Share

Bab 5

Pelakor Itu Tanteku

Selesai makan siang, Mas Pram keluar dan duduk di kursi panjang yang ada di taman rumah. Sedangkan aku masih sibuk membereskan dan membersihkan meja makan.

"Fadil, main dulu sana sama Papa! Aku menyuruh Fadil untuk keluar.

"Ayo, Tante anter kamu ke tempat Papa! ajak Tante Lili pada Fadil.

Akhirnya Tante Lili dan Fadil keluar menuju taman tempat Mas Pram duduk. Aku masih tetap sibuk beres-beres dilanjutkan mencuci piring dan gelas yang kotor.

Setelah itu aku menyapu lantai ruang makan yang kotor sisa Fadil makan. Tanpa disengaja, aku menoleh ke arah taman di mana ada Mas Pram, Tante Lili dan Fadil di sana.

Betapa terkejut dan kagetnya diriku sampai-sampai sapu yang kupegang lepas dari genggaman. Kakiku bergetar hebat, tubuhku terasa lemas. Aku melihat Tante Lili bersandar di bahu Mas Pram dengan tangan yang bermain nakal di wajah Mas Pram.

Fadil, anakku yang masih bocah dan polos itu masih tetap asyik bermain mengambil batu-batu kecil dan menatanya. Sedangkan Mas Pram begitu pasrahnya atas sikap Tante Lili.

Di depan Fadil mereka melakukan hal seperti itu? Sungguh keterlaluan. Padahal di rumah ini ada aku.

Rasa marah dan kecewa berkecamuk di dalam dada. Aku meremas kedua tangan. Mataku basah melihat pemandangan yang begitu menyakitkan.

Sejak kapan? Sejak kapan mereka memiliki hubungan terlarang di belakangku.

Kuusap air mata dengan kasar dan menghela napas panjang, enggan rasanya melihat semua itu terlalu lama

Aku harus mencari tahu sejak kapan dan sudah sejauh mana hubungan terlarang Tante Lili dan Mas Pram.

Sengaja berjalan dengan hentakan kaki yang kencang agar mereka tahu kalau aku akan keluar.

"Fadill, Nak ...," panggilku teriak.

Aku keluar dengan sikap biasa. Seolah-olah tidak tahu atas apa yang mereka lakukan barusan. Meskipun dada ini terasa sesak menahan perasaan yang begitu sakit.

"Sa - sayang," ucap Mas Pram terlihat gelagapan.

Sungguh luar biasa. Pintar sekali akting mereka di depanku. Tante Lili yang tadi begitu nakal menggoda Mas Pram, sekarang pura-pura sibuk menemani Fadil bermain.

Seandainya tadi aku keluar diam-diam, tidak mungkin mereka bisa akting sebagus ini sekarang. Tetapi semua itu memang kusengaja, karena aku ingin tahu lebih jauh lagi hubungan Tante Lili dan suamiku.

Karena kalau aku pergoki mereka sekarang, aku tidak akan tahu hal apa saja yang sudah mereka lakukan selama ini di belakangku.

Aku harus bermain cantik untuk menghadapi Tante Lili. Meskipun memang begitu sakit harus berpura-pura bodoh seperti ini.

"Aku senang, Mas, kamu pulang awal. Fadil jadi bisa bermain lebih lama denganmu," ucapku mendekati Mas Pram.

Aku gantian menyandarkan kepala di bahu Mas Pram dan menggenggam erat tangannya. Bukan kehangatan lagi yang aku rasakan, tapi amarah yang begitu kuat dalam diriku.

Sesekali aku melihat lirikan Tante Lili ke arah kami.

Kenapa, Tan? Cemburu? Tidak ada alasan untuk kamu merasakan cemburu. Mas Pram suamiku, dan dia bukan siapa-siapa kamu.

Mas Pram membelai rambutku. Harusnya aku merasa bahagia seperti biasanya. Harusnya aku merasa nyaman dengan belaian ini, tapi semua itu tidak aku rasakan lagi setelah melihat Mas Pram di sentuh oleh perempuan lain, dan itu tanteku sendiri.

"Mas, malam ini kita keluar, yuk! Kita nonton atau jalan-jalan ke mana. Sekalian makan malam berdua di luar," ajakku sengaja membuat Tante Lili panas.

"Makan malam berdua? Fadil bagaimana, Sayang?"

" Fadil kita titipkan sebentar di rumah orang tuamu, Mas!"

Akhirnya Mas Pram setuju denganku. Terlihat sekali wajah Tante Lili yang kesal mendengar obrolanku dengan Mas Pram.

"Apa ngga kasihan, Fa, kalau Fadil dititipkan di rumah kakek, neneknya? Jarak rumah dari sini ke sana 'kan lumayan jauh," sela tante ikut nimbrung.

"Ngga begitu jauh juga sih, Tan. Paling tiga puluh lima menit sampai," jawabku.

"Iya, tapi pulangnya pasti malam 'kan?"

Sepertinya Tante Lili memang sengaja mencegah acaraku bersama Mas Pram.

"Oh ... kalau begitu, Sifa titip Fadil sama Tante saja. Kita ngga lama kok, Tan. Lagian Sifa jarang minta tolong sama Tante 'kan? Fadil anaknya juga ngga nakal kok."

Tante Lili terlihat sangat kesal dengan ideku menitipkan Fadil padanya.

"Bagaimana, Mas, kalau Fadil di rumah sama Tante?"

Mas Pram hanya menganggukkan kepala. Pertanda dia setuju.

"Fadil, nanti di rumah sama Nenek, ya! Jangan nakal sama Nenek! Kalau mau maem, minta Nenek untuk nyuapin," ucapku menahan tawa. Karena Tante Lili paling tidak suka kalau aku menyebut dia dengan sebutan Nenek. Padahal dia memang neneknya Fadil.

"Sekarang kita ke kamar yuk, Mas. Kita istirahat sebentar."

Aku langsung mencuci tangan Fadil dan menggendongnya. Kami masuk ke dalam. Sedangkan Tante Lili tetap duduk di taman sendirian.

Sebenarnya untuk berpura-pura seperti ini sangat tidak mudah. Apalagi baru kali ini hatiku sangat terluka selama lima tahun pernikahan. Dan itu karena hubungan terlarang Tante dan suamiku sendiri.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status