Share

Bab 2

“Assalamu’alaikum, Di. Apa kabar?” salamnya setelah menerima panggilan tersebut.

“Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah kabarku baik. Kai, kamu lagi sibuk?” tanya Adi setelah menjawab salam sang sahabat. Suaranya terdengar tidak tenang.

“Enggak. Aku lagi di rumah sekarang. Ada apa, Di? Apa yang bisa kubantu?” Kaisar mengernyit.

“Dita kecelakaan, Kai. Tabrak lari tadi waktu berangkat ke sekolah. Sekarang sudah di rumah sakit. Barusan ayah telepon, katanyalumayan parah. Sekarang aku dalam perjalanan ke rumah sakit.,” jelas Adi.

“Innalillahi, di rumah sakit mana, Di? Aku segera ke sana.” Jantung Kaisar serasa mau copot saat mendengar kabar pujaan hatinya itu. Meski sangat jarang bertemu, tetapi rasa cinta itu masih tetap tersimpan rapi di hatinya. Menunggu sampai saatnya tiba untuk dia menyatakan cinta.

Setelah Adi menyebutkan nama rumah sakit tempat Dita dirawat dan menutup telepon, Kaisar bergegas mandi. Dia sampai lupa menanyakan apa yang Adi inginkan darinya. Namun, setelah dipikirkan lagi, mereka nanti juga akan bertemu di rumah sakit. Berbicara secara langsung pasti lebih jelas daripada lewat telepon.

Tak butuh waktu lama bagi Kaisar untuk mandi dan berpakaian rapi. Setelah itu dia keluar kamar dan mengenakan sepatu. “Ta, aku mau ke rumah sakit. Dita kecelakaan.” Kaisar memberi tahu adiknya.

“Dita adiknya Mas Adi?” tanya Tirta memastikan.

“Iya, memangnya Dita siapa lagi yang kita kenal. Kalau nanti aku enggak pulang, berarti langsung ngantor. Jangan lupa kunci pintu rumah dan gerbang,” pesan Kaisar sebelum pergi.

“Iya, Mas. Hati-hati, enggak usah ngebut. Dita enggak akan ke mana-mana kok,” celetuk Tirta.

Kaisar tertawa kecil mendengar olok-olok adiknya. Dia mengeluarkan motor dan segera berlalu meninggalkan Tirta dan juga Shasha.

“Mas Kaisar mau ke mana kok kayanya buru-buru banget, Ta?” tanya Shasha usai perwira polisi itu pergi.

“Mau ketemu ceweknya,” jawab Tirta sambil tertawa.

“Yang kecelakaan tadi ceweknya?” tanya Shasha lagi

“Anggap saja begitu, Sha.” Tirta menghela napasnya.

“Kok gitu, Ta?” Shasha mengernyit karena penasaran.

“Sebenarnya itu cewek yang ditaksir sama Masku, Sha. Adik sahabatnya. Masku tuh aneh, banyak cewek cantik yang naksir dia sejak SMA enggak ada yang ditanggapi malah sukanya sama anak kecil,” curhat Tirta.

“Maksudmu Mas Kai itu pedofil?” tanya Shasha dengan polosnya.

“Bukan, Sha. Aduh, amit-amit Masku itu pedofil.” Tirta bergidik dan mengetuk meja sebanyak tiga kali, yang konon mitosnya bisa menghilangkan sial.

“Maksudku jarak umurnya jauh sama cewek yang dia taksir. Sekarang aja itu cewek masih kelas 2 SMA. Bayangin Sha, bertahun-tahun Masku memendam cinta. Padahal sejak masuk Akpol sampai jadi polisi sudah berapa banyak yang mau sama dia. Ada bahkan yang sampai orang tuanya datang ke rumah minta dijodohin sama Masku, tapi Masku enggak mau. Katanya dia mau cari jodoh sendiri.” Tirta membeberkan fakta soal cinta Kaisar yang terpendam.

Shasha manggut-manggut. “Oh, gitu. Harusnya kamu bangga dong punya mas yang setia gitu, Ta. Kebanyakan polisi muda itu suka bergaya. Menebar pesona di mana-mana. Playboy. Tapi, masmu itu enggak. Tetap apa adanya,” timpalnya.

Tirta pun menyengguk. “Iya sih, di satu sisi aku bangga sama dia. Tapi, di sisi lain aku kasihan. Takutnya nanti cewek itu enggak membalas cinta Masku. Kan nyesek kalau ternyata nungguin jodoh orang, Sha. Dah lama nungguin, tahu-tahu nikah sama cowok lain. Sakitnya tuh di sini.” Tirta menunjuk dadanya.

Shasha tersenyum mendengar ucapan Tirta. “Jangan suuzan gitu. Harusnya kamu ikut mendoakan semoga masmu berjodoh sama cewek yang dia taksir itu. Jangan malah ngomong yang enggak baik. Hati-hati nanti malaikat meng-aamiin-kan apa yang kamu ucapkan tadi.”

Tirta kembali mengetuk meja tiga kali. “Ya Allah, jangan sampai terjadi, Sha. Kasihan Masku kalau sampai kejadian beneran.”

“Makanya kalau ngomong itu yang baik-baik, Ta, jangan yang jelek-jelek,” nasihat Shasha yang pemikirannya memang lebih dewasa dari Tirta. Maklum saja Shasha adalah anak pertama yang harus membantu sang mama menjaga kedua adiknya setelah papanya meninggal.

“Iya, Sha, iya. Kita ngerjain tugas lagi aja yuk daripada pikiranku malah aneh-aneh.” Tirta mengajak Shasha kembali ke tujuan awal mereka.

***

Kaisar mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, tapi tetap penuh perhitungan yang matang dan tanpa melanggar aturan. Tentu saja sebagai aparat negara, dia disiplin dalam berlalu lintas. Setelah menempuh perjalanan setengah dari waktu normal, tibalah Kaisar di rumah sakit. Sesudah memarkirkan kuda besinya, dia langsung menghubungi Adi.

“Aku sudah di rumah sakit, kamu di mana, Di?” tanyanya sambil berjalan cepat menuju IGD.

“Aku lagi ngurus administrasi buat rawat inap Dita,” jawab Adi dari seberang telepon.

“Oke, aku ke sana.” Setelah bertanya pada satpam di mana tempat untuk mengurus administrasi, Kaisar segera menyusul Adi dan urung ke IGD.

“Gimana keadaan Dita?” tanya Kaisar tanpa basa-basi pada Adi begitu bertemu dengan sahabatnya itu.

“Alhamdulillah hanya patah tulang ringan di lengan kiri, jadi tidak perlu operasi. Tadi baru dipasang gips pas aku ke sini. Aku minta dicek semuanya sekalian biar tahu kalau ada luka dalam. Katanya Dita juga sempat pingsan setelah kecelakaan, semoga saja hanya karena syok,” terang Adi.

“Alhamdulillah.” Kaisar menghela napas lega. Sepanjang perjalanan tadi dia berdoa semoga gadis yang sudah mengisi hatinya selama beberapa tahun itu tidak terluka parah. “Berarti sekarang Dita sudah masuk kamar?”

Adi menggeleng. “Belum. Ini aku baru ngurus kamarnya. Tadi ayah sudah pesan yang kelas 1, tapi mau aku pindah ke VIP biar bunda juga lebih nyaman nunggunya.”

“Baguslah kalau begitu. Oh ya, tadi kamu bilang Dita korban tabrak lari, apa sudah ketemu pelakunya?” tanya Kaisar.

Adi kembali menggeleng. “Belum, Kai. Makanya tadi aku telepon kamu itu mau minta tolong buat nyari pelakunya.”

“Sudah ada yang menangani kan tadi?” tanya Kaisar lagi.

“Iya dari lantas polsek terdekat. Mungkin mereka masih bicara sama ayah sekarang,” jawab Adi.

Kaisar mengangguk. “Kalau gitu aku ketemu ayah dulu, siapa tahu masih bisa ketemu mereka.”

“Oke, makasih, Kai,” ucap Adi.

“Oh ya, ayah di mana, Di?” Sang perwira polisi kembali bertanya sebelum beranjak pergi.

“Di IGD,” sahut Adi.

Setelah itu Kaisar meninggalkan sang sahabat menuju IGD yang tadi dilewati begitu saja. Di dalam IGD, dia melihat Pak Wijaya sedang berbicara dengan dua orang polisi. Perwira Polisi itu lalu menghampiri mereka.

“Siang, Pak.” Kaisar memberi hormat pada dua polisi tersebut seraya tersenyum ramah.

“Siang, Ndan.” Kedua polisi tadi balas memberi hormat pada Kaisar. Walaupun tidak mengenakan seragam, tapi kedua aparat itu tahu kalau Kaisar adalah seorang perwira polisi yang pangkatnya di atas mereka.

“Assalamu’alaikum, Yah.” Kaisar mencium punggung tangan Pak Wijaya.

“Wa’alaikumussalam. Kapan datang, Kai?” tanya Pak Wijaya sembari menepuk lengan kiri Kaisar. Dia sudah menganggap sahabat Adi itu seperti anaknya sendiri.

“Baru saja, Yah. Tadi Adi telepon, terus langsung ke sini,” jawab Kaisar sambil.

“Enggak dinas?” tanya Pak Wijaya lagi.

“Nanti malam, Yah. Makanya bisa ke sini sekarang.” Kaisar tersenyum pada ayah Adi itu.

“Gimana, Pak, apa sudah ada petunjuk siapa yang melakukan tabrak lari?” Kaisar beralih pada dua polisi tersebut.

“Siap, Ndan. Saat ini kami sedang mengambil keterangan dari para saksi mata.” Kaisar mengangguk, kemudian berbicara serius dengan mereka berdua.

Beberapa kali Kaisar menelepon. Dia meminta informasi yang sudah didapat polisi tadi dan memberikan instruksi apa yang harus dilakukan. Meski sebenarnya itu bukan daerah kewenangannya, tapi demi menangkap pelaku yang sudah menabrak Dita, dia melakukannya. Toh, Kaisar mengenal Kapolsek yang menangani tabrak lari Dita, jadi tidak masalah. Kedua polisi tersebut pamit setelah berbicara cukup lama dengan Kaisar. Mereka berjanji akan mengabari kalau ada info terbaru.

“Bunda di mana, Yah?” tanya Kaisar pada Pak Wijaya setelah kedua polisi tadi pergi.

“Ada di dalam, menemani Dita. Kamu mau pulang ke rumah?” Pak Wijaya memandang sahabat putra sulungnya itu.

“Enggak, Yah. Habis dari sini langsung ngantor. Kalau pulang dulu, nanti malah enggak jadi ngantor. Bisa kena sanksi nanti.” Kaisar tertawa kecil.

“Itu Adi sudah datang.” Pak Wijaya menunjuk Adi yang berjalan ke arah mereka. Kaisar lalu ikut mengalihkan pandangan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
kasihan banget si dita kecelakaan ini pasti semua pada panik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status