya." Pinta Rere saat dirinya sudah masuk dan duduk di jok belakang mobi
Ucapan Rere sontak membuat Ina terdiam, tangan yang awalnya hendak membuka pintu mobil, berhenti bergerak. Mungkin dia sedang bertanya tanya didalam hati, bagaimana Rere bisa tahu dengan rumor yang terjadi selama ini di kantor.Tiba tiba terdengar suara Ina terisak. Membuat Rere terenyuh, tangannya terulur menepuk bahu Ina berulang kali, untuk sekedar bersimpati."Sabar ya, Ina. Kenapa kamu kok sedih, harusnya kamu tunjukkan pada yang ngomongin di belakang sana, kalau kamu tidak seperti yang mereka katakan." Rere menguatkan hati Ina.Omongan tentang Ina yang anak orang miskin, namun berhasil langsung berkarir menjadi sekretaris, ternyata membuat iri beberapa karyawan.Rere sempat mendengar omongan itu, tadi pagi, ketika dia baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor.Pedas sekali mulut orang iri, semua di bahas termasuk dengan busana usang yang di pakai Ina, yang notaben
"Ada apa, Dyah?" tanya Rere yang baru saja sampai, melewati ruangan Dewa dan melihat sekretaris Dewa sedang berdiri dengan raut wajah cemas. Seperti ada yang sedang di tunggunya.Dyah mendekat dengan langkah cepat, namun begitu sampai di samping Rere yang masih berdiri di depan mejanya, Dyah hanya bisa meremas kedua tangannya sendiri. Matanya menatap Rere dengan pandangan yang berbeda."Ada apa? Langsung ngomong aja, jangan bikin aku ikutan panik dong, Dyah." seru Rere yang tak sabar dengan sikap Dyah yang masih takut takut kepadanya."Anu, Bu ... pak Dewa." Dengan sedikit tergagap Dyah menjawab."Ada apa dengan, Dewa?"Dyah lebih mendekat pada Rere dan dengan suara pelan membisiki. Sesuatu di telinga Rere.Sontak bibir Rere hanya bisa membentuk huruf 'o' kecil dengan sesekali menganggukkan kepala."Gimana, Bu?" Tanya Dyah lagi dengan mata mulai berkaca kaca. Dengan kedua tangan yang bertaut dan bergerak tak beraturan."Ten
"Nikah! Itu yang harus kamu lakukan. Kalau tidak sanggup, jauhi saja. Jangan memberikan seseorang harapan palsu, itu menyakitkan." Jawab Rere yang memasukkan sesendok nasi dan lauknya ke dalam mulut Alman.Tak ada kotak nasi yang tersisa lagi, karena Rere hanya memesan tiga bungkus saja tadi. Untuk dirinya sendiri dan kedua sekretarisnya."Tapi ...." Alman hendak menyanggah ucapan Rere, namun terhenti karena melihat perempuan di depannya sudah melotot, saat melihat mulutnya masih penuh, membuatnya hanya tersenyum sambil mengunyah makanan."Kamu tahu nggak, Man? Betapa indahnya saat nanti kita pacaran setelah menikah, semua yang awalnya dosa, akan berubah menjadi pahala dan rejeki." ujar Rere sambil memandang lekat pria pemilik mata yang sangat ia sukai."Mana aku tahu, kamu juga jangan sok tahu, deh!" Sungut Alman, yang kembali membuka mulutnya ke arah Rere."Aku tahu, Man. Banyak ustad
"Pak ...!" Dyah mencoba menahan langkah kaki Alman yang langsung menuju pintu masuk ruangan Dewa."Dewa, ada, kan?" Tanya Alman yang membalikkan badannya ke arah Dyah yang sudah berdiri di belakangnya."Ada, Tapi--"Terlambat tangan Alman sudah membuka pintu yang tak dikunci itu, dan langsung masuk ke dalam, hingga membuat Dewa yang kebetulan duduk di belakang mejanya dengan mata terpejam sontak kaget."Apakah kau keberatan, jika aku memaksa masuk?" tanya Alman saat dia sudah berdiri tepat di depan Dewa hanya terhalang sebuah meja.Dewa yang sebelumnya hanya memandang Alman, kemudian beralih pada Dyah yang ada di belakang punggung tamunya itu."Maaf ...." Ucap Dyah saat dewa menganggukkan kepala ke arahnya. Ia langsung keluar dari ruangan dengan menutup pintu."Bagaimana bisa datang tanpa memberitahu lebih dahulu?""Terpaksa kula
Alman menghentikan mobilnya di depan sebuah tempat di Kemang pinggir jalan persis. Hingga memudahkan baginya untuk memarkir mobil.Tempat tongkrongan makan anak muda dengan nama "Jambo Kupi" menjadi pilihan Alman untuk menghabiskan waktu bertiga bersama sahabatnya.Tempat ini memliki banyak ruangan outdoor, dan sepertinya bebas merokok.Sesuai dengan namanya yakni Jambo, yang berarti saung dalam bahasa Aceh, bangunan tempatnya pun berbentuk saung dari bambu.Rere yang sedang malas berdebat, membiarkan Dewa memilih saung mana yang ia sukai, dan dirinya hanya mengikuti langkah Dewa dari belakang. Meninggalkan Alman yang masih memesan makanan untuk mereka bertiga.Tepat dengan apa yang Rere pikirkan, Dewa langsung duduk di saung paling belakang dari pintu masuk. Rere memilih duduk di depan kursi dewa, mereka hanya dipisahkan oleh sebuah meja bundar yang berad di tengah kumpulan kursi.Dewa melipat kemejanya di bagian lengan, hingga yang a
"Huk, huk!"Dewa langsung terbatuk, saat mendengar apa yang ditanyakan Alman. Tangan kanannya bergerak menutupi mulut."Ada yang salah dari pertanyaanku ya, Dew?" Ujar Alman yang mengalihkan pandangannya pada Rere yang masih asyik menikmati makannya, sembari melihat Dewa yang terbatuk-batuk."Kok nanya aku? Nanya ke orangnya langsung, biar jawabannya pasti." jawab Rere yang sepertinya tak perduli dengan apa yang Dewa alami."Ya ... elaaah, sensitif banget kamu, Dew? Cuma nanya gituan juga."Rere tak menjawab apa yang dikatakan Alman dia sibuk mengunyah kembali makanan di dalam mulutnya, namun kedua alisnya naik turun bersamaan sebagai isyarat kepada Alman."Kamu kenapa sih, Wa? Ditanya soal nikah aja sampai kesedak." Mengikuti apa yang di katakan Rere tadi, Alman bertanya langsung pada Dewa. Walau sebenarnya dia tahu penyebabnya."Nggak pa-pa sih, cuman nggak nyangka aja kalau kamu bakalan nanya masalah gituan." Dewa kembali ke m