Kaisar menginap di rumah orang tuanya setelah sebulan tidak pulang karena kesibukannya bekerja sebagai abdi negara. Dia memanfaatkan waktu liburnya di sana. Berharap tidak ada panggilan tugas mendadak dari atasan. Setelah membantu sang bapak di kebun dan membersihkan diri, perwira muda itu menonton televisi di ruang tengah.
“Kai, nanti Bapak sama Ibu mau kondangan di rumah Pak Wijaya. Kamu diundang tidak sama Adi?” tanya Ryani pada Kaisar, putra sulungnya. Wanita paruh baya itu baru datang dari dapur membawa singkong goreng yang tadi dipanen dari kebun.
Kening Kaisar mengerut mendengar pertanyaan sang ibu. “Memangnya Adi nikah, Bu?” Bukannya menjawab, perwira polisi berpangkat Inspektur Polisi Dua itu malah balik bertanya.
Ryani menggeleng. “Bukan Adi yang nikah, tapi Dita,” jawabnya.
Kaisar terkesiap mendengar nama cinta pertamanya itu disebut oleh sang ibu. Dia lalu tertawa kecil. “Dita, adiknya Adi?” tanyanya memastikan.
Wanita paruh baya itu menyengguk. “Iya, memangnya Dita siapa lagi. Anaknya Pak Wijaya ‘kan cuma dua. Adi sama Dita,” jelasnya.
Kaisar kembali tertawa kecil. “Ibu jangan bercanda gitu. Mana mungkin Dita menikah sekarang. Dia ‘kan baru masuk kuliah tahun kemarin. Ibu ada-ada saja nih,” ucapnya tak percaya dan malah menganggap sang ibu bercanda.
“Buat apa ibu bercanda. Sebentar ibu carikan undangannya kalau kamu tidak percaya.” Ryani kemudian mencari undangan pernikahan yang dimaksud. Begitu tidak menemukan di ruang tengah, dia lalu mencari di kamar.
Sementara itu Kaisar masih tertawa kecil. Kepalanya sesekali menggeleng karena menurutnya pernikahan itu mustahil terjadi. Dita saat ini masih berusia 19 tahun. Dia baru lulus SMA tahun kemarin. Rasanya tidak mungkin kalau gadis yang sudah mengisi hatinya selama tujuh tahun itu menikah. Dita, gadis tomboi itu, tidak pernah terdengar dekat dengan pria mana pun. Tipikal gadis cuek dan polos yang tidak mengenal cinta di usia remaja.
“Mas Kai, kenapa tertawa sendiri?” tegur Tirta, sang adik, yang tiba-tiba duduk di sebelahnya dan mengambil remote TV.
“Ibu itu loh bercanda,” sahut Kaisar.
Tirta mengernyit. “Memangnya ibu bercanda apa?” Gadis itu merasa heran karena ibunya bukan tipikal yang suka bercanda.
“Masa ibu bilang Dita nikah,” jawab Kaisar seraya tertawa kecil. “Dia ‘kan baru lulus SMA. Baru masuk kuliah. Tidak mungkin menikah,” sambungnya.
“Ibu enggak bercanda, Mas. Memang benar kok Dita nikah. Aku kemarin lihat undangannya. Tirta membenarkan apa yang dikatakan sang ibu.
“Kamu enggak usah ikutan nge-prank aku.” Kaisar mengacak rambut adiknya.
“Mas Kai!” teriak Tirta yang kesal karena rambutnya yang sudah disisir rapi jadi berantakan. Membuatnya harus merapikan lagi rambutnya dengan tangan.
“Kalian berdua ini kalau berkumpul selalu saja ribut,” tegur Ryani yang baru keluar dari kamar sambil membawa undangan pernikahan Dita. “Ini undangannya.” Dia menyerahkan lembaran kertas putih dan berpita emas itu pada putra sulungnya.
Kaisar menerima undangan itu dengan ragu. Seolah ada yang mencegah agar hatinya tidak terluka. Namun, sebagai pria sejati sudah seharusnya dia siap menghadapi situasi apa pun, apalagi Kaisar sudah menempuh pendidikan di Akademi Kepolisian yang menempa fisik dan mentalnya dengan keras.
Kaisar membaca inisial nama di sampul undangan ada huruf D dan R di sana. Jantungnya langsung berdebar kencang. Rasa nyeri mulai menjalar di hati.
Dengan pelan, Kaisar membuka undangan tersebut lalu membaca nama kedua mempelai, Anindita Kusuma dan Narendra Daneswara. Seketika Kaisar terpaku, memandang nama gadis yang selama ini mengisi hatinya. Senyum dan tawa yang tadi menghiasi wajahnya, langsung menghilang. Sorot matanya tampak sangat terluka. Penantiannya selama ini ternyata sia-sia.
***
Dua tahun sebelumnya.Kaisar terbangun saat mendengar suara gerbang rumah dibuka. Netranya memicing, melihat jam digital di atas nakas. Pukul 9.00 pagi. Berarti dia sudah tidur selama 4 jam karena baru terlelap usai salat Subuh begitu pulang dari dinas.
Kaisar memutuskan bangkit untuk melihat siapa yang membuka gerbang. Tirta tadi pagi pamit kuliah sampai siang, jadi pria itu di rumah sendiri karena hanya tinggal berdua dengan adiknya. Dengan rambut yang sedikit berantakan dan muka bantal, dia keluar dari kamar.
Betapa terkejutnya Kaisar saat mendapati adiknya masuk rumah bersama seorang gadis yang cantik. Dia pun tersenyum setelah menjawab salam dari sang adik.
“Kenalin ini teman baikku, Mas,” ucap Tirta seraya menunjuk gadis yang datang bersamanya.
Kaisar mendekat lalu mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan gadis itu. “Kaisar.” Dia memperkenalkan diri dengan senyum ramah.
“Alesha,” sambut sang gadis yang juga tersenyum dengan manis.
“Aku ke dalam sebentar ya, Sha,” pamit Tirta yang meninggalkan sang kakak dengan sahabatnya di ruang tamu.
“Ayo, duduk dulu.” Kaisar mempersilakan sang tamu untuk duduk. Dia berusaha bersikap ramah sebagai tuan rumah walaupun itu tamu adiknya.
“Terima kasih, Mas.” Shasha pun duduk, kemudian diikuti oleh Kaisar.
“Satu jurusan sama Tirta?” Kaisar memecah keheningan di antara keduanya. Mereka sama-sama canggung karena baru pertama bertemu.
“Iya, Mas,” sahut Shasha seraya menganggut.
“Maaf kalau mukaku bantal banget. Baru tidur habis Subuh. Ini tadi kebangun karena dengar suara gerbang dibuka.” Kaisar merasa tak enak hati pada tamunya karena penampilannya yang tak keruan.
“Enggak apa-apa, Mas. Santai saja. Maaf kalau kedatangan saya malah mengganggu waktu istirahat Mas Kaisar,” ujar Shasha yang jadi semakin sungkan.
Kaisar tersenyum. “Enggak ganggu kok. Sudah lumayan tadi tidur empat jam.”
“Dinas di mana sekarang, Mas?” tanya Shasha sambil menunggu Tirta kembali ke ruang tamu.
“Sementara ini masih di Prambanan,” jawab Kaisar.
“Memang biasa ya polisi pindah-pindah tugas?” celetuk Shasha.
Kaisar menganggut. “Iya, buat penyegaran. Pimpinan yang menjabat saja biasanya hanya satu atau dua tahun setelah itu diganti yang lain.”
“Berarti Mas Kaisar termasuk pimpinan juga nih jadi sering pindah tugas,” tebak Shasha.
Kaisar tertawa kecil. “Baru memimpin beberapa orang, belum banyak,” ucapnya merendah.
“Ayo diminum siropnya, Sha. Lumayan di sini ada sirop, jadi airnya berwarna. Enggak kaya di kos yang cuma air bening,” seloroh Tirta seraya meletakkan dua gelas yang berisi es sirop cocopandan di atas meja ruang tamu.
“Makasih, Ta. Jadi ngerepotin. Biasanya dulu ambil sendiri di kos,” timpal Shasha.
“Kalau sekarang aku suruh ambil sendiri pasti kamu sungkan sama masku,” ujar Tirta yang sudah duduk di sofa.
“Katanya kuliah sampai siang, kok sudah pulang, Ta?” Kaisar bertanya pada adiknya.
“Dosennya ada acara, Mas. Jadi, kasih tugas dikumpulkan minggu depan. Daripada bengong di kampus mending pulang sambil ngerjain tugas,” jelas Tirta.
Kaisar mengangguk. “Ya udah, selamat mengerjakan tugas. Aku mau ke kamar lagi,” pamitnya.
“Ya, Mas,” sahut Tirta.
Baru saja melangkahkan kaki masuk ke kamar, gawainya tiba-tiba berdering dengan kencang. Pria itu kemudian mengambil gawai yang diletakkan di samping bantal. Sejak menjadi polisi, dia tidak pernah menonaktifkan ponselnya meskipun sedang tidur. Sebagai abdi negara, Kaisar harus siap 24 jam untuk dipanggil bertugas, karena itu dia mengatur nada deringnya ke volume tertinggi agar bisa bangun saat sedang terlelap.
Kening perwira polisi itu mengerut saat melihat nama yang terpampang di layar gawainya. Sang sahabat yang meneleponnya. Biasanya Adi akan menghubunginya di luar jam kerja atau saat malam hari, tapi sekarang masih jam kerja. Pasti ada sesuatu yang penting.
“Assalamu’alaikum, Di. Apa kabar?” salamnya setelah menerima panggilan tersebut. “Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah kabarku baik. Kai, kamu lagi sibuk?” tanya Adi setelah menjawab salam sang sahabat. Suaranya terdengar tidak tenang. “Enggak. Aku lagi di rumah sekarang. Ada apa, Di? Apa yang bisa kubantu?” Kaisar mengernyit. “Dita kecelakaan, Kai. Tabrak lari tadi waktu berangkat ke sekolah. Sekarang sudah di rumah sakit. Barusan ayah telepon, katanyalumayan parah. Sekarang aku dalam perjalanan ke rumah sakit.,” jelas Adi. “Innalillahi, di rumah sakit mana, Di? Aku segera ke sana.” Jantung Kaisar serasa mau copot saat mendengar kabar pujaan hatinya itu. Meski sangat jarang bertemu, tetapi rasa cinta itu masih tetap tersimpan rapi di hatinya. Menunggu sampai saatnya tiba untuk dia menyatakan cinta. Setelah Adi menyebutkan nama rumah sakit tempat Dita dirawat dan menutup telepon, Kaisar bergegas mandi. Dia sampai lupa menanyakan apa yang Adi inginkan darinya. Namun, setelah dipikirkan
Adi menghampiri Kaisar dan sang ayah yang memandang ke arahnya. “Kita diminta menunggu sebentar karena kamarnya baru disiapkan. Mas ambil yang VIP, Yah. Biar Bunda dan Adek lebih nyaman. Nanti mas yang bayar selisih harganya,” ujar Adi. Sebagai ASN, Pak Wijaya dan keluarga mendapat jatah kelas 1 dari Askes untuk layanan rawat inap. Kalau mengambil kelas di atasnya, harus membayar selisih harga kelas 1 dan VIP. Begitu lulus kuliah dari Teknik Sipil UGM, Adi langsung diterima kerja di salah satu perusahaan konstruksi nasional dengan gaji yang cukup besar. Karena itu, dia berani menanggung biaya rawat inap adik semata wayangnya. “Ayah juga mampu bayar, Mas,” sahut Pak Wijaya. “Biar mas saja, Yah. Nanti kan Adek masih harus kontrol kalau pulang dari sini. Pasti juga tidak semua biaya ditanggung Askes.” Adi bersikeras menanggung biaya perawatan adiknya. “Ya sudah, terserah kamu. Ayah mau lihat Adek dulu.” Pak Wijaya meninggalkan dua sahabat itu. “Aku sudah bicara sama petugas yang ke
Kaisar menoleh begitu mendengar pintu terbuka. Melihat Adi masuk dengan perawat saat Dita masih menggenggam erat tangannya. Namun, dia juga tidak mungkin melepaskan tangan adik sahabatnya itu begitu saja. Dita pasti menahan rasa sakit. Karena berulang kali mengeratkan genggamannya. “Syukurlah kamu datang, Di. Dita merintih terus, kayanya sakit banget,” ucap Kaisar dengan raut khawatir. “Permisi, Mas. Saya ingin menyuntikkan pereda nyeri dulu,” kata perawat pada Kaisar. “Iya, Sus.” Kaisar berdiri dan ingin melepas tangannya, tapi Dita tidak mau melepaskan. Mungkin gadis itu masih merasakan sakit, jadi ingin terus menggenggam tangan Kaisar. Akhirnya dia tetap berdiri di sisi ranjang, dan memberi ruang untuk perawat melakukan tindakan. Adi hanya diam melihat pemandangan di depannya. Mencoba tetap berpikir positif, mungkin tadi Dita mencarinya dan mengira Kaisar adalah dia. Karena itu, sang adik terus menggenggam tangan sahabatnya. Adi yakin perwira polisi itu tidak akan mengambil kese
Hari Minggu pun tiba, kalau di rumah lain mungkin waktu untuk bermalas-malasan, tetapi tidak di rumah Bu Dewi. Sejak Subuh, mereka memulai aktivitasnya masing-masing. Ada yang membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, dan juga memasak. Bu Dewi memang mendidik anak-anaknya mandiri. Apalagi sejak dia harus membanting tulang demi ketiga anaknya yang masih di usia sekolah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Setengah tujuh pagi, Rendra sudah keluar dari rumah untuk latihan karate di Gelanggang UGM. Tentu saja dia pergi setelah menyelesaikan semua pekerjaannya di rumah. Nisa membantu mamanya membuat brownies usai mereka menyantap sarapan bersama. Sementara Shasha merapikan kamarnya agar tidak terlihat berantakan saat Tirta nanti masuk ke sana. “Mama mau buat brownies berapa sih?” tanya Nisa yang melihat ada banyak bahan di dapur. Bu Dewi tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan si bungsu. “Empat kayanya.” “Banyak banget, Ma,” komentar Nisa. “Satu nanti buat su
“Aku ingin buka toko aksesori motor dan mobil, Pak. Di sini kayanya belum ada. Kalau butuh apa-apa harus ke kota.” Kaisar memberi tahu bapaknya. “Rencananya mau buka di mana?” tanya Pak Dipta. “Di ruko depan ada yang kosong kan, Pak. Daripada disewa sama orang lain, aku sewa saja,” jawab Kaisar. “Pakai saja kalau kamu mau, Kai. Terus yang jaga toko siapa? Belanjanya di mana?” Pak Dipta menatap sang putra. “Aku ada kenalan yang jual grosiran aksesori motor sama mobil, Pak. Nanti barangnya aku ambil dari dia. Kalau yang jaga toko ambil dari orang sini saja, Pak. Cari orang yang jujur dan mau kerja keras. Kalau bisa sih laki-laki,” ujar Kaisar. Pak Dipta mengangguk-angguk. “Ya, nanti coba bapak carikan. Rencanamu kapan mau buka?” “Awal bulan depan saja, Pak. Nanti aku sekalian cari apa saja yang diperlukan,” sahut Kaisar. “Apa sudah ada modal?” Pak Dipta memastikan. “Alhamdulillah ada meski tidak banyak, Pak. Kemarin teman sudah nawari, bayarnya bisa tempo jadi tidak langsung luna
Dita mengangguk malu-malu. “Boleh, Mas.” “Oh ya sampai lupa. Ini aku bawakan makanan yang lagi hit di kota.” Kaisar meletakkan tas yang berisi kudapan yang dibawa ke atas meja. “Makasih, Mas. Malah jadi merepotkan. Aku sudah pesan sama Mas Adi tapi belum sempat dibelikan. Alhamdulillah dibawakan sama Mas Kaisar,” sahut Dita dengan raut bahagia. Gadis itu memang ekspresif dan apa adanya, tidak suka berpura-pura atau bersikap sok manis. “Mau coba kuenya? Aku bantu bukakan ya.” Kaisar mengeluarkan kemasan kardus dari tas plastik. “Mau yang rasa keju apa cokelat?” Kaisar menawarkan setelah membuka kardus dan terlihat macam-macam isinya. “Keju saja, Mas,” jawab Dita dengan mata berbinar-binar menatap kue yang ada di hadapannya. Kaisar mengambil kue dengan isian keju. Membuka kemasan plastiknya sebelum menyerahkan pada Dita. “Apa aku bantu suapi sekalian?” Dita tersenyum sambil menerima kue. “Makasih. Tidak perlu, Mas. Tangan kananku baik-baik saja kok. Biasanya aku juga makan sendiri
Sesudah makan siang, Kaisar masih mengobrol dengan Adi sampai Pak Wijaya dan Bu Hasna pulang. Sementara Dita beristirahat di kamarnya. Selalu seperti itu, Kaisar hanya punya kesempatan mengobrol dengan sang pujaan hati saat sedang menunggu Adi. Meski begitu, perwira polisi itu tetap merasa bahagia karena hari ini bisa mengobrol lama dengan adik dari sang sahabat. Kaisar pamit pulang setelah berbasi-basi sebentar dengan kedua orang tua Adi. Membahas tentang pelaku tabrak lari yang sudah berhasil ditangkap. Sebelum pulang, Bu Hasna membawakan Kaisar makanan hasil masakannya untuk dibawa ke kontrakan. Karena saat resepsi tadi Bu Ryani bercerita kalau masakannya gosong. Sepulang dari sana, Kaisar mampir dahulu ke toko yang membuat etalase. Memesan lemari kaca dan rak untuk memajang aksesori kendaraan di tokonya yang akan mulai buka bulan depan. Sebelum ke rumah Adi, dia tadi sudah mengukur panjang dan lebar ruko, jadi sudah menentukan ukuran etalase dan rak yang akan dipakai. Setelah it
Bibir Kaisar membentuk bulan sabit. “Kenapa? Kamu keberatan? Aku yang mau nunggu Dita kok kamu yang protes.” “Ck, bukan gitu, Mas. Kalau misal Dita nanti pas kuliah punya pacar gimana? Mas Kai, kan jadi buang-buang waktu nunggu dia.” Tirta coba memberi gambaran pada sang kakak. “Dita enggak bakal pacaran, Ta,” sangkal Kaisar dengan yakin. “Kok tahu?” Tirta mengernyit. “Tadi aku ngobrol sama Dita. Aku pancing soal pacar, dia bilang enggak mau pacaran. Buang-buang waktu katanya,” ungkap Kaisar. “Dita masih ABG, Mas. Masih labil. Gampang berubah. Hari ini bilang A, besok bisa jadi Z.” Tirta kembali mengingatkan sang perwira. “Dita enggak bakal berubah. Aku tahu dia sejak kecil.” Lagi-lagi Kaisar menyangkal omongan adiknya. “Apa sebaiknya aku mengikat dia dulu untuk berjaga-jaga ya, Ta.” Polisi berpangkat Ipda itu tiba-tiba berubah pikiran. “Mengikat gimana, Mas?” Tirta mengernyit karena penasaran. “Aku lamar dia sekarang. Terus tunangan dulu gitu sampai Dita selesai kuliah,” jelas