Masuk
"Lempar dia ke kandang buaya hidup-hidup!" perintah Reza seketika membuat laki-laki yang sudah dua hari menjadi tawanannya berteriak histeris. Bagaimana tidak, Reza pernah berjanji akan melepaskan laki-laki itu setelah ia buka mulut tentang masalah yang dihadapinya. Namun, bukannya kebebasan yang ia dapatkan, Reza malah memerintahkan anak buahnya untuk melemparkannya hidup-hidup ke kandang buaya. Menjadi santap siang buaya-buaya lapar peliharaan Reza.
"Saya bersumpah kalau kamu tidak akan pernah menemukan kebahagiaan selama hidupmu. Kanu cam kan itu!" ucap laki-laki yang sudah babak belur tersebut sembari menatap Reza dengan tatapan kecewanya. Bukan satu atau dua kali Reza menerima sumpahan serupa yang dilontarkan oleh musuh-musuhnya. Jadi, Reza tidak menanggapinya dengan serius. Disitulah kesalahan Reza. Ia tidak tau, sumpah dari siapa yang akan merubah kehidupannya nanti. Setelah selesai dengan urusannya, Reza pun langsung melajukan mobilnya ke sebuah perusahaan yang tadi disebut oleh tawanannya. Sebuah perusahaan besar yang bergerak di segala bidang di tanah air. Tanpa ragu dan takut, Reza melangkahkan kakinya memasuki gedung pencakar langit tersebut. Berjalan dengan angkuhnya melewati para satpam yang sempat menghentikan langkahnya. "Antarkan saya ke ruangan Darwin atau kalian tidak akan pernah lagi melihat matahari keesokan harinya!" perintah Reza diiringi dengan ancaman yang membuat bulu kuduk para satpam itu berdiri. Bagaimana tidak, tidak ada yang tidak kenal dengan Reza. Mereka semua tau jika ancaman Reza tidak pernah main-main. Alhasil, tanpa banyak bicara, para satpam itu mengantarkan Reza menaiki lantai sepuluh gedung pencakar langit tersebut. Membawa Reza bertemu langsung dengan sang pengusaha yang kini terlibat skandal dengan dirinya. "Anda pasti tau siapa saya bukan? Selain itu, anda pasti sudah tau apa alasan saya datang kemari," ucap Reza tanpa basa-basi. Membuat Hartawan, si pemilik perusahaan seketika pucat pasi. "Si.. Si.. Silahkan duduk dulu Pak Reza. Kita bisa bicarakan masalah ini baik-baik," balas Hartawan gemetar. "Cih, tidak ada masalah yang bisa diselesaikan dengan baik-baik jika anda sudah berurusan dengan saya. Anda tau, saya tidak pernah menyinggung orang lain. Jika saya disinggung orang, maka jangan salahkan saya jika saya menghabisi orang itu sampai ke akar-akarnya!" ucap Reza mendominasi. Reza berhasil membuat lawannya ciut saat mendengar kata-kata yang ia lontarkan dengan nada tenang namun mematikan. "Tolong dengarkan saya dulu Pak Reza. Saya minta maaf, dan saya janji akan melakukan apapun untuk Pak Reza agar Pak Reza tidak marah lagi," balas Hartawan setengah memohon. Ia benar-benar takut jika anak muda yang ada di hadapannya itu nekat menghabisi nyawanya tanpa adanya jejak yang bisa di lacak. Hingga beberapa waktu kemudian, Reza meminta semua usaha yang dimiliki oleh Hartawan di alihkan atas namanya tanpa ada terkecuali. Termasuk dengan rumah serta semua aset yang dimiliki oleh laki-laki paruh baya tersebut. "Untuk saat ini, saya hanya menginginkan itu sebagai jalan damai diantara kita. Jika anda tidak setuju, maka jangan salahkan saya jika esok anda tak lagi dapat melihat matahari bersinar cerah," ucap Reza terdengar mengerikan. "Saya mohon, jangan ambil alih semuanya. Saya harus bagaimana jika Pak Reza mengambil alih semua harta yang saya miliki. Saya masih punya anak dan istri yang harus saya nafkahi Pak. Saya mohon jangan lakukan itu," mohon Hartawan kini sembari berlutut di kaki Reza. Di saat Reza akan angkat bicara, tiba-tiba saja pintu ruangan pun terbuka. Terlihat gadis cantik berhijab berjalan dengan anggunnya mendekat. Dengan membawa paper bag, ia terus melangkah tanpa ragu. Namun di wajah gadis itu, terlihat raut penasaran atas apa yang ada dihadapannya saat ini. "Ayah, ada apa? Kenapa ayah berlutut di kaki orang ini?" tanya gadis cantik yang ternyata adalah anak dari Hartawan. "Ayah? Apa dia anak anda?" tanya Reza memperhatikan wanita berhijab yang kini sedang berdiri di hadapannya. "Be.. Be.. Benar. Dia Sabe, anak saya," jawab Hartawan gelagapan. Sebuah senyum licik mulai terpancar di wajah Reza. Entah apa yang kini tengah ada di pikiran laki-laki bermata elang tersebut. Hingga beberapa saat kemudian, Reza memegangi kedua lengan Hartawan dan membantu pria baruh baya itu untuk berdiri. "Ayo berdiri, saya punya kesepakatan lain untuk anda. Ayo.. Ayo.. Mari duduk di sana, jangan sungkan," ucap Reza membawa Hartawan duduk di sebuah sofa di ruangan itu. Hartawan pun duduk, diiringi oleh Sabe yang memilih berdiri di sebelah Ayahnya. "Kamu, tadi siapa namanya? Ah, saya memang pelupa," "Sabe, namanya Sabe Pak," jawab Hartawan sesekali menatap ke arah sang anak. "Ok Sabe, nama yang cantik dan juga unik. Hmmmm Sabe, ayo silahkan duduk. Jangan sungkan. Kita bisa bicarakan masalah ini dengan kepala dingin," ucap Reza meminta Sabe untuk ikut duduk. Setelah semuanya duduk, Reza pun melonggarkan sedikit dasi yang ia kenakan. "Jadi begini, saya tidak akan mengambil sepersen pun punya anda. Selain itu, saya juga akan melupakan semua masalah yang ada pada kita. Tapi... Ada tapi nya ya Pak. Dengarkan saya baik-baik. Saya akan melupakan semuanya asalkan anda menikahkan saya dengan anak anda Sabe yang cantik ini. Bagaimana? Hmmmm?" ucap Reza seketika membuat bola mata Sabe melotot. Sabe seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Nggak Yah, aku nggak mau. Aku nggak mau nikah sama laki-laki ini. Aku nggak kenal dia dan dia juga nggak kenal aku," ucap Sabe melakukan penolakan terlebih dahulu. Tak ada seorang Ayah pun yang mau jika anak kesayangannya menikah dengan laki-laki kejam dan berdarah dingin seperti Reza. Termasuk juga Ayahnya Sabe. Ia tak rela jika sang anak akan dinikahi oleh laki-laki seperti Reza. "Maaf Pak, jangan lakukan itu. Anak saya Sabe masih duduk di bangku sekolah. Akhir tahun ini ia baru akan lulus. Dia masih sangat kecil dan tidak tau apa-apa tentang masalah ini," ucap Hartawan menolak untuk menikahkan Sabe dengan Reza. "Ok, ya sudah, kalau begitu segera tanda tangani semua aset yang anda miliki atas nama saya. Buruan! Saya tidak punya banyak waktu untuk hal seperti ini," ucap Reza dengan raut wajah seriusnya. "Tapi Pak....." ucap Hartawan terputus. "Aku mau Yah menikah dengannya," ucap Sabe tiba-tiba. Sontak, Hartawan terkejut mendengar ucapan sang anak baru saja. "Sabe, apa yang kamu katakan?" bisik Hartawan namun masih bisa di dengar oleh Reza. "Sudahlah Pak, jika anaknya memang mau, biarkan saja. Itu artinya, anak anda adalah anak yang patuh dan sayang sama orang tuanya," ucap Reza nampak senang. Sebelumnya, Sabe sudah tau jika perusahaan sang Ayah memiliki masalah dengan salah satu perusahaan yang dipimpin oleh Reza. Hal itu diketahuinya saat Sabe tak sengaja mendengar percakapan Ayahnya dengan orang kepercayaannya. Sabe juga tau jika laki-laki yang ada di hadapannya saat ini adalah laki-laki kejam tanpa ampun. "Yah, Ayah percaya aja ya sama aku. Aku nggak akan kenapa-kenapa kok. Yang terpenting sekarang Ayah bisa hidup dengan tenang seperti sebelumnya. Karena tak punya pilihan lain, Hartawan pun terpaksa mengizinkan Sabe untuk menikah dengan laki-laki kejam itu.Sabe dan Maya berlari tanpa henti, membiarkan kegelapan hutan yang lebat menelan mereka. Tanah basah dan berlumpur di lereng bukit Cikandel menjadi sekutu mereka. Mereka menembus semak belukar yang berduri, suara napas mereka yang terengah-engah dan gemerisik dedaunan menjadi satu-satunya petunjuk. Di kejauhan, mereka masih bisa mendengar teriakan Reza, sebuah janji yang kejam. Ia tidak akan pernah berhenti."Pabrik Pemurnian Emas..." Sabe berusaha mengatur napas, menyeimbangkan diri saat Maya menarik tangannya melompati akar pohon yang melintang."Tempat pembersihan aset kotor. Bagaimana... Bagaimana itu bisa menjadi tempat di mana Cahaya Merangkak, Air Menangis, dan Api Membisu?"Maya memperlambat langkahnya sedikit, bersembunyi di balik sebatang pohon beringin tua yang akarnya menjulang seperti jaring laba-laba raksasa."Ayah tidak pernah menggunakan metafora biasa. Dia bermain dengan kata-kata kuno, dengan alkimia. Cahaya Merangkak. Itu adalah cahaya tersembunyi, yang tidak diakui
Sabe mengikuti Maya, langkahnya kini lebih mantap meskipun air kotor di selokan itu dingin dan kental. Bau lumpur, karat, dan air pembuangan yang menyengat terasa seperti minyak wangi kebebasan setelah aroma pengap di ruang arsip. Mereka berjalan dalam keheningan yang tegang, hanya diselingi oleh gemericik air dan napas terengah-engah. Di atas, suara sirene mobil polisi dan mobil dinas yang tergesa-gesa terdengar seperti lolongan hantu yang jauh, memburu mereka.Mereka harus bergerak cepat. Reza tidak bodoh. Kemarahannya yang besar akan segera memudar, digantikan oleh perhitungan yang dingin. Catatan Plato itu adalah gangguan, bensin yang membakar amarahnya, tetapi hanya sementara."Kau bilang ada tiga pilar, tiga petunjuk," kata Sabe, suaranya bergema samar di terowongan beton. Ia harus memecah keheningan yang mencekam itu. "Petunjuk pertama, Pilar Pertama, dimana Waktu Berhenti. Di sana, lonceng Mati tidak akan berdentang lagi. Apa yang kau ketahui tentang ini?"Maya tidak langsung
Sabe terpeleset di ambang pintu, menabrak punggung Maya yang sudah melangkah cepat ke dalam lorong yang sempit dan gelap. Aroma di sini jauh berbeda. Bukan lagi kertas tua dan kapur barus, melainkan tanah lembab, lumut, dan bau karat yang menusuk hidung."Hati-hati. Lantai kayu ini sudah lapuk," desis Maya tanpa menoleh.Suara decit rem yang tajam di jalan depan kini diikuti oleh debuman pintu mobil yang keras dan suara sepatu pantofel yang tergesa-gesa menghantam aspal. Mereka hanya punya beberapa detik."Nyaris," bisik Sabe, menelan ludah. Adrenalinnya melonjak, membakar rasa takut menjadi fokus tajam. Ia mengikuti Maya, tangannya meraba dinding di sampingnya yang terasa seperti batu bata tua yang dingin. Lorong itu menukik tajam ke bawah, membentuk tangga curam yang dibuat dari kayu yang tidak rata."Apa yang kau ketik di ponselku?" tanya Sabe, suaranya tercekat."Alamat Yayasan," jawab Maya, langkahnya tanpa cela di kegelapan. "Candra akan memimpin pasukan serigalanya ke sana, me
Perjalanan taksi kedua terasa berbeda. Jika yang pertama adalah lompatan menuju kebenaran yang tidak diketahui, yang ini adalah penurunan sadar ke dalam sarang ular.Sabe memegang alamat di tangannya yang sedikit gemetar. Jalan Merpati. Sebuah area di kota tua yang bahkan lebih terpencil, terkenal dengan gang-gang sempitnya dan bangunan-bangunan yang seakan membungkuk di bawah beban rahasia mereka.Ponsel di dalam sakunya terasa seperti bom waktu. Ia belum membukanya sejak meninggalkan kedai kopi. Ia tahu Reza pasti sudah menelepon. Mungkin awalnya hanya panggilan biasa, lalu berubah menjadi tuntutan, dan sekarang, pasti sudah menjadi alarm berburu.Ia bisa merasakan cengkeraman sangkar emasnya. Yang tadinya hanya metafora, kini mengencang secara harfiah."Di sini, Mbak," kata sopir taksi, berhenti di depan sebuah fasad yang nyaris runtuh.Papan nama kayu yang tergantung miring bertuliskan Aksara Kuno.Toko buku antik. Sabe membayar dan melangkah keluar. Udara di gang itu terasa penga
Fajar merayap masuk melalui tirai sutra, bukan sebagai janji, melainkan sebagai peringatan. Sabe sudah terjaga sejak lama, pikirannya berputar mengolah setiap detail dari pesan misterius itu. Kedai kopi tua di persimpangan jalan Anggrek. Sendirian. Jangan bawa liontin itu. Sabe berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun rumahannya yang mahal terasa seperti kulit kedua yang menyesakkan. Hari ini, ia harus melepaskan citra Nyonya Yunanda yang dingin dan anggun. Ia perlu berbaur, menjadi bayangan di tengah kota yang ramai. Ia membuka lemari, mengabaikan deretan gaun desainer. Matanya menangkap satu setelan yang sengaja ia simpan di sudut: celana panjang longgar berwarna arang dan blus oversized dari katun linen. Pakaian sederhana yang mengingatkannya pada masa lalunya yang ia kira telah ia tinggalkan. Ia mengikat rambutnya ke belakang dengan gaya yang jauh dari tata rias sempurna yang biasanya ia pakai. Di saku celananya, ia menyelipkan foto Saraswati, Ayahnya, dan gadis
Jantung Sabe berdebar-debar, iramanya seperti genderang perang yang tak bisa dihentikan. Koridor di luar perpustakaan terasa tak berujung, marmernya yang mengilap memantulkan citra dirinya yang tidak lagi rapuh. Ia memeluk tumpukan buku itu erat-erat, seolah-olah buku-buku tersebut adalah tameng yang melindunginya dari tatapan tajam Reza yang terasa mengintai dari setiap sudut. Ia harus tampil sempurna. Dingin, anggun, dan tak tersentuh. Nyonya Yunanda yang baru, yang hatinya terbuat dari es, dan yang di matanya hanya ada pantulan cahaya safir.Di ujung koridor, ia berpapasan dengan Bu Suri. Wanita paruh baya itu tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai mata. "Sudah selesai, Nyonya?" suaranya lembut, namun Sabe bisa menangkap nada ingin tahu di dalamnya. Bu Suri menunggu. Menunggu bukti kepatuhan.Sabe membalas tatapan itu, menarik napas sejenak, dan menampilkan senyum yang paling dipaksakan, yang justru terasa paling meyakinkan."Hanya permulaan, Bu Suri," jawabnya, suaranya tenan







