“Assalamu’alaikum, Di. Apa kabar?” salamnya setelah menerima panggilan tersebut.
“Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah kabarku baik. Kai, kamu lagi sibuk?” tanya Adi setelah menjawab salam sang sahabat. Suaranya terdengar tidak tenang.
“Enggak. Aku lagi di rumah sekarang. Ada apa, Di? Apa yang bisa kubantu?” Kaisar mengernyit.
“Dita kecelakaan, Kai. Tabrak lari tadi waktu berangkat ke sekolah. Sekarang sudah di rumah sakit. Barusan ayah telepon, katanyalumayan parah. Sekarang aku dalam perjalanan ke rumah sakit.,” jelas Adi.
“Innalillahi, di rumah sakit mana, Di? Aku segera ke sana.” Jantung Kaisar serasa mau copot saat mendengar kabar pujaan hatinya itu. Meski sangat jarang bertemu, tetapi rasa cinta itu masih tetap tersimpan rapi di hatinya. Menunggu sampai saatnya tiba untuk dia menyatakan cinta.
Setelah Adi menyebutkan nama rumah sakit tempat Dita dirawat dan menutup telepon, Kaisar bergegas mandi. Dia sampai lupa menanyakan apa yang Adi inginkan darinya. Namun, setelah dipikirkan lagi, mereka nanti juga akan bertemu di rumah sakit. Berbicara secara langsung pasti lebih jelas daripada lewat telepon.
Tak butuh waktu lama bagi Kaisar untuk mandi dan berpakaian rapi. Setelah itu dia keluar kamar dan mengenakan sepatu. “Ta, aku mau ke rumah sakit. Dita kecelakaan.” Kaisar memberi tahu adiknya.
“Dita adiknya Mas Adi?” tanya Tirta memastikan.
“Iya, memangnya Dita siapa lagi yang kita kenal. Kalau nanti aku enggak pulang, berarti langsung ngantor. Jangan lupa kunci pintu rumah dan gerbang,” pesan Kaisar sebelum pergi.
“Iya, Mas. Hati-hati, enggak usah ngebut. Dita enggak akan ke mana-mana kok,” celetuk Tirta.
Kaisar tertawa kecil mendengar olok-olok adiknya. Dia mengeluarkan motor dan segera berlalu meninggalkan Tirta dan juga Shasha.
“Mas Kaisar mau ke mana kok kayanya buru-buru banget, Ta?” tanya Shasha usai perwira polisi itu pergi.
“Mau ketemu ceweknya,” jawab Tirta sambil tertawa.
“Yang kecelakaan tadi ceweknya?” tanya Shasha lagi
“Anggap saja begitu, Sha.” Tirta menghela napasnya.
“Kok gitu, Ta?” Shasha mengernyit karena penasaran.
“Sebenarnya itu cewek yang ditaksir sama Masku, Sha. Adik sahabatnya. Masku tuh aneh, banyak cewek cantik yang naksir dia sejak SMA enggak ada yang ditanggapi malah sukanya sama anak kecil,” curhat Tirta.
“Maksudmu Mas Kai itu pedofil?” tanya Shasha dengan polosnya.
“Bukan, Sha. Aduh, amit-amit Masku itu pedofil.” Tirta bergidik dan mengetuk meja sebanyak tiga kali, yang konon mitosnya bisa menghilangkan sial.
“Maksudku jarak umurnya jauh sama cewek yang dia taksir. Sekarang aja itu cewek masih kelas 2 SMA. Bayangin Sha, bertahun-tahun Masku memendam cinta. Padahal sejak masuk Akpol sampai jadi polisi sudah berapa banyak yang mau sama dia. Ada bahkan yang sampai orang tuanya datang ke rumah minta dijodohin sama Masku, tapi Masku enggak mau. Katanya dia mau cari jodoh sendiri.” Tirta membeberkan fakta soal cinta Kaisar yang terpendam.
Shasha manggut-manggut. “Oh, gitu. Harusnya kamu bangga dong punya mas yang setia gitu, Ta. Kebanyakan polisi muda itu suka bergaya. Menebar pesona di mana-mana. Playboy. Tapi, masmu itu enggak. Tetap apa adanya,” timpalnya.
Tirta pun menyengguk. “Iya sih, di satu sisi aku bangga sama dia. Tapi, di sisi lain aku kasihan. Takutnya nanti cewek itu enggak membalas cinta Masku. Kan nyesek kalau ternyata nungguin jodoh orang, Sha. Dah lama nungguin, tahu-tahu nikah sama cowok lain. Sakitnya tuh di sini.” Tirta menunjuk dadanya.
Shasha tersenyum mendengar ucapan Tirta. “Jangan suuzan gitu. Harusnya kamu ikut mendoakan semoga masmu berjodoh sama cewek yang dia taksir itu. Jangan malah ngomong yang enggak baik. Hati-hati nanti malaikat meng-aamiin-kan apa yang kamu ucapkan tadi.”
Tirta kembali mengetuk meja tiga kali. “Ya Allah, jangan sampai terjadi, Sha. Kasihan Masku kalau sampai kejadian beneran.”
“Makanya kalau ngomong itu yang baik-baik, Ta, jangan yang jelek-jelek,” nasihat Shasha yang pemikirannya memang lebih dewasa dari Tirta. Maklum saja Shasha adalah anak pertama yang harus membantu sang mama menjaga kedua adiknya setelah papanya meninggal.
“Iya, Sha, iya. Kita ngerjain tugas lagi aja yuk daripada pikiranku malah aneh-aneh.” Tirta mengajak Shasha kembali ke tujuan awal mereka.
***
Kaisar mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, tapi tetap penuh perhitungan yang matang dan tanpa melanggar aturan. Tentu saja sebagai aparat negara, dia disiplin dalam berlalu lintas. Setelah menempuh perjalanan setengah dari waktu normal, tibalah Kaisar di rumah sakit. Sesudah memarkirkan kuda besinya, dia langsung menghubungi Adi.
“Aku sudah di rumah sakit, kamu di mana, Di?” tanyanya sambil berjalan cepat menuju IGD.
“Aku lagi ngurus administrasi buat rawat inap Dita,” jawab Adi dari seberang telepon.
“Oke, aku ke sana.” Setelah bertanya pada satpam di mana tempat untuk mengurus administrasi, Kaisar segera menyusul Adi dan urung ke IGD.
“Gimana keadaan Dita?” tanya Kaisar tanpa basa-basi pada Adi begitu bertemu dengan sahabatnya itu.
“Alhamdulillah hanya patah tulang ringan di lengan kiri, jadi tidak perlu operasi. Tadi baru dipasang gips pas aku ke sini. Aku minta dicek semuanya sekalian biar tahu kalau ada luka dalam. Katanya Dita juga sempat pingsan setelah kecelakaan, semoga saja hanya karena syok,” terang Adi.
“Alhamdulillah.” Kaisar menghela napas lega. Sepanjang perjalanan tadi dia berdoa semoga gadis yang sudah mengisi hatinya selama beberapa tahun itu tidak terluka parah. “Berarti sekarang Dita sudah masuk kamar?”
Adi menggeleng. “Belum. Ini aku baru ngurus kamarnya. Tadi ayah sudah pesan yang kelas 1, tapi mau aku pindah ke VIP biar bunda juga lebih nyaman nunggunya.”
“Baguslah kalau begitu. Oh ya, tadi kamu bilang Dita korban tabrak lari, apa sudah ketemu pelakunya?” tanya Kaisar.
Adi kembali menggeleng. “Belum, Kai. Makanya tadi aku telepon kamu itu mau minta tolong buat nyari pelakunya.”
“Sudah ada yang menangani kan tadi?” tanya Kaisar lagi.
“Iya dari lantas polsek terdekat. Mungkin mereka masih bicara sama ayah sekarang,” jawab Adi.
Kaisar mengangguk. “Kalau gitu aku ketemu ayah dulu, siapa tahu masih bisa ketemu mereka.”
“Oke, makasih, Kai,” ucap Adi.
“Oh ya, ayah di mana, Di?” Sang perwira polisi kembali bertanya sebelum beranjak pergi.
“Di IGD,” sahut Adi.
Setelah itu Kaisar meninggalkan sang sahabat menuju IGD yang tadi dilewati begitu saja. Di dalam IGD, dia melihat Pak Wijaya sedang berbicara dengan dua orang polisi. Perwira Polisi itu lalu menghampiri mereka.
“Siang, Pak.” Kaisar memberi hormat pada dua polisi tersebut seraya tersenyum ramah.
“Siang, Ndan.” Kedua polisi tadi balas memberi hormat pada Kaisar. Walaupun tidak mengenakan seragam, tapi kedua aparat itu tahu kalau Kaisar adalah seorang perwira polisi yang pangkatnya di atas mereka.
“Assalamu’alaikum, Yah.” Kaisar mencium punggung tangan Pak Wijaya.
“Wa’alaikumussalam. Kapan datang, Kai?” tanya Pak Wijaya sembari menepuk lengan kiri Kaisar. Dia sudah menganggap sahabat Adi itu seperti anaknya sendiri.
“Baru saja, Yah. Tadi Adi telepon, terus langsung ke sini,” jawab Kaisar sambil.
“Enggak dinas?” tanya Pak Wijaya lagi.
“Nanti malam, Yah. Makanya bisa ke sini sekarang.” Kaisar tersenyum pada ayah Adi itu.
“Gimana, Pak, apa sudah ada petunjuk siapa yang melakukan tabrak lari?” Kaisar beralih pada dua polisi tersebut.
“Siap, Ndan. Saat ini kami sedang mengambil keterangan dari para saksi mata.” Kaisar mengangguk, kemudian berbicara serius dengan mereka berdua.
Beberapa kali Kaisar menelepon. Dia meminta informasi yang sudah didapat polisi tadi dan memberikan instruksi apa yang harus dilakukan. Meski sebenarnya itu bukan daerah kewenangannya, tapi demi menangkap pelaku yang sudah menabrak Dita, dia melakukannya. Toh, Kaisar mengenal Kapolsek yang menangani tabrak lari Dita, jadi tidak masalah. Kedua polisi tersebut pamit setelah berbicara cukup lama dengan Kaisar. Mereka berjanji akan mengabari kalau ada info terbaru.
“Bunda di mana, Yah?” tanya Kaisar pada Pak Wijaya setelah kedua polisi tadi pergi.
“Ada di dalam, menemani Dita. Kamu mau pulang ke rumah?” Pak Wijaya memandang sahabat putra sulungnya itu.
“Enggak, Yah. Habis dari sini langsung ngantor. Kalau pulang dulu, nanti malah enggak jadi ngantor. Bisa kena sanksi nanti.” Kaisar tertawa kecil.
“Itu Adi sudah datang.” Pak Wijaya menunjuk Adi yang berjalan ke arah mereka. Kaisar lalu ikut mengalihkan pandangan.
Adi menghampiri Kaisar dan sang ayah yang memandang ke arahnya. “Kita diminta menunggu sebentar karena kamarnya baru disiapkan. Mas ambil yang VIP, Yah. Biar Bunda dan Adek lebih nyaman. Nanti mas yang bayar selisih harganya,” ujar Adi. Sebagai ASN, Pak Wijaya dan keluarga mendapat jatah kelas 1 dari Askes untuk layanan rawat inap. Kalau mengambil kelas di atasnya, harus membayar selisih harga kelas 1 dan VIP. Begitu lulus kuliah dari Teknik Sipil UGM, Adi langsung diterima kerja di salah satu perusahaan konstruksi nasional dengan gaji yang cukup besar. Karena itu, dia berani menanggung biaya rawat inap adik semata wayangnya. “Ayah juga mampu bayar, Mas,” sahut Pak Wijaya. “Biar mas saja, Yah. Nanti kan Adek masih harus kontrol kalau pulang dari sini. Pasti juga tidak semua biaya ditanggung Askes.” Adi bersikeras menanggung biaya perawatan adiknya. “Ya sudah, terserah kamu. Ayah mau lihat Adek dulu.” Pak Wijaya meninggalkan dua sahabat itu. “Aku sudah bicara sama petugas yang ke
Kaisar menoleh begitu mendengar pintu terbuka. Melihat Adi masuk dengan perawat saat Dita masih menggenggam erat tangannya. Namun, dia juga tidak mungkin melepaskan tangan adik sahabatnya itu begitu saja. Dita pasti menahan rasa sakit. Karena berulang kali mengeratkan genggamannya. “Syukurlah kamu datang, Di. Dita merintih terus, kayanya sakit banget,” ucap Kaisar dengan raut khawatir. “Permisi, Mas. Saya ingin menyuntikkan pereda nyeri dulu,” kata perawat pada Kaisar. “Iya, Sus.” Kaisar berdiri dan ingin melepas tangannya, tapi Dita tidak mau melepaskan. Mungkin gadis itu masih merasakan sakit, jadi ingin terus menggenggam tangan Kaisar. Akhirnya dia tetap berdiri di sisi ranjang, dan memberi ruang untuk perawat melakukan tindakan. Adi hanya diam melihat pemandangan di depannya. Mencoba tetap berpikir positif, mungkin tadi Dita mencarinya dan mengira Kaisar adalah dia. Karena itu, sang adik terus menggenggam tangan sahabatnya. Adi yakin perwira polisi itu tidak akan mengambil kese
Hari Minggu pun tiba, kalau di rumah lain mungkin waktu untuk bermalas-malasan, tetapi tidak di rumah Bu Dewi. Sejak Subuh, mereka memulai aktivitasnya masing-masing. Ada yang membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, dan juga memasak. Bu Dewi memang mendidik anak-anaknya mandiri. Apalagi sejak dia harus membanting tulang demi ketiga anaknya yang masih di usia sekolah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Setengah tujuh pagi, Rendra sudah keluar dari rumah untuk latihan karate di Gelanggang UGM. Tentu saja dia pergi setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di rumah. Nisa membantu mamanya membuat brownies usai mereka menyantap sarapan bersama. Sementara Shasha merapikan kamarnya agar tidak terlihat berantakan saat Tirta nanti masuk ke sana. “Mama mau buat brownies berapa sih?” tanya Nisa yang melihat ada banyak bahan di dapur. Bu Dewi tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan si bungsu. “Empat kayanya.” “Banyak banget, Ma,” komentar Nisa. “Satu nanti buat su
“Aku ingin buka toko aksesori motor dan mobil, Pak. Di sini kayanya belum ada. Kalau butuh apa-apa harus ke kota.” Kaisar memberi tahu bapaknya. “Rencananya mau buka di mana?” tanya Pak Dipta. “Di ruko depan ada yang kosong kan, Pak. Daripada disewa sama orang lain, aku sewa saja,” jawab Kaisar. “Pakai saja kalau kamu mau, Kai. Terus yang jaga toko siapa? Belanjanya di mana?” Pak Dipta menatap sang putra. “Aku ada kenalan yang jual grosiran aksesori motor sama mobil, Pak. Nanti barangnya aku ambil dari dia. Kalau yang jaga toko ambil dari orang sini saja, Pak. Cari orang yang jujur dan mau kerja keras. Kalau bisa sih laki-laki,” ujar Kaisar. Pak Dipta mengangguk-angguk. “Ya, nanti coba bapak carikan. Rencanamu kapan mau buka?” “Awal bulan depan saja, Pak. Nanti aku sekalian cari apa saja yang diperlukan,” sahut Kaisar. “Apa sudah ada modal?” Pak Dipta memastikan. “Alhamdulillah ada meski tidak banyak, Pak. Kemarin teman sudah nawari, bayarnya bisa tempo jadi tidak langsung luna
Dita mengangguk malu-malu. “Boleh, Mas.” “Oh ya sampai lupa. Ini aku bawakan makanan yang lagi hit di kota.” Kaisar meletakkan tas yang berisi kudapan yang dibawa ke atas meja. “Makasih, Mas. Malah jadi merepotkan. Aku sudah pesan sama Mas Adi tapi belum sempat dibelikan. Alhamdulillah dibawakan sama Mas Kaisar,” sahut Dita dengan raut bahagia. Gadis itu memang ekspresif dan apa adanya, tidak suka berpura-pura atau bersikap sok manis. “Mau coba kuenya? Aku bantu bukakan ya.” Kaisar mengeluarkan kemasan kardus dari tas plastik. “Mau yang rasa keju apa cokelat?” Kaisar menawarkan setelah membuka kardus dan terlihat macam-macam isinya. “Keju saja, Mas,” jawab Dita dengan mata berbinar-binar menatap kue yang ada di hadapannya. Kaisar mengambil kue dengan isian keju. Membuka kemasan plastiknya sebelum menyerahkan pada Dita. “Apa aku bantu suapi sekalian?” Dita tersenyum sambil menerima kue. “Makasih. Tidak perlu, Mas. Tangan kananku baik-baik saja kok. Biasanya aku juga makan sendiri
Sesudah makan siang, Kaisar masih mengobrol dengan Adi sampai Pak Wijaya dan Bu Hasna pulang. Sementara Dita beristirahat di kamarnya. Selalu seperti itu, Kaisar hanya punya kesempatan mengobrol dengan sang pujaan hati saat sedang menunggu Adi. Meski begitu, perwira polisi itu tetap merasa bahagia karena hari ini bisa mengobrol lama dengan adik dari sang sahabat. Kaisar pamit pulang setelah berbasi-basi sebentar dengan kedua orang tua Adi. Membahas tentang pelaku tabrak lari yang sudah berhasil ditangkap. Sebelum pulang, Bu Hasna membawakan Kaisar makanan hasil masakannya untuk dibawa ke kontrakan. Karena saat resepsi tadi Bu Ryani bercerita kalau masakannya gosong. Sepulang dari sana, Kaisar mampir dahulu ke toko yang membuat etalase. Memesan lemari kaca dan rak untuk memajang aksesori kendaraan di tokonya yang akan mulai buka bulan depan. Sebelum ke rumah Adi, dia tadi sudah mengukur panjang dan lebar ruko, jadi sudah menentukan ukuran etalase dan rak yang akan dipakai. Setelah it
Bibir Kaisar membentuk bulan sabit. “Kenapa? Kamu keberatan? Aku yang mau nunggu Dita kok kamu yang protes.” “Ck, bukan gitu, Mas. Kalau misal Dita nanti pas kuliah punya pacar gimana? Mas Kai, kan jadi buang-buang waktu nunggu dia.” Tirta coba memberi gambaran pada sang kakak. “Dita enggak bakal pacaran, Ta,” sangkal Kaisar dengan yakin. “Kok tahu?” Tirta mengernyit. “Tadi aku ngobrol sama Dita. Aku pancing soal pacar, dia bilang enggak mau pacaran. Buang-buang waktu katanya,” ungkap Kaisar. “Dita masih ABG, Mas. Masih labil. Gampang berubah. Hari ini bilang A, besok bisa jadi Z.” Tirta kembali mengingatkan sang perwira. “Dita enggak bakal berubah. Aku tahu dia sejak kecil.” Lagi-lagi Kaisar menyangkal omongan adiknya. “Apa sebaiknya aku mengikat dia dulu untuk berjaga-jaga ya, Ta.” Polisi berpangkat Ipda itu tiba-tiba berubah pikiran. “Mengikat gimana, Mas?” Tirta mengernyit karena penasaran. “Aku lamar dia sekarang. Terus tunangan dulu gitu sampai Dita selesai kuliah,” jelas
Shasha mengernyit mendengar permintaan sang kakak tingkat. “PW? Apa itu, Mas?” “Serius kamu enggak tahu apa itu PW?” tanya Arjuna yang dijawab gelengan kepala oleh juniornya itu. “PW itu pendamping wisuda, Sha,” terang Arjuna sambil tertawa kecil. “Oh, pendamping wisuda,” ucap Shasha dengan polosnya. “Masa kamu enggak tahu sih?” Pemuda berpostur tinggi dan tegap itu merasa heran. “Serius, aku enggak tahu, Mas. Soalnya belum pernah ada yang ngomong gitu sama aku,” aku Shasha. “Terus kenapa Mas Juna minta aku jadi PW?” Shasha lalu balik bertanya. “Kamu tahu sendiri aku kan jomlo. Enggak punya pacar. Masa iya pas wisuda aku enggak ada pendampingnya. Kaya ada yang kurang, Sha,” jawab Arjuna. “Iya, aku tahu. Tapi, kenapa aku? Masih banyak cewek lain kan yang Mas Juna kenal. Atau minta saja salah satu penggemar Mas Juna. Pasti mereka dengan sukarela jadi pendamping Mas Juna.” Shasha yang tak habis pikir dengan permintaan kakak tingkatnya itu. Arjuna menggeleng. “Aku maunya kamu yang