MasukLampu temaram dari lorong itu mati. Kegelapan total menyelimuti kamar, menusuk Sabe lebih tajam daripada dinginnya marmer tadi. Ia berdiri di sana, di tengah ruangan yang terlalu besar, suara kunci yang berputar barusan masih berdengung di telinganya seperti peluru yang ditembakkan.
Reza. Predator. Neraka. Ia ambruk kembali ke sofa, tubuhnya menggigil bukan karena dingin, melainkan karena syok yang tertunda. Air mata yang sempat mengering kini mengalir lagi, deras, namun kali ini bercampur dengan amarah yang rapuh. "Perisai hidup," bisiknya pada kegelapan. Ia mengepalkan tangan, kuku-kuku jarinya menusuk telapak tangan. Rasa sakit fisik itu jauh lebih bisa ditoleransi daripada rasa tak berdaya yang mencekik. Aturan nomor dua, jangan pernah membantah saya. Aturan nomor empat, kamu adalah jaminan, Sabe. Bukan istri. Dan dia melanggar aturan keempat itu sendiri. Dia menyentuhnya. Meskipun hanya dagu, sentuhan itu cukup untuk mengukir ketakutan baru, ketakutan akan dirinya. Sabe memeluk dirinya sendiri. Di dalam kegelapan yang pekat, satu-satunya hal nyata yang bisa ia rasakan adalah mukena travel yang masih melilitnya dan Al-Qur'an di tangannya. Perlahan, ia merangkak ke ranjang raksasa itu. Ranjang yang terasa seperti altar pengorbanan. Ia membaringkan diri di tepi. Di atas sprei sutra yang dingin dan wangi, ia merasa kotor. Ia tidak mengganti pakaian tidurnya, ia tetap dengan piyama katun sederhana. Ia memejamkan mata, memaksakan dirinya untuk mencari ketenangan. Bertahan. Bertahan untuk Ayah. Waktu berlalu tanpa definisi. Sabe tidak tahu pasti pukul berapa ia akhirnya tertidur karena kelelahan emosional, tapi ia terbangun karena suara tirai jendela yang dibuka dengan kasar. Cahaya matahari pagi yang menusuk memaksa matanya terbuka. Bu Suri berdiri di depan jendela, tangannya menarik tirai tebal itu seolah menghukumnya. Ekspresi wajahnya sedatar kemarin, seragamnya kaku dan tanpa cela. "Selamat pagi, Nyonya," sapa Bu Suri. "Anda punya waktu tiga puluh menit untuk bersiap. Tuan Reza menunggu di ruang sarapan." Sabe melonjak duduk. Ia baru tidur beberapa jam. Tenggorokannya terasa kering dan kepalanya berdenyut. "Kamar mandi sudah disiapkan," lanjut Bu Suri, menunjuk ke arah kamar mandi. "Saya sudah memilihkan pakaian untuk Anda." Sabe melihat ke tepi ranjang. Di sana, terlipat rapi sebuah setelan blus sutra berwarna taupe dan rok pensil hitam yang elegan. Pakaian itu terasa begitu asing. "Saya akan memakai pakaian saya sendiri," kata Sabe, suaranya parau. Ia menunjuk piyama katunnya yang usang. Bu Suri tidak bergerak, hanya menatap Sabe. Mata keriputnya tampak seperti kaca. "Tuan Reza memerintahkan semua pakaian lama Nyonya dibuang," jawabnya, nadanya tidak mengizinkan perdebatan. "Nyonya akan mengenakan apa yang Tuan sediakan di rumah ini." Jantung Sabe berdebar cepat. Bahkan pakaiannya pun harus dikontrol? Sebuah upaya total untuk menghapus identitas dirinya yang lama. "Saya tidak mau membuang pakaian yang Ayah berikan pada saya," desis Sabe. "Itu aturan di rumah ini, Nyonya. Atau Tuan yang akan mengambilnya secara langsung." Bayangan Reza yang marah semalam langsung menusuk ingatan Sabe. Ia tahu ini bukan gertakan. Mengambil pakaian lamanya adalah pelanggaran aturan membantah. Dengan tangan gemetar, Sabe mengambil setelan baru itu. Kain sutra itu dingin dan halus di kulitnya, terasa seperti rantai baru. Sarapan adalah ritual yang dingin. Sabe diantar menuruni tangga marmer spiral yang megah ke ruang sarapan. Ruangan itu didominasi oleh meja panjang yang terbuat dari kayu gelap, dihiasi dengan kristal dan perak yang berkilauan. Sinar matahari pagi menembus jendela kaca patri, menciptakan pantulan warna-warni di lantai. Reza sudah duduk di ujung meja, membaca koran bisnis yang terlipat rapi. Dia mengenakan setelan jas abu-abu tua yang dipesan khusus, dasinya diikat sempurna. Dia terlihat... Berbahaya dalam balutan kesempurnaan. Sabe merasa seperti tikus kecil di hadapan seekor elang. Bu Suri menarik kursi untuk Sabe, yang letaknya tepat di seberang Reza. Jarak di antara mereka terasa seperti jurang. Reza menurunkan koran, tatapannya langsung menembus Sabe. "Duduk," perintahnya, bahkan tanpa menyapa. Sabe duduk, merasakan tatapan tajam pria itu menyapu dirinya dari kepala hingga ujung kaki, menilai setelan baru yang ia kenakan. "Puas dengan pakaianmu?" tanyanya. Sabe mengangguk kaku. "Terima kasih." "Makanan," kata Reza pada Bu Suri, mengabaikan Sabe. Troli makanan pagi didorong masuk. Ada omelette yang dimasak dengan sempurna, pancake yang disiram madu, dan buah-buahan tropis segar yang disusun indah. "Makan," perintah Reza lagi, tanpa melihat Sabe. "Jangan membuat dirimu sakit. Aku butuh tameng yang kuat." Sabe meraih sendoknya. Ia memaksakan diri untuk makan, mengunyah perlahan, setiap gigitan terasa seperti pasir. "Hari ini, kamu akan mulai belajar," ucap Reza, suaranya tenang namun mengandung ancaman. Ia meletakkan sendoknya, mengambil serbet dan membersihkan bibirnya dengan gerakan yang presisi. "Bu Suri akan mengajarimu semua yang perlu kamu ketahui tentang rumah ini. Tata krama. Etika sosial tingkat tinggi. Jangan membuat kesalahan, Sabe. Kesalahanmu bukan hanya memalukan diriku. Tapi akan ada konsekuensi untuk ayahmu." Sabe mendongak. "Apa yang harus saya pelajari?" "Segalanya," jawab Reza, matanya menyipit. "Kamu adalah Nyonya Yunanda yang baru. Kamu harus tahu bagaimana menjadi nyonya rumah yang sempurna. Mengetahui semua detail tentang setiap barang antik di rumah ini. Semua nama tamu penting, dan bagaimana menyambut mereka." "Saya tidak peduli dengan semua itu," balas Sabe, tak bisa menahan diri. "Saya hanya ingin tahu kenapa Ayah saya..." KLANG! Reza membanting garpunya di atas piring. Suara logam yang beradu itu memekakkan telinga dalam kesunyian. Wajahnya menjadi gelap, kemarahan yang ia tahan semalam kini kembali menyala. "Pelanggaran ketiga," suaranya mendesis rendah, mematikan. Bu Suri yang berdiri di dekatnya menundukkan kepala. "Dua puluh empat jam kamu berada di rumahku, dan kamu sudah melanggar aturanku tiga kali." Reza bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi menjulang di atas meja, auranya mendominasi seluruh ruangan. "Aku akan memberimu pelajaran, Sabe. Pelajaran yang akan kamu ingat." Dia berjalan mengitari meja. Sabe terengah, tubuhnya kembali membeku ketakutan. Reza berdiri di belakang kursi Sabe. Tangannya meraih rambut Sabe yang disanggul Bu Suri tadi, mencengkeramnya sedikit, menarik wajah Sabe mendongak ke atas, menatap langit-langit. Bukan rasa sakit yang hebat, tapi cukup untuk menjepitnya. "Aku tidak suka mengulang perintahku, Nyonya Yunanda," bisiknya, suaranya rendah, langsung di telinga Sabe. Aroma cologne mahal itu kembali menyerang indra Sabe, lebih kuat, lebih tajam. "Mulai hari ini, kamu akan menuruti setiap kata yang keluar dari mulutku. Tanpa pertanyaan. Tanpa bantahan. Atau aku akan pastikan ayahmu menjalani hidup yang lebih buruk daripada neraka yang ia ciptakan untukku." Sabe tidak bisa bicara. Air matanya kembali menetes, membasahi wajahnya. Ia hanya bisa mengangguk, isyarat kecil yang menunjukkan kepatuhan absolut. Reza melepaskan cengkeramannya, tapi Sabe masih merasakan jejak tangannya di kulit kepalanya. "Bu Suri," panggil Reza. "Bawa dia. Mulai pelajaran pertamanya sekarang. Dan pastikan dia mengerti. Jika dia tidak siap untuk pesta lusa, tanggung jawab ada di tanganmu." "Baik, Tuan," jawab Bu Suri, suaranya datar. Reza berbalik, tidak lagi melihat Sabe. Ia mengambil korannya dan kembali ke kursinya. Seolah-olah momen mengerikan barusan tidak pernah terjadi. Bu Suri maju, menarik lengan Sabe dengan cengkeraman yang kuat dan dingin. "Ayo, Nyonya," Bu Suri berbisik, tidak ada empati sama sekali. Sebelum bangkit, Sabe menanyakan bagaimana dengan kelanjutan sekolahnya. "Saya tidak mau berhenti sekolah karena sebentar lagi saya akan lulus SMA. Saya mohon, izinkan saya kembali ke sekolah," ucap Sabe memberanikan dirinya ditengah rasa takut yang mendominasi. "Saya akan memikirkannya nanti. Sekarang pergi," jawab Reza tanpa menoleh kearah Sabe. Sabe bangkit. Ia melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan sarapan yang tidak tersentuh dan monster yang dingin di belakangnya. Tangan Bu Suri yang mencengkeramnya terasa seperti tangan penjaga penjara. Pelajaran pertama, menjadi boneka yang sempurna. Ia dibawa ke perpustakaan. Ruangan yang diselimuti panel kayu gelap, dengan ribuan buku dan satu meja kerja besar di tengahnya. Bu Suri meletakkan setumpuk tebal buku di depan Sabe. Semuanya tentang silsilah keluarga, sejarah seni, politik global, dan elite sosial. "Anda akan membaca semuanya," kata Bu Suri. "Dalam dua hari. Malam ini, Tuan Reza akan menguji Anda. Setiap jawaban yang salah, setiap kesalahan saat pesta lusa, akan ada konsekuensinya." Bu Suri tidak perlu menyebutkan konsekuensinya. Sabe tahu. Hartawan. Sabe memandang buku-buku itu. Ribuan kata, ribuan informasi. Mustahil. Tapi ia harus. Ia tidak punya pilihan. Ia membuka buku pertama, tentang silsilah keluarga Yunanda. Tiba-tiba, ia menyadari sesuatu. Di meja kerja itu, di tengah tumpukan dokumen bisnis, tergeletak sebuah kotak perhiasan kecil berwarna merah marun. Kotak itu terbuka sedikit, dan di dalamnya, ada sebuah kalung. Kalung kuno, terbuat dari emas putih yang berukir rumit, dengan liontin batu permata safir biru yang indah. Kalung itu terasa asing, namun sekaligus familiar. Sabe menatap kalung itu. Dan jantungnya serasa berhenti. "Liontin safir itu..." gumam Sabe. Persis sama dengan kalung yang selalu diceritakan Ayahnya. Kalung yang merupakan peninggalan terakhir Ibunya. Kalung yang hilang belasan tahun lalu. Kalung yang katanya... Dicuri. Sabe menoleh pada Bu Suri, matanya membelalak. "Kalung itu..." Bu Suri mengikuti arah pandang Sabe. Wajahnya yang kaku menunjukkan ekspresi sekilas, seperti terkejut. "Itu milik Nyonya. Hadiah dari Tuan Reza," jawab Bu Suri cepat, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya. "Jangan menyentuhnya. Sekarang, baca." Sabe kembali menatap kalung itu, dan rasa mual yang lebih hebat dari semalam menyerangnya. Kalung ibunya ada di sini. Di meja kerja Reza. Di rumah mafia ini. Mungkinkah... Mungkinkah itu yang Ayahnya curi? Kalung ibunya sendiri? Ketakutan Sabe kini bercampur dengan kengerian yang dalam. Ia berada di pusat dari sebuah kebohongan yang mengerikan. Dan ia adalah boneka sandera di tengah-tengahnya. Sabe meraih buku silsilah itu, mencengkeramnya erat. Ia mulai membaca, mencoba membenamkan dirinya dalam ribuan nama dan tahun. Tapi pikirannya terus kembali pada kalung safir biru itu. Ia harus bertahan. Ia harus belajar. Ia harus keluar dari neraka ini dan mencari tahu kebenaran. Untuk Ayahnya. Dan untuk Ibunya.Sabe dan Maya berlari tanpa henti, membiarkan kegelapan hutan yang lebat menelan mereka. Tanah basah dan berlumpur di lereng bukit Cikandel menjadi sekutu mereka. Mereka menembus semak belukar yang berduri, suara napas mereka yang terengah-engah dan gemerisik dedaunan menjadi satu-satunya petunjuk. Di kejauhan, mereka masih bisa mendengar teriakan Reza, sebuah janji yang kejam. Ia tidak akan pernah berhenti."Pabrik Pemurnian Emas..." Sabe berusaha mengatur napas, menyeimbangkan diri saat Maya menarik tangannya melompati akar pohon yang melintang."Tempat pembersihan aset kotor. Bagaimana... Bagaimana itu bisa menjadi tempat di mana Cahaya Merangkak, Air Menangis, dan Api Membisu?"Maya memperlambat langkahnya sedikit, bersembunyi di balik sebatang pohon beringin tua yang akarnya menjulang seperti jaring laba-laba raksasa."Ayah tidak pernah menggunakan metafora biasa. Dia bermain dengan kata-kata kuno, dengan alkimia. Cahaya Merangkak. Itu adalah cahaya tersembunyi, yang tidak diakui
Sabe mengikuti Maya, langkahnya kini lebih mantap meskipun air kotor di selokan itu dingin dan kental. Bau lumpur, karat, dan air pembuangan yang menyengat terasa seperti minyak wangi kebebasan setelah aroma pengap di ruang arsip. Mereka berjalan dalam keheningan yang tegang, hanya diselingi oleh gemericik air dan napas terengah-engah. Di atas, suara sirene mobil polisi dan mobil dinas yang tergesa-gesa terdengar seperti lolongan hantu yang jauh, memburu mereka.Mereka harus bergerak cepat. Reza tidak bodoh. Kemarahannya yang besar akan segera memudar, digantikan oleh perhitungan yang dingin. Catatan Plato itu adalah gangguan, bensin yang membakar amarahnya, tetapi hanya sementara."Kau bilang ada tiga pilar, tiga petunjuk," kata Sabe, suaranya bergema samar di terowongan beton. Ia harus memecah keheningan yang mencekam itu. "Petunjuk pertama, Pilar Pertama, dimana Waktu Berhenti. Di sana, lonceng Mati tidak akan berdentang lagi. Apa yang kau ketahui tentang ini?"Maya tidak langsung
Sabe terpeleset di ambang pintu, menabrak punggung Maya yang sudah melangkah cepat ke dalam lorong yang sempit dan gelap. Aroma di sini jauh berbeda. Bukan lagi kertas tua dan kapur barus, melainkan tanah lembab, lumut, dan bau karat yang menusuk hidung."Hati-hati. Lantai kayu ini sudah lapuk," desis Maya tanpa menoleh.Suara decit rem yang tajam di jalan depan kini diikuti oleh debuman pintu mobil yang keras dan suara sepatu pantofel yang tergesa-gesa menghantam aspal. Mereka hanya punya beberapa detik."Nyaris," bisik Sabe, menelan ludah. Adrenalinnya melonjak, membakar rasa takut menjadi fokus tajam. Ia mengikuti Maya, tangannya meraba dinding di sampingnya yang terasa seperti batu bata tua yang dingin. Lorong itu menukik tajam ke bawah, membentuk tangga curam yang dibuat dari kayu yang tidak rata."Apa yang kau ketik di ponselku?" tanya Sabe, suaranya tercekat."Alamat Yayasan," jawab Maya, langkahnya tanpa cela di kegelapan. "Candra akan memimpin pasukan serigalanya ke sana, me
Perjalanan taksi kedua terasa berbeda. Jika yang pertama adalah lompatan menuju kebenaran yang tidak diketahui, yang ini adalah penurunan sadar ke dalam sarang ular.Sabe memegang alamat di tangannya yang sedikit gemetar. Jalan Merpati. Sebuah area di kota tua yang bahkan lebih terpencil, terkenal dengan gang-gang sempitnya dan bangunan-bangunan yang seakan membungkuk di bawah beban rahasia mereka.Ponsel di dalam sakunya terasa seperti bom waktu. Ia belum membukanya sejak meninggalkan kedai kopi. Ia tahu Reza pasti sudah menelepon. Mungkin awalnya hanya panggilan biasa, lalu berubah menjadi tuntutan, dan sekarang, pasti sudah menjadi alarm berburu.Ia bisa merasakan cengkeraman sangkar emasnya. Yang tadinya hanya metafora, kini mengencang secara harfiah."Di sini, Mbak," kata sopir taksi, berhenti di depan sebuah fasad yang nyaris runtuh.Papan nama kayu yang tergantung miring bertuliskan Aksara Kuno.Toko buku antik. Sabe membayar dan melangkah keluar. Udara di gang itu terasa penga
Fajar merayap masuk melalui tirai sutra, bukan sebagai janji, melainkan sebagai peringatan. Sabe sudah terjaga sejak lama, pikirannya berputar mengolah setiap detail dari pesan misterius itu. Kedai kopi tua di persimpangan jalan Anggrek. Sendirian. Jangan bawa liontin itu. Sabe berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun rumahannya yang mahal terasa seperti kulit kedua yang menyesakkan. Hari ini, ia harus melepaskan citra Nyonya Yunanda yang dingin dan anggun. Ia perlu berbaur, menjadi bayangan di tengah kota yang ramai. Ia membuka lemari, mengabaikan deretan gaun desainer. Matanya menangkap satu setelan yang sengaja ia simpan di sudut: celana panjang longgar berwarna arang dan blus oversized dari katun linen. Pakaian sederhana yang mengingatkannya pada masa lalunya yang ia kira telah ia tinggalkan. Ia mengikat rambutnya ke belakang dengan gaya yang jauh dari tata rias sempurna yang biasanya ia pakai. Di saku celananya, ia menyelipkan foto Saraswati, Ayahnya, dan gadis
Jantung Sabe berdebar-debar, iramanya seperti genderang perang yang tak bisa dihentikan. Koridor di luar perpustakaan terasa tak berujung, marmernya yang mengilap memantulkan citra dirinya yang tidak lagi rapuh. Ia memeluk tumpukan buku itu erat-erat, seolah-olah buku-buku tersebut adalah tameng yang melindunginya dari tatapan tajam Reza yang terasa mengintai dari setiap sudut. Ia harus tampil sempurna. Dingin, anggun, dan tak tersentuh. Nyonya Yunanda yang baru, yang hatinya terbuat dari es, dan yang di matanya hanya ada pantulan cahaya safir.Di ujung koridor, ia berpapasan dengan Bu Suri. Wanita paruh baya itu tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai mata. "Sudah selesai, Nyonya?" suaranya lembut, namun Sabe bisa menangkap nada ingin tahu di dalamnya. Bu Suri menunggu. Menunggu bukti kepatuhan.Sabe membalas tatapan itu, menarik napas sejenak, dan menampilkan senyum yang paling dipaksakan, yang justru terasa paling meyakinkan."Hanya permulaan, Bu Suri," jawabnya, suaranya tenan







