Share

Pelabuhan Cinta Sang Perwira
Pelabuhan Cinta Sang Perwira
Penulis: Kokoro No Tomo

Bab 1

Kaisar menginap di rumah orang tuanya setelah sebulan tidak pulang karena kesibukannya bekerja sebagai abdi negara. Dia memanfaatkan waktu liburnya di sana. Berharap tidak ada panggilan tugas mendadak dari atasan. Setelah membantu sang bapak di kebun dan membersihkan diri, perwira muda itu menonton televisi di ruang tengah.

“Kai, nanti Bapak sama Ibu mau kondangan di rumah Pak Wijaya. Kamu diundang tidak sama Adi?” tanya Ryani pada Kaisar, putra sulungnya. Wanita paruh baya itu baru datang dari dapur membawa singkong goreng yang tadi dipanen dari kebun.

Kening Kaisar mengerut mendengar pertanyaan sang ibu. “Memangnya Adi nikah, Bu?” Bukannya menjawab, perwira polisi berpangkat Inspektur Polisi Dua itu malah balik bertanya.

Ryani menggeleng. “Bukan Adi yang nikah, tapi Dita,” jawabnya.

Kaisar terkesiap mendengar nama cinta pertamanya itu disebut oleh sang ibu. Dia lalu tertawa kecil. “Dita, adiknya Adi?” tanyanya memastikan.

Wanita paruh baya itu menyengguk. “Iya, memangnya Dita siapa lagi. Anaknya Pak Wijaya ‘kan cuma dua. Adi sama Dita,” jelasnya.

Kaisar kembali tertawa kecil. “Ibu jangan bercanda gitu. Mana mungkin Dita menikah sekarang. Dia ‘kan baru masuk kuliah tahun kemarin. Ibu ada-ada saja nih,” ucapnya tak percaya dan malah menganggap sang ibu bercanda.

“Buat apa ibu bercanda. Sebentar ibu carikan undangannya kalau kamu tidak percaya.” Ryani kemudian mencari undangan pernikahan yang dimaksud. Begitu tidak menemukan di ruang tengah, dia lalu mencari di kamar.

Sementara itu Kaisar masih tertawa kecil. Kepalanya sesekali menggeleng karena menurutnya pernikahan itu mustahil terjadi. Dita saat ini masih berusia 19 tahun. Dia baru lulus SMA tahun kemarin. Rasanya tidak mungkin kalau gadis yang sudah mengisi hatinya selama tujuh tahun itu menikah. Dita, gadis tomboi itu, tidak pernah terdengar dekat dengan pria mana pun. Tipikal gadis cuek dan polos yang tidak mengenal cinta di usia remaja.

“Mas Kai, kenapa tertawa sendiri?” tegur Tirta, sang adik, yang tiba-tiba duduk di sebelahnya dan mengambil remote TV.

“Ibu itu loh bercanda,” sahut Kaisar.

Tirta mengernyit. “Memangnya ibu bercanda apa?” Gadis itu merasa heran karena ibunya bukan tipikal yang suka bercanda.

“Masa ibu bilang Dita nikah,” jawab Kaisar seraya tertawa kecil. “Dia ‘kan baru lulus SMA. Baru masuk kuliah. Tidak mungkin menikah,” sambungnya.

“Ibu enggak bercanda, Mas. Memang benar kok Dita nikah. Aku kemarin lihat undangannya. Tirta membenarkan apa yang dikatakan sang ibu.

“Kamu enggak usah ikutan nge-prank aku.” Kaisar mengacak rambut adiknya.

“Mas Kai!” teriak Tirta yang kesal karena rambutnya yang sudah disisir rapi jadi berantakan. Membuatnya harus merapikan lagi rambutnya dengan tangan.

“Kalian berdua ini kalau berkumpul selalu saja ribut,” tegur Ryani yang baru keluar dari kamar sambil membawa undangan pernikahan Dita. “Ini undangannya.” Dia menyerahkan lembaran kertas putih dan berpita emas itu pada putra sulungnya.

Kaisar menerima undangan itu dengan ragu. Seolah ada yang mencegah agar hatinya tidak terluka. Namun, sebagai pria sejati sudah seharusnya dia siap menghadapi situasi apa pun, apalagi Kaisar sudah menempuh pendidikan di Akademi Kepolisian yang menempa fisik dan mentalnya dengan keras.

Kaisar membaca inisial nama di sampul undangan ada huruf D dan R di sana. Jantungnya langsung berdebar kencang. Rasa nyeri mulai menjalar di hati.

Dengan pelan, Kaisar membuka undangan tersebut lalu membaca nama kedua mempelai, Anindita Kusuma dan Narendra Daneswara. Seketika Kaisar terpaku, memandang nama gadis yang selama ini mengisi hatinya. Senyum dan tawa yang tadi menghiasi wajahnya, langsung menghilang. Sorot matanya tampak sangat terluka. Penantiannya selama ini ternyata sia-sia.

***

Dua tahun sebelumnya.

Kaisar terbangun saat mendengar suara gerbang rumah dibuka. Netranya memicing, melihat jam digital di atas nakas. Pukul 9.00 pagi. Berarti dia sudah tidur selama 4 jam karena baru terlelap usai salat Subuh begitu pulang dari dinas.

Kaisar memutuskan bangkit untuk melihat siapa yang membuka gerbang. Tirta tadi pagi pamit kuliah sampai siang, jadi pria itu di rumah sendiri karena hanya tinggal berdua dengan adiknya. Dengan rambut yang sedikit berantakan dan muka bantal, dia keluar dari kamar.

Betapa terkejutnya Kaisar saat mendapati adiknya masuk rumah bersama seorang gadis yang cantik. Dia pun tersenyum setelah menjawab salam dari sang adik.

“Kenalin ini teman baikku, Mas,” ucap Tirta seraya menunjuk gadis yang datang bersamanya.

Kaisar mendekat lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan gadis itu. “Kaisar.” Dia memperkenalkan diri dengan senyum ramah.

“Alesha,” sambut sang gadis yang juga tersenyum dengan manis.

“Aku ke dalam sebentar ya, Sha,” pamit Tirta yang meninggalkan sang kakak dengan sahabatnya di ruang tamu.

“Ayo, duduk dulu.” Kaisar mempersilakan sang tamu untuk duduk. Dia berusaha bersikap ramah sebagai tuan rumah walaupun itu tamu adiknya.

“Terima kasih, Mas.” Shasha pun duduk, kemudian diikuti oleh Kaisar.

“Satu jurusan sama Tirta?” Kaisar memecah keheningan di antara keduanya. Mereka sama-sama canggung karena baru pertama bertemu.

“Iya, Mas,” sahut Shasha seraya menganggut.

“Maaf kalau mukaku bantal banget. Baru tidur habis Subuh. Ini tadi kebangun karena dengar suara gerbang dibuka.” Kaisar merasa tak enak hati pada tamunya karena penampilannya yang tak keruan.

“Enggak apa-apa, Mas. Santai saja. Maaf kalau kedatangan saya malah mengganggu waktu istirahat Mas Kaisar,” ujar Shasha yang jadi semakin sungkan.

Kaisar tersenyum. “Enggak ganggu kok. Sudah lumayan tadi tidur empat jam.”

“Dinas di mana sekarang, Mas?” tanya Shasha sambil menunggu Tirta kembali ke ruang tamu.

“Sementara ini masih di Prambanan,” jawab Kaisar.

“Memang biasa ya polisi pindah-pindah tugas?” celetuk Shasha.

Kaisar menganggut. “Iya, buat penyegaran. Pimpinan yang menjabat saja biasanya hanya satu atau dua tahun setelah itu diganti yang lain.”

“Berarti Mas Kaisar termasuk pimpinan juga nih jadi sering pindah tugas,” tebak Shasha.

Kaisar tertawa kecil. “Baru memimpin beberapa orang, belum banyak,” ucapnya merendah.

“Ayo diminum siropnya, Sha. Lumayan di sini ada sirop, jadi airnya berwarna. Enggak kaya di kos yang cuma air bening,” seloroh Tirta seraya meletakkan dua gelas yang berisi es sirop cocopandan di atas meja ruang tamu.

“Makasih, Ta. Jadi ngerepotin. Biasanya dulu ambil sendiri di kos,” timpal Shasha.

“Kalau sekarang aku suruh ambil sendiri pasti kamu sungkan sama masku,” ujar Tirta yang sudah duduk di sofa.

“Katanya kuliah sampai siang, kok sudah pulang, Ta?” Kaisar bertanya pada adiknya.

“Dosennya ada acara, Mas. Jadi, kasih tugas dikumpulkan minggu depan. Daripada bengong di kampus mending pulang sambil ngerjain tugas,” jelas Tirta.

Kaisar mengangguk. “Ya udah, selamat mengerjakan tugas. Aku mau ke kamar lagi,” pamitnya.

“Ya, Mas,” sahut Tirta.

Baru saja melangkahkan kaki masuk ke kamar, gawainya tiba-tiba berdering dengan kencang. Pria itu kemudian mengambil gawai yang diletakkan di samping bantal. Sejak menjadi polisi, dia tidak pernah menonaktifkan ponselnya meskipun sedang tidur. Sebagai abdi negara, Kaisar harus siap 24 jam untuk dipanggil bertugas, karena itu dia mengatur nada deringnya ke volume tertinggi agar bisa bangun saat sedang terlelap.

Kening perwira polisi itu mengerut saat melihat nama yang terpampang di layar gawainya. Sang sahabat yang meneleponnya. Biasanya Adi akan menghubunginya di luar jam kerja atau saat malam hari, tapi sekarang masih jam kerja. Pasti ada sesuatu yang penting.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
wah ngapain tuh si adi telepon bikin kepo, eh cinta dalam diam duh nyesek ya lagian harusnya kamu bilang kalo suka, kan ini orangnya malah keburu nikah
goodnovel comment avatar
Paulina Nurhadiati Petrus
wah ngapain tuh si adi telepon bikin kepo, eh cinta dalam diam duh nyesek ya lagian harusnya kamu bilang kalo suka, kan ini orangnya malah keburu nikah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status