LOGINKengerian yang dirasakan Sabe saat melihat liontin safir itu lebih dingin daripada marmer mana pun. Ia menarik napas, bau debu tua dari buku-buku di sekelilingnya tiba-tiba terasa menyesakkan. Ini bukan lagi tentang hutang dan sandera. Ini tentang warisan, kebohongan, dan pengkhianatan yang terasa pribadi.
"Baca, Nyonya!" Suara Bu Suri tajam, mengiris udara seperti pisau cukur. "Waktu berjalan, dan Tuan tidak suka kekecewaan." Sabe membenamkan wajahnya di atas halaman pertama, memaksakan matanya untuk fokus pada nama keluarga Yunanda R. Yunanda. Reza. Ia mencoba menelan pertanyaan yang mendesak di tenggorokannya. Jika itu kalung Ibunya, bagaimana bisa ada di sini? Apa hubungan Ayahnya dengan keluarga ini, selain hutang yang menghancurkan? Ketidak mungkinan untuk berpikir jernih membuatnya meraih pena yang tergeletak di meja. Bukan untuk menulis, melainkan untuk menggenggamnya, menjadikan ujung tumpulnya sebagai jangkar untuk akal sehatnya yang hampir hilang. Ia membalik halaman silsilah dengan cepat, tidak peduli dengan detail nama dan tahun, ia mencari benang merah. Sesuatu yang menghubungkan Ayahnya, Ibunya, dan Reza. Bu Suri, yang berdiri kaku seperti patung di ambang pintu, tampak semakin resah. Sesekali ia melirik jam tangan emasnya, dan sesekali pula ia melirik kalung safir yang masih terbuka di samping tumpukan dokumen. "Nyonya," desis Bu Suri, maju selangkah. "Saya sarankan Anda membaca sejarah seni, itu akan lebih banyak ditanyakan Tuan. Jangan buang waktu dengan silsilah." Mendengar desakan itu, Sabe justru menguatkan tekadnya pada silsilah keluarga. "Mengapa?" tanyanya tanpa mendongak, suaranya tenang, sebuah ketenangan yang menipu, "Mengapa Tuan Reza sangat ingin menghapus semua jejak saya yang lama?" Bu Suri terdiam, jeda yang terasa lama, menciptakan ketegangan yang lebih pekat daripada asap rokok. "Tuan Reza membutuhkan Nyonya Yunanda. Bukan Sabe yang lama. Anda harus sepenuhnya menjadi jaminan yang bernilai," "Jaminan," ulang Sabe, pahit. Ia akhirnya mendongak, menatap Bu Suri dengan tatapan yang membara. "Liontin safir itu. Katakan padaku, siapa pemilik aslinya sebelum Tuan Reza memberikannya padaku?" Mata Bu Suri berkedip. Dalam sekejap itu, Sabe menangkap keraguan yang sangat kecil, seolah Bu Suri telah melanggar salah satu aturan Reza. "Sudah saya katakan. Itu hadiah, Nyonya. Fokus pada tugas Anda." "Saya tahu itu bukan hadiah," balas Sabe, mendorong setumpuk buku ke samping. Ia meraih kotak perhiasan itu, mengambil liontin safir dingin itu di tangannya. Begitu menyentuhnya, getaran aneh menyelimuti, kenangan samar dari dongeng Ayahnya tentang permata biru yang dicintai Ibunya. "Ayahku bilang ini hilang. Katakan padaku, Bu Suri, apakah Ayahku mencuri ini dari keluarga Yunanda?" Bu Suri menarik napas, ekspresinya akhirnya retak, menunjukkan kelelahan yang nyata di balik wajah kakunya. "Anda tidak boleh tahu apa-apa selain yang diizinkan oleh Tuan Reza. Masalah ini terlalu besar. Anda akan menyakiti diri sendiri. Percayalah." "Aku sudah disakiti," bisik Sabe, berdiri. Sutra dingin dari blusnya terasa seperti belenggu, namun kalung di tangannya terasa seperti kunci. "Aku tidak bisa menjadi boneka yang sempurna jika aku tidak tahu drama apa yang sedang kumainkan." Saat Sabe berbicara, suara langkah kaki berat terdengar dari lorong. Jantung Sabe mencelos. Reza. Bu Suri panik. Ia segera berjalan cepat ke arah Sabe, mencoba merebut kalung itu. "Nyonya, jangan! Tuan... Tuan tidak mengizinkan Anda menyentuh barang itu! Berikan pada saya!" Sabe mundur selangkah. Ia bergerak berdasarkan insting, mencengkeram kalung itu dan memasukkannya ke dalam saku rok pensilnya. "Tidak. Ini milikku." Pintu perpustakaan terbuka dengan suara keras. Reza berdiri di ambang pintu. Tatapannya dingin dan mematikan, menyapu Bu Suri yang tampak tegang, lalu beralih pada Sabe yang berdiri di samping meja kerja. "Apa yang terjadi di sini, Bu Suri?" Nada suaranya rendah, lebih berbahaya daripada teriakan. Bu Suri segera menunduk, menyembunyikan keterkejutannya. "Tidak ada, Tuan. Nyonya baru saja... Mencari pena yang jatuh." Reza berjalan masuk, jasnya yang mahal tampak sempurna. Ia tidak tertipu. Matanya yang tajam tertuju pada saku rok Sabe yang tampak sedikit menggelembung. "Sabe," katanya, suaranya seperti es yang retak. "Apa yang ada di saku rokmu?" Sabe bisa merasakan gemetar ketakutan di seluruh tubuhnya. Opsi untuk berbohong terasa mustahil. Reza akan tahu. Opsi untuk mematuhi terasa seperti pengkhianatan pada Ibunya. Ia memaksakan diri untuk berdiri tegak. Ini adalah saatnya. Jika ia harus hancur, ia harus hancur dengan bermartabat. "Kalung," jawab Sabe, suaranya parau, namun tetap terdengar. Ia mengeluarkan kalung safir itu, membiarkan liontin itu menjuntai di antara jari-jarinya. Cahaya pagi menyentuh permata itu, membuatnya bersinar dengan cahaya biru yang menyakitkan. "Aku butuh tahu. Kenapa kalung ini ada di sini? Ayahku bilang ini peninggalan Ibuku." Wajah Reza, yang selalu terkendali, menunjukkan gejolak emosi sesaat. Itu bukan kemarahan. Itu... Kejutan. Sebuah keretakan dalam benteng kesempurnaannya. Ia menatap kalung itu, lalu beralih pada Sabe. Kemudian, ia tersenyum. Senyum itu tidak menjangkau matanya. Itu adalah senyum predator sebelum serangan. "Bu Suri, tinggalkan kami," perintah Reza. Bu Suri menatap Sabe dengan ekspresi memohon yang tak berdaya sebelum bergegas keluar, menutup pintu perpustakaan di belakangnya. Sekarang, hanya ada mereka berdua. Boneka dan monster. Reza melangkah maju, perlahan, seperti ular yang merayap. Ia berhenti tepat di depan Sabe, begitu dekat sehingga Sabe harus mendongak untuk menatapnya. Ia mengulurkan tangan. Bukan untuk menyentuh Sabe, melainkan untuk mengambil kalung itu. Sabe tidak melepaskannya. "Berikan padaku, Sabe," perintahnya. "Jawab aku dulu," balas Sabe, keberaniannya datang dari keputusasaan. "Siapa Ibuku? Apa hubungannya denganmu dan dengan kalung ini?" Reza mendengus, tawa kering tanpa humor. Ia meraih pergelangan tangan Sabe, cengkeramannya kuat dan menyakitkan, memaksa Sabe melepaskan liontin itu. Kalung itu kini ada di tangan Reza. Ia memandangi safir biru itu sejenak, tatapannya jauh dan gelap. "Ayahmu bukan hanya seorang pencuri," bisik Reza, nadanya penuh kebencian yang mendalam. Ia menjepit dagu Sabe, memaksanya menatap matanya. "Dia seorang penipu. Dan dia mencuri jauh lebih banyak dariku daripada sekadar uang. Dia mencuri... Masa depanku." Reza mengangkat kalung itu, membiarkannya berkilauan di depan wajah Sabe. "Ini, adalah harga yang harus dia bayar, Sabe. Ini adalah milik keluarga Yunanda. Dan sekarang, ini akan menjadi yang terakhir yang kamu lihat darinya, sampai kamu benar-benar mengerti konsekuensi dari setiap kesalahan ayahmu." Dengan gerakan cepat dan kejam, Reza berbalik dan membanting kalung itu ke meja kerja. Liontin safir itu memantul sekali, lalu terhenti. "Aturan baru," desisnya, menoleh ke Sabe. "Jangan pernah lagi membicarakan Ayahmu. Jangan pernah mempertanyakan apa pun di rumah ini. Kamu akan menjadi Nyonya Yunanda yang sempurna. Dan jika kamu berhasil melakukannya, mungkin, mungkin, aku akan membiarkan ayahmu melihat cahaya matahari di balik jeruji besi." Reza melangkah ke pintu, berhenti sebentar, menoleh sekali lagi ke Sabe yang kini gemetar di tengah perpustakaan yang megah itu. "Jika tidak, Sabe, aku akan pastikan ayahmu menjalani sisa hidupnya dalam kegelapan total. Keputusan ada di tanganmu. Mulai membaca." Ia keluar, meninggalkan Sabe sendirian. Liontin safir biru itu, dingin dan berkilauan, terasa seperti mata yang mengawasi Sabe. Kalung itu bukan hanya peninggalan. Itu adalah bukti. Bukti bahwa kisah Ayahnya adalah kebohongan. Dan sekarang, Sabe harus mencari tahu kebohongan apa yang menyelimuti dirinya, sebelum ia tenggelam dalam neraka yang dibuat oleh Reza. Ia harus bertahan. Ia harus belajar. Dan ia harus memenangkan permainan ini.Sabe dan Maya berlari tanpa henti, membiarkan kegelapan hutan yang lebat menelan mereka. Tanah basah dan berlumpur di lereng bukit Cikandel menjadi sekutu mereka. Mereka menembus semak belukar yang berduri, suara napas mereka yang terengah-engah dan gemerisik dedaunan menjadi satu-satunya petunjuk. Di kejauhan, mereka masih bisa mendengar teriakan Reza, sebuah janji yang kejam. Ia tidak akan pernah berhenti."Pabrik Pemurnian Emas..." Sabe berusaha mengatur napas, menyeimbangkan diri saat Maya menarik tangannya melompati akar pohon yang melintang."Tempat pembersihan aset kotor. Bagaimana... Bagaimana itu bisa menjadi tempat di mana Cahaya Merangkak, Air Menangis, dan Api Membisu?"Maya memperlambat langkahnya sedikit, bersembunyi di balik sebatang pohon beringin tua yang akarnya menjulang seperti jaring laba-laba raksasa."Ayah tidak pernah menggunakan metafora biasa. Dia bermain dengan kata-kata kuno, dengan alkimia. Cahaya Merangkak. Itu adalah cahaya tersembunyi, yang tidak diakui
Sabe mengikuti Maya, langkahnya kini lebih mantap meskipun air kotor di selokan itu dingin dan kental. Bau lumpur, karat, dan air pembuangan yang menyengat terasa seperti minyak wangi kebebasan setelah aroma pengap di ruang arsip. Mereka berjalan dalam keheningan yang tegang, hanya diselingi oleh gemericik air dan napas terengah-engah. Di atas, suara sirene mobil polisi dan mobil dinas yang tergesa-gesa terdengar seperti lolongan hantu yang jauh, memburu mereka.Mereka harus bergerak cepat. Reza tidak bodoh. Kemarahannya yang besar akan segera memudar, digantikan oleh perhitungan yang dingin. Catatan Plato itu adalah gangguan, bensin yang membakar amarahnya, tetapi hanya sementara."Kau bilang ada tiga pilar, tiga petunjuk," kata Sabe, suaranya bergema samar di terowongan beton. Ia harus memecah keheningan yang mencekam itu. "Petunjuk pertama, Pilar Pertama, dimana Waktu Berhenti. Di sana, lonceng Mati tidak akan berdentang lagi. Apa yang kau ketahui tentang ini?"Maya tidak langsung
Sabe terpeleset di ambang pintu, menabrak punggung Maya yang sudah melangkah cepat ke dalam lorong yang sempit dan gelap. Aroma di sini jauh berbeda. Bukan lagi kertas tua dan kapur barus, melainkan tanah lembab, lumut, dan bau karat yang menusuk hidung."Hati-hati. Lantai kayu ini sudah lapuk," desis Maya tanpa menoleh.Suara decit rem yang tajam di jalan depan kini diikuti oleh debuman pintu mobil yang keras dan suara sepatu pantofel yang tergesa-gesa menghantam aspal. Mereka hanya punya beberapa detik."Nyaris," bisik Sabe, menelan ludah. Adrenalinnya melonjak, membakar rasa takut menjadi fokus tajam. Ia mengikuti Maya, tangannya meraba dinding di sampingnya yang terasa seperti batu bata tua yang dingin. Lorong itu menukik tajam ke bawah, membentuk tangga curam yang dibuat dari kayu yang tidak rata."Apa yang kau ketik di ponselku?" tanya Sabe, suaranya tercekat."Alamat Yayasan," jawab Maya, langkahnya tanpa cela di kegelapan. "Candra akan memimpin pasukan serigalanya ke sana, me
Perjalanan taksi kedua terasa berbeda. Jika yang pertama adalah lompatan menuju kebenaran yang tidak diketahui, yang ini adalah penurunan sadar ke dalam sarang ular.Sabe memegang alamat di tangannya yang sedikit gemetar. Jalan Merpati. Sebuah area di kota tua yang bahkan lebih terpencil, terkenal dengan gang-gang sempitnya dan bangunan-bangunan yang seakan membungkuk di bawah beban rahasia mereka.Ponsel di dalam sakunya terasa seperti bom waktu. Ia belum membukanya sejak meninggalkan kedai kopi. Ia tahu Reza pasti sudah menelepon. Mungkin awalnya hanya panggilan biasa, lalu berubah menjadi tuntutan, dan sekarang, pasti sudah menjadi alarm berburu.Ia bisa merasakan cengkeraman sangkar emasnya. Yang tadinya hanya metafora, kini mengencang secara harfiah."Di sini, Mbak," kata sopir taksi, berhenti di depan sebuah fasad yang nyaris runtuh.Papan nama kayu yang tergantung miring bertuliskan Aksara Kuno.Toko buku antik. Sabe membayar dan melangkah keluar. Udara di gang itu terasa penga
Fajar merayap masuk melalui tirai sutra, bukan sebagai janji, melainkan sebagai peringatan. Sabe sudah terjaga sejak lama, pikirannya berputar mengolah setiap detail dari pesan misterius itu. Kedai kopi tua di persimpangan jalan Anggrek. Sendirian. Jangan bawa liontin itu. Sabe berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya. Gaun rumahannya yang mahal terasa seperti kulit kedua yang menyesakkan. Hari ini, ia harus melepaskan citra Nyonya Yunanda yang dingin dan anggun. Ia perlu berbaur, menjadi bayangan di tengah kota yang ramai. Ia membuka lemari, mengabaikan deretan gaun desainer. Matanya menangkap satu setelan yang sengaja ia simpan di sudut: celana panjang longgar berwarna arang dan blus oversized dari katun linen. Pakaian sederhana yang mengingatkannya pada masa lalunya yang ia kira telah ia tinggalkan. Ia mengikat rambutnya ke belakang dengan gaya yang jauh dari tata rias sempurna yang biasanya ia pakai. Di saku celananya, ia menyelipkan foto Saraswati, Ayahnya, dan gadis
Jantung Sabe berdebar-debar, iramanya seperti genderang perang yang tak bisa dihentikan. Koridor di luar perpustakaan terasa tak berujung, marmernya yang mengilap memantulkan citra dirinya yang tidak lagi rapuh. Ia memeluk tumpukan buku itu erat-erat, seolah-olah buku-buku tersebut adalah tameng yang melindunginya dari tatapan tajam Reza yang terasa mengintai dari setiap sudut. Ia harus tampil sempurna. Dingin, anggun, dan tak tersentuh. Nyonya Yunanda yang baru, yang hatinya terbuat dari es, dan yang di matanya hanya ada pantulan cahaya safir.Di ujung koridor, ia berpapasan dengan Bu Suri. Wanita paruh baya itu tersenyum kecil, senyum yang tidak mencapai mata. "Sudah selesai, Nyonya?" suaranya lembut, namun Sabe bisa menangkap nada ingin tahu di dalamnya. Bu Suri menunggu. Menunggu bukti kepatuhan.Sabe membalas tatapan itu, menarik napas sejenak, dan menampilkan senyum yang paling dipaksakan, yang justru terasa paling meyakinkan."Hanya permulaan, Bu Suri," jawabnya, suaranya tenan







